25 November 2011

Hamba Guruku

 


"Ana 'abdu man 'allamani wa law harfan", aku adalah hamba guruku meski hanya mengajarku satu huruf, kata S. Ali bin Abu Thalib ra.

Kalimat di atas adalah sebuah pengakuan sekaligus penghormatan dari seorang murid terhadap gurunya. Apalagi kalimat itu diungkapkan oleh S. Ali bin Abu Thalib yang telah didaulat oleh Rasulullah sebagai pintunya ilmu. "Aku (Nabi) adalah kotanya ilmu dan Ali sebagai pintunya".

Bisa dibayangkan, betapa besar rasa ta'dzim dan tawaddu' Ali bin Abu Thalib terhadap gurunya hingga beliau menyatakan diri sebagai hamba sahaya yang segala jiwa dan raganya siap dikhidmatkan kepada gurunya. Bukan hanya itu, setiap orang, siapapun saja yang telah mengajarkan ilmu meski satu huruf, maka ia diposisikan sebagai guru untuk selamanya.

Pengakuan murid terhadap guru sebagaimana yang dicontohkan Ali bin Abu Thalib adalah pelajaran yang patut ditiru. Dan, akhlaq semacam ini yang kini mulai dirasakan luntur. Sekedar mengingat nama atau wajah para guru saja, seringkali tidak terlintas dalam benak seorang murid, apalagi mengaku sebagai hamba.

Sangat boleh jadi, terbukanya pintu ilmu dan wahana pengetahuan yang luas di dalam diri S. Ali adalah berkat rasa ta'dzim beliau terhadap para gurunya. Dalam dunia pesantren, ridha seorang guru jauh lebih penting daripada prestasi belajar. Seorang kiai atau guru di mata santri adalah segalanya. Bahkan, seluruh keluarga sang kiai tetap dianggapnya sebagai guru yang juga harus dihormati.

Apapun dan siapapun yang dicintai sang guru, maka bagi santri, juga harus dihormati dan dicintai sepenuh hati. Itupun tanpa alasan atau pamrih apapun dan penghormatan ini berlaku tanpa batas!!

Contoh hubungan antara guru dan murid di atas, memang sengaja dicuplik dari dunia pesantren. Sebab, "shilah" atau keterikatan antara guru dan murid ala pesantren, -sepanjang yang saya tahu- tidak ada yang mengunggulinya. Atmosfer pesantren memang kental dengan sikap tawaddu', rendah hati, sopan terhadap guru, dan sebagainya yang karakteristik semacam ini belum bisa ditandingi oleh lembaga pendidikan non-pesantren di Indonesia.

Mengapa iklim pesantren sedemikian kuat dalam membentuk jiwa murid sehingga ia amat sangat menghormati gurunya? Salah satu jawabannya adalah karena hubungan yang dijalin dan dibudayakan di pesantren adalah "shilah ruhiyyah" (relasi rohani), bukan "shilah tijariyah" (relasi transaksional).

Sementara itu, di lembaga-lembaga pendidikan yang berorientasi pada "pendapatan", terlebih lagi jika sekolah itu telah dimanej ala perusahaan yang mana semuanya dihitung sebagai bisnis, maka dampak negatifnya adalah terkikisnya relasi rohani tadi. Ketika relasi ini yang lenyap, maka tidak perlu dipersalahkan bilamana hubungan antara guru dan murid cukup terhenti ketika si murid mendapat ijazah!!

Hal kedua yang perlu ditekankan di sini, selain tentang motif relasi rohani, adalah sosok guru. Selama ini, guru yang dimaksud S. Ali di atas, hanya dipahami sebagai guru agama yang mengajar baca-tulis al-Quran atau huruf hijaiyah belaka. Padahal, guru di bidang apapun seharusnya juga diposisikan sama.

Guru matematika yang pernah mengajarkan cara berhitung, guru di TK yang mengajarkan tentang aneka warna dan lagu, guru SD yang memberi contoh menulis dan menggambar, dan guru-guru di bidang lainnya, mereka semua adalah sosok mulia yang wajib dihormati.

Memperingati hari guru nasional, paling tidak harus dimulai dengan kembali mengingat-ingat wajah dan nama guru-guru kita sejak kita kecil hingga hari ini. Kita perlu mengheningkan cipta sejenak sambil mengenang perjuangan para guru kita, perjalanan hidup nereka yang sarat perjuangan, suka-duka yang mereka alami namun dibungkus rapi saat mereka mengajarkan ilmu di depan kita, dan bayang-bayang lainnya.

Mengingat itu semua, paling tidak akan menimbulkan rasa ta'dzim yang lalu kita teruskan dengan mendoakan mereka supaya Allah selalu melindungi dan membalas segala kebajikan mereka dengan pahala dan kemuliaan dunia-akhirat. Pada tahap selanjutnya, kita wajib menyampaikan terima kasih yang tak terbatas. Sebab, segala yang kita ketahui hari ini adalah berkat akumulasi dari ilmu pengetahuan yang pernah diajarkan para guru.

Terima Kasih, semua guruku. Akulah hamba sahaya yang sering melupakan nasibmu. Maafkan aku, Guru....

Tidak ada komentar:
Tulis komentar