Apabila kita membahas mengenai keberadaan Syaikh Siti Jenar, salah
seorang wali di tanah Jawa, seringkali kita menemukan berbagai cerita
yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.
Setidaknya, menurut Shohibul Faroji Al-Robbani, ada 5 Kesalahan Sejarah tentang Syaikh Siti Jenar, yaitu :
1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing.
Sepertinya
hanya orang-orang berpikiran irrasional, yang mempercayai ada seorang
manusia, yang berasal dari seekor cacing. Syaikh Siti Jenar adalah
manusia biasa, beliau dilahirkan di Persia pada tahun 1404M, dengan nama
Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini.
Ayahnya bernama Sayyid Sholih, yang pernah menjadi Mufti Malaka di masa pemerintahan Sultan Muhammad Iskandar Syah.
Dalam
sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara;
Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih
sangat populer tersebut dibantah secara tegas : “Wondene
kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,
sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun
Lemahbang.”
[Adapun
diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing,
itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat
jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2.
“Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti
Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong,
tidak berdasar alias ngawur.
Istilah itu berasal
dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar,
beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat
berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’
Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya
“Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh
Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’,
Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
Di dalam perjalanan
hidupnya, pada tahun 1424M, terjadi perpindahan kekuasaan dari Sultan
Muhammad Iskandar Syah, kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus
pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh
Syamsuddin Ahmad. Maka pada sekitar akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih
beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih
menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Melalui
Sayyid Kahfi, Siti Jenar memperlajari Kitab-Kitab seperti Kitab Fusus
Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim
al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya
Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab
At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid
Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan
dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel
selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati
selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar
diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah
Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara
murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali
Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan
lain-lain.
3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb.
Sejak
kecil Syaikh Siti Jenar berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang
Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal
Al-Qur’an di usia 12 tahun.
Syaikh Burhanpuri dalam
Risalah Burhanpuri halaman 19 menulis, “Saya berguru kepada Syaikh Siti
Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri,
bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah
yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia
biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah”
dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud,
Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia
meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong.
Cerita
itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan
dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Wali Songo adalah
penegak Syari’at Islam di tanah Jawa, di dalam Maqaashidus syarii’ah
diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal
Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam
hatinya ada Iman kepada Allah.
5. Beberapa penulis telah menulis bahwa setelah kematiannya, mayat Syaikh Siti Jenar, berubah menjadi anjing.
Ini
suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, dimana seseorang yang
menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing.
Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir
jernih.
Bagaimanapun juga, Syekh Siti Jenar adalah
seorang wali Allah yang memiliki keramat atau kelebihan. Kontroversi
tentang beliau hanyalah secercah persepsi yang sepotong-sepotong, yang
tidak utuh dalam memahami Syekh Siti Jenar.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar