7 Oktober 2011

Batasi Nomor Seluler

 


Pada akhir tahun 90an, ketika itu nomor GSM masih sekitar 9 s/d 10 digit. Tapi kini, sudah mencapai 12-13 digit (081x-xxxx-xxxx). Hal ini menunjukkan betapa besar animo masyarakat Indonesia sebagai pengguna telepon seluler, baik bermadzhab GSM ataupun CDMA.

Ke depan, angka-angka itu bisa jadi makin panjang. Apalagi kini, tiap operator berlomba menambah konsumen melalui produk baru “kartu perdana”. Hampir dari setiap 3-6 bulan, setiap operator memproduksi label kartu perdana baru yang tentu dengan fasilitas baru dan promo yang menggiurkan. Sehingga, tidak heran bila muncul tren, "Pulsa habis, beli aja kartu baru lagi".

Program Pemerintah yang dulu pernah hendak mendata identitas pemilik kartu seluler dengan cara ketik: DAFTAR kirim ke 4444, ternyata sudah tidak laku lagi. Pengguna kartu baru, bisa dengan mudah menulis data palsu yang tidak sesuai dengan KTP-nya. Oleh karena itu, percuma saja program itu. Padahal, pendataan itu sebenarnya bertujuan baik untuk memproteksi pengguna kartu seluler agar tidak mudah dijadikan korban.

Apalagi, saat ini masyarakat diributkan oleh aksi pencurian pulsa oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Para penjahat cyber mengelabui korbannya dengan berbagai modus, mulai dari pembelian konten, hadiah, bonus, dan sebagainya.  

Tapi, inilah Indonesia. Bagai sperma muncrat pada awalnya muncrat, deras, dengan semangat 45 untuk memerangi kejahatan. Eh, ternyata pada perkembangan selanjutnya, kering tak berarti apa-apa. Program pemerintah tidak digubris dan mudah diakali warganya.

Di beberapa negara maju, kalau tidak salah di Saudi Arabia. Di sana, setiap orang hanya dibatasi memiliki 4 nomor seluler selama hidupnya. Boleh beda atau sama operator. Yang penting, jatahnya hanya maksimal 4 nomor untuk seumur hidup. Bila kartunya hangus sebanyak 3 kali, berarti yang bersangkutan masih tersisa 1 nomor kepemilikan. Setelah itu, ia tidak berhak lagi memiliki nomor HP yang terdaftar di negara tersebut.

Jika kebijakan semacam ini diterapkan di Indonesia dan semua pemilik nomor seluler terdata, maka sedikit banyak akan membantu pemerintah dalam mengatasi pendataan warga sekaligus mencegah terjadinya kejahatan. Paling tidak, akan membuat para penjahat berpikir lagi untuk melakukan aksinya. Apalagi, misalnya, data nomor seluler itu bisa digabung dengan data identitas pribadi yang tersimpan dalam e-KTP, maka pemerintah akan memiliki biodata yang valid mengenai rakyatnya.

Validitas (kesahihahan) data terkait identitas setiap warga negara merupakan hal terpenting dalam organisasi kehidupan bernegara. Bukan sekedar valid, tapi data yang ada harus juga reliabel, ajek, istiqamah dan akurat. Validitas dan Realibilitas inilah yang dibutuhkan agar negara bisa mengontrol rakyatnya.

Terkait dengan dunia maya dan seluler yang serba gaib, validitas dan realibitas data sangat diperlukan agar warga negara kita tidak hidup dalam bayang-bayang yang mudah diombang-ombangkan. Setiap orang harus jelas biodatanya sehingga akan meminimalisir tindak kejahatan di dunia maya dan kejahatan lain yang menggunakan jaringan seluler, termasuk terorisme, penipuan, kasus sedot pulsa, dan sebagainya.

Kejahatan seluler, mestinya bisa dideteksi oleh masing-masing operator penyedia layanan jaringan telekomunikasi dan juga oleh pemerintah. Mengapa kriminalitas yang muncul sulit dibendung? Salah satunya, karena data yang ada sulit dilacak. Pemerintah tidak memiliki data-based yang memuat identitas warga negara. Inilah yang membuat para pelaku kejahatan bebas menutup kedoknya. Para operator pun hanya berpikir “meraih keuntungan sebanyak-banyak dengan merebut pasar sebesar-besarnya” tanpa berpikir untuk memproteksi dan melindungi custumer-nya.

Para operator yang hanya berpikir bisnis, menebar sampah kartu perdana, membombardir nomor-nomor seluler, tapi mereka tidak mampu melindungi customernya, sebaiknya disingkirkan dari Indonesia. Pemerintah harus tegas, rakyat harus berani dan pengguna layanan seluler wajib menuntut layanan yang nyaman dan aman.

Akurasi dan transparansi data, seharusnya dipahami oleh setiap orang sebagai bukti kejujuran dan keberanian untuk eksis. Dalam hubungan bisnis, misalnya, perusahaan atau orang akan lebih percaya kepada data nomor telepon rumah atau kantor daripada nomor seluler. Mengapa demikian? Karena nomor telepon rumah terekam data pemiliknya di kantor telkom. Artinya, pemilik nomor itu tidak fiktif, alamatnya jelas, identitasnya bisa diketahui orang lain.

Lain halnya dengan nomor HP. Hampir setiap hari mau gonta-ganti nomor, tidak masalah. Harga kartu perdana juga murah, fasilitasnya banyak, promonya menarik, dan sebagainya. Terlebih lagi, juga didukung dengan gadget atau ponsel yang multi-kartu. Sebuah handphone bisa menampung 2-4 nomor. Luar biasa bukan?!

Lalu, bagaimana data nomor seluler bisa valid dan reliabel? Pemerintah jelas kesulitan mengatasi hal ini, jika tidak segera membuat kebijakan mengenai "pembatasan kepemilikan nomor seluler". Selain pemerintah, masyarakat pun akan mudah menjadi korban penipuan di jaringan seluler.

Ada saudara saya yang tertipu jutaan rupiah akibat "undian berhadiah palsu". Semua transaksi antara penipu dan korban, berlangsung melalui jaringan GSM. Si penjahat akhirnya ganti nomor dan tidak bisa lagi dihubungi. Bahkan, ketika nomor-nomor habis pakai tadi dilaporkan ke polisi dan ke operator seluler, mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena data tentang si pemilik nomor tidak ada, tidak bisa dilacak. Aneh kan?!

Bagaimana mungkin, aparatur negara yang bertugas melindungi warganya tidak sanggup mengatasi dan mengetahui identitas warganya, termsuk nomor HP tiap orang.

Oleh sebab itu, tulisan ini hanya memberi masukan kepada pemerintah dan juga operator seluler di Indonesia supaya membatasi kepemilikan nomor HP untuk tiap orang. Misalnya, hanya 3 nomor GSM dan 2 nomor CDMA untuk tiap orang selama hidupnya. Semua data harus masuk ke pusat data milik negara dan terintegrasi dengan data dalam e-KTP. Hal ini sedikit-banyak akan mencegah terjadinya tidak kejahatan.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar