1 September 2011

Sejarah Singkat Ilmu Balaghah

 



Pendahuluan

Sebuah ilmu tidaklah muncul sekaligus sempurna dalam satu masa. Ilmu mengalami fase sejarah dimana ia muncul, berkembang, dan maju, hingga bisa jadi mengalami kepunahan.

Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab pun mengalami fase kemunculan, perkembangan, dan seterusnya. Ilmu bahasa Arab yang memiliki tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani, bayan, dan badi’, tidaklah ada dari awal dalam sistematika seperti yang kita kenal sekarang ini. Dahulu, sama sekali tak dikenal istilah balaghah sebagai sebuah ilmu.

Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin Al-Khuli meliputi tiga segi, yaitu: (1) Sejarah tentang materi balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan, tahapan perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balaghah. Ketiga segi di atas terkadang sulit dipisahkan satu per satu dalam kajian yang beruntun. Hal ini karena ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain.

Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah perlu dipahami agar muncul kesadaran bahwa ilmu ini memang bukan benda mati yang yang tidak dapat diperbarui. Kesadaran inilah yang dapat menjamin perkembangan ilmu ini ea rah yang lebih maju, tidak mengalami kejumudan atau bahkan kepunahan. Kemajuan yang dimaksud di sini meliputi berbagai segi, entah dari segi pengajarannya yang lebih mudah, cakupan materi yang lebih luas, ataupun hasil penerapan dari ilmu itu sendiri yang memuaskan, atau bahkan munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah ada.

Dalam tulisan ini, pembahasan akan lebih banyak pada sejarah tentang materi balaghah, tanpa banyak menyebutkan tokoh-tokoh maupun buku-buku karangan balaghah yang ada.

Al-Quran dan Munculnya Ilmu-Ilmu Bahasa Arab

Ilmu-ilmu bahasa Arab berkembang pesat tak lepas dari faktor turunnya Al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran sebagai kitab samawi pegangan umat Islam merupakan inspirator bagi para ahli bahasa Arab untuk mengkonsep berbagai macam pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjaga keasliannya, membantu memahaminya, dan menemukan sisi-sisi keindahannya.

Para pakar bahasa ketika menghendaki menafsirkan satu ayat atau menetapkan makna dari satu kata yang sulit dipahami, maka mereka mendatangkan syair jahiliy yang memuat kata tersebut beserta makna dan gaya bahasanya. Hal ini khususnya bagi tafsir yang banyak menggunakan pemaknaan secara bahasa, misal Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w. 538). Interaksi para pakar dengan syair dan produk kesusastraan (adab) lainnya inilah yang menjadikan mereka menulis berjilid-jilid buku tentang kumpulan syair, makna kosakata, khithobah, dan khazanah sastra lainnya. Mereka menulisnya salah satunya demi khidmah kepada Al-Quran.

Dari sinilah kemudian ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kata-kata muncul dan berkembang. Ilmu-ilmu ini lebih dari dua puluh macam, seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudl, dan lain-lainnya.

Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi

Secara historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-benih ilmu ini telah muncul dengan berbagai istilahnya sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu tersebut dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Berbagai macam pengetahuan manusia, mulai dari ilmu, filsafat, seni, dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam kehidupannya jauh sebelum diajarkan dan dikodifikasikan.

Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.

Setiap bangsa pasti akan memilih yang bagus dari seni berbahasa mereka. Membedakan antara bahasa yang baik dan buruk telah menjadi kemampuan fitrah mereka sebagai pemilik bahasa tersebut. Mereka pun telah menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa Arab dan bahasa mereka.

Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.

Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.

Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.

Munculnya Ilmu Balaghah

Tema-tema ilmu balaghah mulai muncul belakangan setelah muncul dan mulai berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf. Tema-tema ini yang dulunya dikenal sebagai kritik sastra (naqd al-adab) semakin berkembang lebih dari pada masa jahiliyah.

Mulai dari masa khilafah Umawiyah, sebenarnya para ulama pakar sastra mulai bicara tentang makna fashahah dan balaghah dan berusaha menjelaskannya dengan contoh dan bukti-bukti dari apa yang diriwayatkan dari orang-orang sebelum mereka. Dari sinilah kemudian mulai muncul balaghah ‘arabiyyah dari berbagai segi. Disusunlah buku-buku yang berbicara tentangnya hingga sampailah fase pengajaran dari sebuah ilmu.

Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), murid Al-Khalil (w. 170 H).

Untuk ilmu ma’ani, tidak diketahui pasti orang pertama kali yang menyusun tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz (w. 255 H) dalam I’jazul Quran-nya.

Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far dengan Naqd asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (w. 337 H).
Itulah ilmu balaghah pada masa awal kemunculannya. Yaitu terutama pada masa- masa abbasiy kedua (232-334 H). Dalam fase tersebut, balaghah dengan tiga cabangnya masih belum jelas keterkaitannya dalam kesatuan balaghah hingga nantinya memasuki masa perkembangannya di abad kelima hijriyah.

Perkembangan Ilmu Balaghah

Setelah kemunculannya di masa awal, para ulama berikutnya saling melengkapi dan menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah seorang pakar balaghah, Abu Bakar Abdul Qahir Al-Jurjaniy (w. 471 H) yang mengarang kitab tentang ilmu ma’aniy dengan judul Dalailul I’jaz, dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrorul Balaghah. Kemudian setelah beliau, hadirlah abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf As-Sakakiy Al-Khawarizmi (w. 626 H) dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu balaghah lebih lengkap daripada lainnya, yaitu kitab dengan judul Miftah al-‘Ulum.

Perkembangan balaghah pada masa ini salah satunya disebabkan oleh persinggungannya dengan ilmu kalam dan filsafat terkait dengan i’jazul Quran. Adanya fenomena inilah yang kemudian oleh para pakar sekarang dimunculkan istilah madrasah adabiyyah dan madrasah kalamiyyah atas dasar kecenderungan yang dipilih dalam melakukan pembahasan balaghah.

Tiap-tiap madrasah ini memiliki ciri khas tersendiri. Para pembela madrasah kalamiyyah memfokuskan pembahasan balaghah mereka dengan membuat batasan-batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian fokus dengan membuat berbagai macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa banyak menunjukkan contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah logika.

Sedangkan madrasah adabiyyah, mereka sangat berlebihan dalam mengajukan bukti-bukti (contoh-contoh) sastrawi baik puisi maupun prosa, dan sedikit sekali memperhatikan tentang definisi dan lain-lainnya. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka lebih banyak berpegang pada rasa seni, keindahan daripada kepada filsafat ataupun logika.

Demikianlah, madrasah kalamiyyah memang sangat berkepentingan dengan penguatan i’jazul Quran yang mana hal itu adalah titik temu antara sastra, akidah, filsafat ketuhanan, dan lainnya. Sedangkan madrasah adabiyyah, mereka banyak menguatkan karya sastra, latihan menyusun bahasa yang baik, dan mendidik rasa kritis.

Masa berjalan, pada akhirnya madrasah kalamiyyah lebih menguat dibandingkan adabiyyah hingga sampailah konsep balaghah yang kita kenal saat ini, dari kitab-kitab yang ditulis para pakar-pakarnya tersebut dari masa ke masa.

Penutup

Dari kajian terhadap literatur yang ada, terkait balaghah, maka ia memiliki sejarah tersendiri, mulai dari benihnya, munculnya, hingga perkembangannya.

Sebelum muncul sebagai sebuah ilmu, esensi balaghah telah mendarah daging dalam penggunaan bahasa Arab baik dalam puisi maupun prosa. Dalam masa ini kemudian Al-Quran turun dengan kemukjizatan sehingga mengalahkan selainnya dalam hal ketepatan dan keindahan bahasanya.

Ilmu balaghah dengan pembagiannya yang tiga mulai muncul dan dikenal pada masa abbasiy kedua, yaitu abad ketiga dan keempat hijriyah. Pada masa ini, balaghah masih belum jelas bentuknya. Kemunculan ini disertai dengan disusunnya kitab dengan tema tersebut. Kemudian, ilmu ini berkembang mulai abad kelima dengan ciri khasnya yang mulai bersinggungan dengan I’jazul Quran sehingga memunculkan dua aliran balaghah, yaitu aliran sastra dan kalam. Keduanya berbeda dalam perspektif terhadap balaghah.

Aliran balaghah kalam lebih banyak berpegang kepada analogi dan logika filsafat dalam mengukur baik tidaknya bahasa sedangkan aliran sastra lebih mengedepankan daya seni dan daya tangkap keindahan. Ilmu balaghah yang terus berkembang dan sampai kepada kita saat adalah yang lebih bercorak kalamiyyah, memiliki banyak batasan kata dan definisi-definisi.
 
Demikian ilmu balaghah ini yang tidak menutup kemungkinan untuk terus berubah menuju lebih baik atau bahkan mengalami kemunduran. Hal ini tergantung kepada para pemegang ilmu ini, apakah akan membiarkannya terdiam ataukah akan membawanya menuju kemajuan.

Referensi :

Ahmad Al-Iskandari, 1916, Al-Wasith fil-Adab al-‘Arabiy wa Tarikhuhu, Mesir: Penerbit Darul Ma’arif
Amin Al-Khuli, 1961, Manahij Tajdid fi an-Nahwi wal-Balaghah wat-Tafsir wal-Adab, Penerbit Dar al-Ma’arif
Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, juz 2, Penerbit Darul Hilal

1 komentar:
Tulis komentar