Pada akhir tahun 90an, ketika itu nomor GSM masih sekitar 9 s/d 10
digit. Tapi kini, sudah mencapai 12-13 digit (081x-xxxx-xxxx). Hal ini
menunjukkan betapa besar animo masyarakat Indonesia sebagai pengguna
telepon seluler, baik bermadzhab GSM ataupun CDMA.
Ke
depan, angka-angka itu bisa jadi makin panjang. Apalagi kini, tiap
operator berlomba menambah konsumen melalui produk baru “kartu perdana”.
Hampir dari setiap 3-6 bulan, setiap operator memproduksi label kartu
perdana baru yang tentu dengan fasilitas baru dan promo yang
menggiurkan. Sehingga, tidak heran bila muncul tren, "Pulsa habis, beli
aja kartu baru lagi".
Program Pemerintah yang dulu pernah
hendak mendata identitas pemilik kartu seluler dengan cara ketik: DAFTAR
kirim ke 4444, ternyata sudah tidak laku lagi. Pengguna kartu baru,
bisa dengan mudah menulis data palsu yang tidak sesuai dengan KTP-nya.
Oleh karena itu, percuma saja program itu. Padahal, pendataan itu
sebenarnya bertujuan baik untuk memproteksi pengguna kartu seluler agar
tidak mudah dijadikan korban.
Apalagi, saat ini masyarakat
diributkan oleh aksi pencurian pulsa oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab. Para penjahat cyber mengelabui korbannya dengan berbagai modus,
mulai dari pembelian konten, hadiah, bonus, dan sebagainya.
Tapi,
inilah Indonesia. Bagai sperma muncrat pada awalnya muncrat, deras,
dengan semangat 45 untuk memerangi kejahatan. Eh, ternyata pada
perkembangan selanjutnya, kering tak berarti apa-apa. Program pemerintah
tidak digubris dan mudah diakali warganya.
Di beberapa
negara maju, kalau tidak salah di Saudi Arabia. Di sana, setiap orang
hanya dibatasi memiliki 4 nomor seluler selama hidupnya. Boleh beda atau
sama operator. Yang penting, jatahnya hanya maksimal 4 nomor untuk
seumur hidup. Bila kartunya hangus sebanyak 3 kali, berarti yang
bersangkutan masih tersisa 1 nomor kepemilikan. Setelah itu, ia tidak
berhak lagi memiliki nomor HP yang terdaftar di negara tersebut.
Jika
kebijakan semacam ini diterapkan di Indonesia dan semua pemilik nomor
seluler terdata, maka sedikit banyak akan membantu pemerintah dalam
mengatasi pendataan warga sekaligus mencegah terjadinya kejahatan.
Paling tidak, akan membuat para penjahat berpikir lagi untuk melakukan
aksinya. Apalagi, misalnya, data nomor seluler itu bisa digabung dengan
data identitas pribadi yang tersimpan dalam e-KTP, maka pemerintah akan
memiliki biodata yang valid mengenai rakyatnya.
Validitas
(kesahihahan) data terkait identitas setiap warga negara merupakan hal
terpenting dalam organisasi kehidupan bernegara. Bukan sekedar valid,
tapi data yang ada harus juga reliabel, ajek, istiqamah dan akurat.
Validitas dan Realibilitas inilah yang dibutuhkan agar negara bisa
mengontrol rakyatnya.
Terkait dengan dunia maya dan
seluler yang serba gaib, validitas dan realibitas data sangat diperlukan
agar warga negara kita tidak hidup dalam bayang-bayang yang mudah
diombang-ombangkan. Setiap orang harus jelas biodatanya sehingga akan
meminimalisir tindak kejahatan di dunia maya dan kejahatan lain yang
menggunakan jaringan seluler, termasuk terorisme, penipuan, kasus sedot
pulsa, dan sebagainya.
Kejahatan seluler, mestinya bisa
dideteksi oleh masing-masing operator penyedia layanan jaringan
telekomunikasi dan juga oleh pemerintah. Mengapa kriminalitas yang
muncul sulit dibendung? Salah satunya, karena data yang ada sulit
dilacak. Pemerintah tidak memiliki data-based yang memuat
identitas warga negara. Inilah yang membuat para pelaku kejahatan bebas
menutup kedoknya. Para operator pun hanya berpikir “meraih keuntungan
sebanyak-banyak dengan merebut pasar sebesar-besarnya” tanpa berpikir
untuk memproteksi dan melindungi custumer-nya.
Para
operator yang hanya berpikir bisnis, menebar sampah kartu perdana,
membombardir nomor-nomor seluler, tapi mereka tidak mampu melindungi
customernya, sebaiknya disingkirkan dari Indonesia. Pemerintah harus
tegas, rakyat harus berani dan pengguna layanan seluler wajib menuntut
layanan yang nyaman dan aman.
Akurasi dan transparansi
data, seharusnya dipahami oleh setiap orang sebagai bukti kejujuran dan
keberanian untuk eksis. Dalam hubungan bisnis, misalnya, perusahaan atau
orang akan lebih percaya kepada data nomor telepon rumah atau kantor
daripada nomor seluler. Mengapa demikian? Karena nomor telepon rumah
terekam data pemiliknya di kantor telkom. Artinya, pemilik nomor itu
tidak fiktif, alamatnya jelas, identitasnya bisa diketahui orang lain.
Lain
halnya dengan nomor HP. Hampir setiap hari mau gonta-ganti nomor, tidak
masalah. Harga kartu perdana juga murah, fasilitasnya banyak, promonya
menarik, dan sebagainya. Terlebih lagi, juga didukung dengan gadget atau
ponsel yang multi-kartu. Sebuah handphone bisa menampung 2-4 nomor.
Luar biasa bukan?!
Lalu, bagaimana data nomor seluler bisa
valid dan reliabel? Pemerintah jelas kesulitan mengatasi hal ini, jika
tidak segera membuat kebijakan mengenai "pembatasan kepemilikan nomor
seluler". Selain pemerintah, masyarakat pun akan mudah menjadi korban
penipuan di jaringan seluler.
Ada saudara saya yang
tertipu jutaan rupiah akibat "undian berhadiah palsu". Semua transaksi
antara penipu dan korban, berlangsung melalui jaringan GSM. Si penjahat
akhirnya ganti nomor dan tidak bisa lagi dihubungi. Bahkan, ketika
nomor-nomor habis pakai tadi dilaporkan ke polisi dan ke operator
seluler, mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena data tentang si
pemilik nomor tidak ada, tidak bisa dilacak. Aneh kan?!
Bagaimana
mungkin, aparatur negara yang bertugas melindungi warganya tidak
sanggup mengatasi dan mengetahui identitas warganya, termsuk nomor HP
tiap orang.
Oleh sebab itu, tulisan ini hanya memberi
masukan kepada pemerintah dan juga operator seluler di Indonesia supaya
membatasi kepemilikan nomor HP untuk tiap orang. Misalnya, hanya 3 nomor
GSM dan 2 nomor CDMA untuk tiap orang selama hidupnya. Semua data harus
masuk ke pusat data milik negara dan terintegrasi dengan data dalam
e-KTP. Hal ini sedikit-banyak akan mencegah terjadinya tidak kejahatan.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar