Pada haji tahun 1994, saya masih ingat hingga sekarang, bahwa saya pernah tersesat jalan pulang menuju ke perkemahan Indonesia.
Ketika
kami serombongan telah tiba di Mina, kami beristirahat sebentar, lalu
dengan sekitar 30 orang, kami berangkat menuju jamaraat untuk melempar
Aqobah dan cukur (tahallul awal). Saat itu, saya yang termuda, masih
berusia 17 tahun.
Sebelum tiba di Jamaraat, kami berjanji
akan saling bertemu dan berkumpuk di sebuah tiang agar nanti bisa pulang
bersama supaya tidak tersesat. Mengingat kondisi Jamaraat yang sesak
dan berdesakan, maka sangat memungkinkan semua rombongan akan terpisah.
Karena itu, jika terpisah, maka harus kembali ke tiang tadi supaya tidak
bingung dalam perjalanan pulang ke tenda.
Nah, setelah
melontar jumrah Aqobah dan cukur, ternyata yang tiba di tiang tadi cuma
saya dan 3 orang jamaah. Kami berempat agak lama menunggu teman-teman
kami berkumpul di sana. Karena kesabaran kami mulai habis, lantas dengan
penuh percaya diri (baca: sombong), saya mengajak ketiga rekan tadi
untuk pulang lebih dulu.
"Ya sudah, kita tinggalkan saja
yang lain, toh sampeyan bisa bahasa Arab. Ngak mungkin kita tersesat
meski kita semua baru kali ini naik haji", kata seorang teman kepada
saya yang membuat kami membulatkan tekad untuk pulang lebih awal,
meninggalkan teman-teman kami.
Kami pun akhirnya berjalan
terus dan terus hingga kami sadar bahwa perjalanan kami sudah melebihi
batas. "Seharusnya, kita sudah sampai di terowongan", kata teman saya.
"Iya, ayo kita tanya orang Arab!", usul teman kami yang lain.
Saya
bertanya kepada seorang Arab berbaju petugas haji. Si Arab itu
menunjukkan jarinya, tanda kami supaya terus berjalan lurus. Kami pun
mengikuti petunjuknya. Namun, jarak yang kami tempuh terasa kian jauh
dan melelahkan.
Akhirnya, dalam hati kecil, saya pun
tersadar bahwa kami telah tersesat. Langsung saja saya beristighfar
kepada Allah atas kesombongan saya dan rekan-rekan saya. Saya memohon
ampun karena telah meninggalkan teman-teman kami di Jamaraat.
Sesaat
setelah saya beristighfar, seakan ada yang mendongakkan kepala, mata
saya langsung tertuju pada sederetan bendera merah putih yang itu
menunjuk pada terowongan Mina yang kami cari-cari.
"Itu
dia terowongannya", kata saya kepada rekan-rekan yang membuat wajah
mereka gembira setelah sebelumnya saling menggerutu, bahkan ada yang
menyalahkan saya sambil marah-marah.
Apa yang terjadi
kemudian? Ketika saya tiba di perkemahan, kami melihat semua teman-teman
kami telah tiba di sana. Mereka sudah tidur-tiduran, santai dan
bertanya kepada kami, "Loh, kalian main kemana saja? Kami cari-cari kok
tidak ketemu. Maaf ya, kalian kami tinggal", kata ketua rombongan kepada
kami berempat.
Saya hanya tersenyum, tapi dalam hati,
saya benar-benar beristighfar kepada Allah. Dia Yang Maha Kuasa telah
menunjukkan kekuasaan-Nya bagi siapapun yang meminjam sifat sombong-Nya.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar