Gambaran suasana padang mahsyar kelak, saat semua manusia dikumpulkan
menjadi satu, sering dihubungkan dengan peristiwa wukuf di Arafah. Dan
ternyata, memang begitulah penjelasan kitab-kitab agama selama ini.
Ketika
semua manusia tumplek blek menjadi satu di padang Arafah, mereka semua
dalam keadaan ihram yang dilarang memakai pakaian berjahit, memakai
wangi-wangian, memotong tumbuhan dan larangan-larangan ihram lainnya,
semua itu kian menunjukkan kesamaan dengan suasana di alam mahsyar
kelak. Berpakaian ihram yang sama-sama putih, bermunajat bareng, memuja
kepada satu tuhan, dan sebagainya, sekali lagi kian menambah bayangan
manusia tentang mahsyar!
Tapi, kesamaan itu, saya kira
hanya bisa dirasakan oleh para haji tempo dulu. Yakni, ketika Arafah
masih tandus, ada hamparan yang luas dan panas, tenda-tendanya juga
sederhana dan sebagainya. Jamaah haji saat ini, akan terasa sulit
membayangkan mahsyar saat di Arafah. Mengapa?
Arafah di
era milenium ini sudah tampak subur, tidak lagi gersang. Banyak
pohon-pohonan. Tenda-tenda ber-AC yang sejuk juga banyak didirikan.
Hamparannya bukan lagi padang pasir, tapi sudah di-paving, berlantai.
Jalanannya juga beraspal. Aneka fasilitas, seperti: makanan catering,
minuman segar, buah-buahan, alat transportasi yang memadai, semuanya
menjadi wajah baru Arafah sehingga tampak "jauh" jika Arafah digambarkan
dengan padang mahsyar, mengingat semua yang ada di Arafah sudah serba
modern.
Saya justru merasakan "dahsyatnya suasana bagai di
Mahsyar", ketika berada di Muzdalifah pada tengah malam. Di Muzdalifah,
saya melihat para jamaah haji diterlantarkan di sebuah lapangan luas,
di atas batu-batu kerikil, tidak bertenda, berada di gelapnya malam,
dalam kelelahan dan ngantuk. Semua peluh-kesah, rasa capek, meningkatnya
emosi ketika berada di Muzdalifah, menurut saya, semua ini justru lebih
mendekati suasana mahsyar seperti digambarkan kitab-kitab klasik, bukan
lagi Arafah karena Arafah tidak lagi tepat di sebut "Padang Arafah". Ke
depan, ia justru lebih cocok disebut "Kebun Arafah".
Sesungguhnya,
yang ingin saya katakan adalah bahwa ketika fasilitas modern yang serba
memudahkan telah dirasakan para haji di tanah suci termasuk di Arafah,
maka dalam perspektif rohani, justru hal itu seringkali kian menjauhkan
ilustrasi seseorang terhadap gambaran-gambaran tentang kehidupan
akhirat, sekaligus makin menjauhkan dari keaslian menapak-tilasi manasik
haji ala Rasulullah saw yang natural.
Tidak salah memang
menggunakan teknologi modern dalam proses perjalanan haji karena memang
tujuan teknologi adalah mempermudah umat manusia. Itulah manfaat ilmu
pengetahuan. Namun di satu sisi, sebenarnya ada juga yang menghilang
akibat kemudahan dan kelengkapan fasilitas berhaji. Yakni, kedekatan
dengan realitas spiritual dalam menapak-tilasi manasik haji ala
Rasulullah saw. Mengingat, beliau pernah bersabda: "Ambillah manasik
haji kalian dariku".
Yah, hanya tersisa Muzdalifah yang
masih lebih mendekati suasana spiritual yang natural. Meskipun, di sana
saat ini sudah ada transportasi kereta cepat yang jika benar-benar
dioperasikan, maka kemudahan demi kemudahan makin dirasakan para jamaah
haji. Sedangkan suasana Arafah, apalagi arena jamaraat, semuanya telah
bersentuhan dengan modernisme.
Karena itu, yang sulit bagi
jamaah haji saat ini adalah mengambil hikmah spiritual dan merasakan
aspek kedekatan dengan Allah seiring dengan wajah modernisme dan
teknologi canggih di tengah menjalankan manasik haji. Ketika situs-situs
bersejarah berubah wajah menjadi fasilitas modern dan pelaksanaan haji
kian mudah, maka sangat boleh jadi kemudahan ini bisa menjauhkan seorang
haji dari pendekatan kepada Allah swt.
Hanya orang yang
benar-benar berdzikir dan mendapat ma'unah Allah, yang akan terus
menikmati kedalaman spiritualitas haji di tengah gemerlapnya modernisme
dan teknologi canggih!
Tidak ada komentar:
Tulis komentar