Melihat pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT), sungguh luar biasa
banyaknya. Mulai dari mencuci baju, belanja ke pasar, memasak,
menyiapkan makanan, mengantar anak ke sekolah, membersihkan perabot
rumah, bahkan hingga menguras bak mandi dan membersihkan lantai.
Belum
lagi, jika IRT tidak memiliki pembantu, maka pekerjaan sehari-hari
menjadi tanggung jawabnya sendiri. Di samping itu, bila di saat
bersamaan sang ibu sedang hamil atau memiliki bayi, maka pekerjaan itu
semakin bertambah seperti: mempersiapkan popok bayi, memandikan,
menyusui, menidurkan dan sebagainya. Di tempat lain, ada pula ibu-ibu
yang masih juga ikut bekerja membantu suami atau meniti karier pribadi.
Jelas, pekerjaan rumah tangga juga kian berat dan bertumpuk.
Bisa
dikatakan, hampir 24 jam, ibu rumah tangga tidak pernah berhenti
bekerja. Bukan hanya mengurus anak-anaknya, tapi juga suaminya.
Sehingga, pekerjaan itu menjadi tidak mudah. Meski demikian, ibu-ibu
rumah tangga tampak "menikmati" tugasnya itu, walaupun ada pula yang
mengeluh karena begitu berat dan banyak pekerjaannya.
Tidak
lepas dari tanggung jawab tersebut, seorang ibu harus membekali diri
dengan "ilmu fiqih" terutama yang terkait dengan bab thaharah atau
kesucian. Hal ini sangat penting, sebab dalam keseharian, tugas-tugas
IRT itu berkaitan erat dengan fiqih tentang bagaimana cara mencuci baju
yang baik dan benar sehingga suci dari najis? bagaimana mensucikan
lantai, perabot rumah, bak mandi dan sebagainya? apa najis itu,
macam-macamnya dan cara mensucikannya?
Lalu, sudah
benarkah cara mencuci makanan mentah yang dibeli? sudah tahukah ukuran
bak mandi sebesar 2 qulah agar air tidak mudah berubah menjadi
mutanajis? sudah sucikah baju-baju yang dicuci dengan mesin cuci,
mengingat terkadang antara yang kotor tapi suci semuanya dicampur dengan
baju kotor dan najis?
Dan, masih banyak lagi yang perlu
dipertanyakan terkait dengan pekerjaan rumah tangga. Karena itu, bab
thaharah (bersesuci) dalam ilmu fiqih menjadi prioritas pertama dan
utama yang harus dimengerti, termasuk juga oleh ibu rumah tangga. Bagi
ibu-ibu yang sebelum menikah pernah mondok di pesantren atau pernah
belajar fiqih secara detail di sekolah atau madrasah, mungkin saja ilmu
fiqih itu tidak lagi menjadi masalah serius sebab mereka telah
memahaminya. Namun, bagi ibu-ibu muda yang tidak memiliki kesempatan
belajar agama, jelas problem ini perlu diperhatikan secara serius.
Mengapa
demikian? Jawabnya sederhana, agar supaya segala hal yang kita makan,
kita tempati, kita pakai, kita sentuh, kita pergunakan di dalam rumah,
semuanya bersih dan suci, bebas najis dan sehat lahir-batin. Sebab,
boleh jadi karena ketidaktahuan tentang kesucian tempat tinggal dan
pakaian, lalu shalat kita tidak sah akibat cara mencucinya tidak benar
secara fiqih.
Begitu beratnya kita bekerja mencari nafkah,
namun setelah kita bisa belanja dan membeli aneka makanan mentah yang
akan kita masak di rumah, ternyata makanan yang lezat dan nikmat itu
dalam pandangan fiqih masih najis akibat cara mensucikannya keliru.
Bukankah hal semacam ini malah merugikan?
Oleh sebab itu,
belajar fiqih rumah tangga bagi ibu-ibu adalah hal wajib, tidak peduli
apakah pekerjaan rumah tangga sehari-hari ia kerjakan sendiri atau
dikerjakan pembantu. Malahan, jika pekerjaan itu dilakukan pembantu yang
juga tidak mengerti fiqih, maka konsekwensi lebih berat. Artinya, si
ibu rumah tangga atau majikan berkewajiban mengajari pembantu tentang
ilmu fiqih thaharah yang benar.
Melihat problem di atas
yang tampaknya remeh tapi secara substansi agama sangat penting, maka
bagi kepala keluarga -dalam hal ini suami- harus mengajari isteri dan
juga pembantu di rumahnya. Bahkan, semua orang yang ada di rumah
tersebut harus diberi pelajaran agama yang cukup supaya semuanya bisa
menjalankan aktifitas sehari-hari dengan baik dan benar.
Jika
kepala rumah tangga juga tidak memiliki kapasitas keilmuan yang
memadai, maka seharusnya ia memimpin semua anggota keluarga untuk
belajar atau mengaji kepada para ulama. Bukankah di masjid atau mushalla
yang ada di kampung juga kerap diselenggarakan pengajian rutin bagi
masyarakat? Atau, bisa juga dengan cara mendatangkan guru privat,
membelikan buku-buku fiqih terjemahan, dan sebagainya?
Sayangnya,
pengajian rutin yang digelar di masjid atau mushalla perkampungan,
kurang banyak direspon oleh kepala keluarga dan juga para ibu rumah
tangga. Akibatnya, pengajian itu menjadi sepi dan akses untuk memperoleh
ilmu fiqih kurang menjadi perhatian seluruh anggota keluarga.
Yang
sering terjadi, masing-masing orang sibuk dengan urusannya sendiri.
Ayah hanya bekerja siang-malam, anak-anak dituntut sekolah dan
mengerjakan PR terus-terusan, sementara semua pekerjaan rumah diserahkan
sepenuhnya kepada para pembantu yang tidak memahami fiqih yang
berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga.
Fenomena
tersebut menunjukkan betapa ilmu agama ini semakin hari semakin
ditinggalkan pemeluknya. Dalam pandangan mata, semua tampak berjalan
baik-baik saja, semua pekerjaan tuntas dan selesai, akan tetapi setelah
dilihat dari pandangan ilmu fiqih, ternyata hasil pekerjaan itu berasal
dari proses penerapan fiqih yang salah. Semua terlihat bersih dan rapi,
tapi pada hakikatnya masih belum terlepas dari najis.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar