Memang, kalau terjadi hari raya berbeda, terasa ada yang kurang bagi
kita sebagai sebuah bangsa. Apa itu? Persatuan dan kebersamaan. Meski
"ikhtilaf" itu rahmat, meski fiqih itu luas dan teks agama bisa multi
tafsir, meski tiap orang bebas menjalankan keyakinannya dan negara tidak
boleh memaksa, namun, tetap saja, kalau terjadi 2 hari raya atau lebih
adalah indikasi bahwa kita sebagai bangsa kurang bisa bersatu dalam
kebersamaan!
Terlepas dari fanatisme terhadap ormas Islam yang kita ikuti, terlepas dari sikap fanatik pada kiai atau ponpes yang selama ini kita makmumi, bahkan terlepas dari perbedaan antara hisab dan rukyat, seharusnya apa yang menjadi keputusan pemerintah RI yang keputusan itu demi kemaslahatan dan kebersamaan, maka sudah seharusnya "yang waras ngalah" alias ikut saja keputusan pemerintah sebagai ulil amri.
Berbicara tentang hari raya Idul Fitri di Indonesia, memang unik. Selain ada budaya mudik, angpao, pasar tumpah, dll, ternyata lebarannya pun beda. Beberapa tahun terakhir, bahkan tidak hanya terjadi 2 hari raya berbeda, tapi sudah lebih. Tahun ini saja, 2011, ada yang berhari raya Senin, Selasa, Rabu, atau Kamis. Benar-benar aneh!
Bagi para pemimpin ormas dan kalangan elit agama, hal semacam ini mungkin tampak wajar. Justru, perbedaan itu dinilainya sebagai bukti luasnya agama. Bagi yang sok demokratis, melihat ini sebagai sebuah kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan yang itu menunjukkan liberalisme dan pluralitas.
Yang jelas, masing-masing kelompok memiliki hujjah atau dalil yang kuat dan semuanya ngotot tidak mau mengalah. Ada yang berkata, "Inilah kebhinekaan! Pemerintah harus menjamin warganya bebas menjalankan agama sesuai keyakinannya. Tidak boleh memaksa dan harus saling menghormati".
Tampaknya, kalimat di atas memang ringan diucapkan, tapi tidak mudah diterima masyarakat awam di bawah. Sebab, bagi kebanyakan awam akan menilai bahwa para elit dan pemimpin agama tidak bisa lagi bersatu dan menyatukan umatnya. "Masak sih, hanya untuk berhari raya saja, umat Islam di Indonesia tidak bisa bersatu?", kurang lebih demikian kesan yang muncul.
Memang, sesuai dengan konstitusi, pemerintah tidak bisa memaksakan para pemeluk agama dalam menjalankan keyakinannya. Namun, untuk urusan hari raya, seharusnya semua ormas Islam, pesantren, sekte, aliran dan apapun namanya yang bercokol di Indonesia ini, sekali-sekali dalam urusan "penentuan hari raya Idul Fitri" semua berkomitmen untuk mengikuti pemerintah. Bahkan, jika mau ikut sistem demokratis sekalipun, semua harus legowo tunduk pada pendapat mayoritas yang itu diwakili oleh itsbat atau penetapan pemerintah.
Dari peristiwa ini, bisa dikatakan, "Alangkah sulitnya menjadi pemerintah di Indonesia yang umatnya amat heterogen, tidak mau tunduk, dan suka menuntut hak daripada kewajiban". Ketika muncul aliran sesat atau penodaan agama, maka ramai-ramai ormas dan pimpinan agama menuntut pemerintah bersikap tegas. Bila perlu, "mengadili" atau "menghakimi" kelompok sempalan itu. Dalam urusan teknis haji, pemerintah RI harus turut campur. Begitu juga dalam urusan lainnya. Tapi tidak dengan demikian dalam hal penentuan hari raya Idul Fitri.
Tatkala umat Islam hendak berhari raya, pemerintah pun masih dituntut mengatur segala hal terkait lebaran.
Terlepas dari fanatisme terhadap ormas Islam yang kita ikuti, terlepas dari sikap fanatik pada kiai atau ponpes yang selama ini kita makmumi, bahkan terlepas dari perbedaan antara hisab dan rukyat, seharusnya apa yang menjadi keputusan pemerintah RI yang keputusan itu demi kemaslahatan dan kebersamaan, maka sudah seharusnya "yang waras ngalah" alias ikut saja keputusan pemerintah sebagai ulil amri.
Berbicara tentang hari raya Idul Fitri di Indonesia, memang unik. Selain ada budaya mudik, angpao, pasar tumpah, dll, ternyata lebarannya pun beda. Beberapa tahun terakhir, bahkan tidak hanya terjadi 2 hari raya berbeda, tapi sudah lebih. Tahun ini saja, 2011, ada yang berhari raya Senin, Selasa, Rabu, atau Kamis. Benar-benar aneh!
Bagi para pemimpin ormas dan kalangan elit agama, hal semacam ini mungkin tampak wajar. Justru, perbedaan itu dinilainya sebagai bukti luasnya agama. Bagi yang sok demokratis, melihat ini sebagai sebuah kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan yang itu menunjukkan liberalisme dan pluralitas.
Yang jelas, masing-masing kelompok memiliki hujjah atau dalil yang kuat dan semuanya ngotot tidak mau mengalah. Ada yang berkata, "Inilah kebhinekaan! Pemerintah harus menjamin warganya bebas menjalankan agama sesuai keyakinannya. Tidak boleh memaksa dan harus saling menghormati".
Tampaknya, kalimat di atas memang ringan diucapkan, tapi tidak mudah diterima masyarakat awam di bawah. Sebab, bagi kebanyakan awam akan menilai bahwa para elit dan pemimpin agama tidak bisa lagi bersatu dan menyatukan umatnya. "Masak sih, hanya untuk berhari raya saja, umat Islam di Indonesia tidak bisa bersatu?", kurang lebih demikian kesan yang muncul.
Memang, sesuai dengan konstitusi, pemerintah tidak bisa memaksakan para pemeluk agama dalam menjalankan keyakinannya. Namun, untuk urusan hari raya, seharusnya semua ormas Islam, pesantren, sekte, aliran dan apapun namanya yang bercokol di Indonesia ini, sekali-sekali dalam urusan "penentuan hari raya Idul Fitri" semua berkomitmen untuk mengikuti pemerintah. Bahkan, jika mau ikut sistem demokratis sekalipun, semua harus legowo tunduk pada pendapat mayoritas yang itu diwakili oleh itsbat atau penetapan pemerintah.
Dari peristiwa ini, bisa dikatakan, "Alangkah sulitnya menjadi pemerintah di Indonesia yang umatnya amat heterogen, tidak mau tunduk, dan suka menuntut hak daripada kewajiban". Ketika muncul aliran sesat atau penodaan agama, maka ramai-ramai ormas dan pimpinan agama menuntut pemerintah bersikap tegas. Bila perlu, "mengadili" atau "menghakimi" kelompok sempalan itu. Dalam urusan teknis haji, pemerintah RI harus turut campur. Begitu juga dalam urusan lainnya. Tapi tidak dengan demikian dalam hal penentuan hari raya Idul Fitri.
Tatkala umat Islam hendak berhari raya, pemerintah pun masih dituntut mengatur segala hal terkait lebaran.
Mulai dari penyediaan alat
transportasi, memastikan stok BBM dan pangan, mengatur pasar dan harga
bahan pokok, menjaga keamanan dan kenyamanan arus mudik dan arus balik,
mengawasi THR, menyelenggarakan sidang itsbat yang berusaha mengakomodir
semua kelompok dan semua pendapat, dan kewajiban lainnya.
Namun, di saat pemerintah telah memutuskan hari raya, eh ternyata, masih ada saja kelompok, ormas, sekte atau lembaga yang masih semaunya sendiri berhari raya.
Memang, agama Islam ini luas. Semua orang bisa memandangnya dari sudut pandangnya sendiri dan boleh jadi itu benar. Laksana seekor gajah, ada yang melihat Islam (baca: hari raya) bagaikan kipas, sebab ia menyentuh telinga gajah yang tipis dan lebar. Ada yang menganggapnya bagaikan pohon besar dan kuat, padahal ia hanya menyentuh kaki gajah. Ada yang merasakannya kecil dan panjang seperti ular, karena ia hanya memegang ekor gajah.
Semua pendapat itu tidak salah. Masing-masing memiliki persepsi berbeda sesuai "hisab dan rukyat" masing-masing. Tapi, untuk melihatnya sebagai sebuah gajah yang utuh, seharusnya semua pihak bisa bersatu agar data-datanya makin lengkap dan kesimpulannya mendekati kebenaran dan keutuhan. Dalam hal inilah, posisi pemerintah mengayomi umat Islam dalam menjalankan agamanya. Jadi, seharusnya semua pihak "menerima" keputusan pemerintah, tidak memaksakan nafsunya sendiri demi kelompok dan pengikutnya sendiri.
Walhasil, jika pemerintah RI telah berusaha keras menyatukan "hari raya", maka sudah seharusnya, setiap warga negara, semua ormas, sekte dan aliran dalam Islam juga harus menghormati keputusan pemerintah. Tidak cukup menghormati, tapi juga mentaati keputusan pemerintah demi persatuan dan kebersamaan.
Please, kasihani pemerintah dan masyarakat awam. Jangan bebani lagi kesulitan hidup mereka dengan perbedaan hari raya yang menjadi satu-satu hari paling bahagia bagi rakyat Indonesia. Tolong, jangan nodai dengan pemerkosaan dalil dan hujjah yang hanya demi kepentingan pribadi dan golongannya sendiri.
Namun, di saat pemerintah telah memutuskan hari raya, eh ternyata, masih ada saja kelompok, ormas, sekte atau lembaga yang masih semaunya sendiri berhari raya.
Memang, agama Islam ini luas. Semua orang bisa memandangnya dari sudut pandangnya sendiri dan boleh jadi itu benar. Laksana seekor gajah, ada yang melihat Islam (baca: hari raya) bagaikan kipas, sebab ia menyentuh telinga gajah yang tipis dan lebar. Ada yang menganggapnya bagaikan pohon besar dan kuat, padahal ia hanya menyentuh kaki gajah. Ada yang merasakannya kecil dan panjang seperti ular, karena ia hanya memegang ekor gajah.
Semua pendapat itu tidak salah. Masing-masing memiliki persepsi berbeda sesuai "hisab dan rukyat" masing-masing. Tapi, untuk melihatnya sebagai sebuah gajah yang utuh, seharusnya semua pihak bisa bersatu agar data-datanya makin lengkap dan kesimpulannya mendekati kebenaran dan keutuhan. Dalam hal inilah, posisi pemerintah mengayomi umat Islam dalam menjalankan agamanya. Jadi, seharusnya semua pihak "menerima" keputusan pemerintah, tidak memaksakan nafsunya sendiri demi kelompok dan pengikutnya sendiri.
Walhasil, jika pemerintah RI telah berusaha keras menyatukan "hari raya", maka sudah seharusnya, setiap warga negara, semua ormas, sekte dan aliran dalam Islam juga harus menghormati keputusan pemerintah. Tidak cukup menghormati, tapi juga mentaati keputusan pemerintah demi persatuan dan kebersamaan.
Please, kasihani pemerintah dan masyarakat awam. Jangan bebani lagi kesulitan hidup mereka dengan perbedaan hari raya yang menjadi satu-satu hari paling bahagia bagi rakyat Indonesia. Tolong, jangan nodai dengan pemerkosaan dalil dan hujjah yang hanya demi kepentingan pribadi dan golongannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar