28 November 2011

Mengurus Masjid, Tanggung Jawab Bersama

 




Seiring perkembangan zaman, mengurus masjid pun harus dengan manajemen yang baik dan tata administrasi yang rapi. Salah satu cirinya adalah adanya struktur kepengurusan yang lengkap dan disesuaikan dengan kebutuhan masjid.

Semua sistem manajemen, termasuk kemasjidan, harus ditopang dengan kesungguhan hati dan pikiran para pengurus masjid itu sendiri. Tapi masalahnya, sebagaimana dalam organisasi lain, ada beberapa person yang kurang atau bahkan tidak memahami tugas dan wewenangnya. Akibatnya, yang terjadi adalah manajemen "tukang cukur" dimana semua kebutuhan masjid hanya diurus oleh segelintir orang; ketua, bendahara, sekretaris dan seksi kebersihan saja. Sementara seksi-seksi lain hanya sekedar nama.

Mengurus masjid, apalagi di tengah perkampungan, ternyata tidak mudah. Ada saja hambatan dan tantangan dari beberapa pihak yang merasa tidak puas. Ada yang tidak puas karena calon pimpinan atau orang-orang yang didukungnya tidak menjadi pucuk pimpinan atau pengurus teras. Ada pula yang tidak puas karena faktor pribadi di luar masalah masjid lalu dibawa-bawa ke urusan ketakmiran. Ada juga yang tidak puas dan selalu merasa kontra entah karena apa dan siapa, dia sendiri juga mengerti.

Jika dalam struktur pemerintahan atau perusahaan ada pergesekan dan persaingan jabatan, itu sih wajar. Sebab, para pemimpin itu dibayar dan jabatannya diperebutkan. Lain halnya dengan pengurus masjid. Meski tidak dibayar atau "ikhlas-ikhlasan", anehnya masih ada saja pihak yang selalu kontra, atau saling mencari pendukung yang tujuan sebenarnya bukan murni untuk kemaslahatan masjid.

Masyarakat perkampungan di sekitar masjid, biasanya masih melihat faktor senioritas atau hanya mendukung orang-orang yang termasuk golongannya sendiri. Jarang ada yang melihat dari aspek sumberdaya manusia, profesionalisme, integritas dan loyalitas. Akhirnya, yang terbangun adalah hubungan yang didasari pada "like and dis like" (suka atau tidak suka), bukan benar atau salah. Karena itu, gesekan selalu saja timbul meski hanya masalah kecil.

Sebuah kebijakan yang lalu disikapi dengan "suka atau tidak suka", akan selalu melahirkan pandangan yang picik dan tidak dewasa. Seharusnya, seseorang yang memiliki integritas keimanan dan keilmuan yang mendalam, akan menyikapi segalanya secara demokratis, arif dan terbuka. Sikap semacam ini yang belum banyak terbangun dalam masyarakat perkampungan.

Membangun kesadaran masyarakat untuk bersama melihat pentingnya posisi masjid sebagai denyut nadi keberagamaan merupakan upaya berat yang perlu kerja keras dan berkesinambungan. Tidak cukup dengan mauidzah atau siraman rohani, tapi lebih dari itu, setiap kepala keluarga yang berada di sekitar masjid harus memberi contoh bagaimana memakmurkan masjid dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap rumah Allah tersebut.

Contoh yang dimaksud di atas, paling tidak, kepala keluarga (ayah-ibu) masuk ke masjid dan shalat berjamaah, lalu menggiring anak-anaknya ikut ke masjid. Contoh kecil ini adalah langkah pertama membangun kesadaran untuk memakmurkan masjid. Sebab, tugas "takmirul masjid" tidak hanya beban bagi pengurus takmir belaka, tapi kewajiban atas semua umat Islam terutama masyarakat di sekitar masjid.

Apabila masjid sebagai urat nadi keberagamaan telah terhenti, tidak menciptakan proses regenerasi, maka sudah terbayang di depan mata tentang wajah Islam ke depan. Yakni, Islam yang hanya tersisa namanya karena masjidnya tidak memberi hidayah bagi umat.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar