Seiring perkembangan zaman, mengurus masjid pun harus dengan
manajemen yang baik dan tata administrasi yang rapi. Salah satu cirinya
adalah adanya struktur kepengurusan yang lengkap dan disesuaikan dengan
kebutuhan masjid.
Semua sistem manajemen, termasuk
kemasjidan, harus ditopang dengan kesungguhan hati dan pikiran para
pengurus masjid itu sendiri. Tapi masalahnya, sebagaimana dalam
organisasi lain, ada beberapa person yang kurang atau bahkan tidak
memahami tugas dan wewenangnya. Akibatnya, yang terjadi adalah manajemen
"tukang cukur" dimana semua kebutuhan masjid hanya diurus oleh
segelintir orang; ketua, bendahara, sekretaris dan seksi kebersihan
saja. Sementara seksi-seksi lain hanya sekedar nama.
Mengurus
masjid, apalagi di tengah perkampungan, ternyata tidak mudah. Ada saja
hambatan dan tantangan dari beberapa pihak yang merasa tidak puas. Ada
yang tidak puas karena calon pimpinan atau orang-orang yang didukungnya
tidak menjadi pucuk pimpinan atau pengurus teras. Ada pula yang tidak
puas karena faktor pribadi di luar masalah masjid lalu dibawa-bawa ke
urusan ketakmiran. Ada juga yang tidak puas dan selalu merasa kontra
entah karena apa dan siapa, dia sendiri juga mengerti.
Jika
dalam struktur pemerintahan atau perusahaan ada pergesekan dan
persaingan jabatan, itu sih wajar. Sebab, para pemimpin itu dibayar dan
jabatannya diperebutkan. Lain halnya dengan pengurus masjid. Meski tidak
dibayar atau "ikhlas-ikhlasan", anehnya masih ada saja pihak yang
selalu kontra, atau saling mencari pendukung yang tujuan sebenarnya
bukan murni untuk kemaslahatan masjid.
Masyarakat
perkampungan di sekitar masjid, biasanya masih melihat faktor senioritas
atau hanya mendukung orang-orang yang termasuk golongannya sendiri.
Jarang ada yang melihat dari aspek sumberdaya manusia, profesionalisme,
integritas dan loyalitas. Akhirnya, yang terbangun adalah hubungan yang
didasari pada "like and dis like" (suka atau tidak suka), bukan benar
atau salah. Karena itu, gesekan selalu saja timbul meski hanya masalah
kecil.
Sebuah kebijakan yang lalu disikapi dengan "suka
atau tidak suka", akan selalu melahirkan pandangan yang picik dan tidak
dewasa. Seharusnya, seseorang yang memiliki integritas keimanan dan
keilmuan yang mendalam, akan menyikapi segalanya secara demokratis, arif
dan terbuka. Sikap semacam ini yang belum banyak terbangun dalam
masyarakat perkampungan.
Membangun kesadaran masyarakat
untuk bersama melihat pentingnya posisi masjid sebagai denyut nadi
keberagamaan merupakan upaya berat yang perlu kerja keras dan
berkesinambungan. Tidak cukup dengan mauidzah atau siraman rohani, tapi
lebih dari itu, setiap kepala keluarga yang berada di sekitar masjid
harus memberi contoh bagaimana memakmurkan masjid dan memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap rumah Allah tersebut.
Contoh
yang dimaksud di atas, paling tidak, kepala keluarga (ayah-ibu) masuk
ke masjid dan shalat berjamaah, lalu menggiring anak-anaknya ikut ke
masjid. Contoh kecil ini adalah langkah pertama membangun kesadaran
untuk memakmurkan masjid. Sebab, tugas "takmirul masjid" tidak hanya
beban bagi pengurus takmir belaka, tapi kewajiban atas semua umat Islam
terutama masyarakat di sekitar masjid.
Apabila masjid
sebagai urat nadi keberagamaan telah terhenti, tidak menciptakan proses
regenerasi, maka sudah terbayang di depan mata tentang wajah Islam ke
depan. Yakni, Islam yang hanya tersisa namanya karena masjidnya tidak
memberi hidayah bagi umat.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar