Membaca kiprah Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja mataram (1613-1645)
yang berperan mengintegrasikan antara penanggalan Jawa Saka dan
penanggalan Islam Hijriyah, bisa ditarik kesimpulan bahwa keputusan
penting itu benar-benar bersifat fundamental dalam sejarah perkembangan
Islam di tanah Jawa.
Dengan kata lain, Sultan Agung telah
memberi kontribusi besar terhadap nusantara, terutama dalam memposisikan
Islam di hati rakyatnya tanpa memberangus budaya, adat-istiadat dan
juga sifat-sifat moral masyarakat Jawa semisal gotong royong, toleran,
guyup, santun dan sebagainya.
Sultan Agung menginginkan
Islam benar-benar meluas, menjadi denyut nadi rakyatnya dan diposisikan
sebagai kiblat. Sehingga, keputusan-keputusannya selalu berpihak kepada
rakyat dan umat. Selain penanggalan, misalnya, Sultan Agung selalu
berusaha menggabungkan empat elemen di setiap kadipaten. Yakni, tempat
ibadah, pemerintahan, pasar dan penjara dengan alun-alun di bagian
tengahnya.
Keputusan yang bersifat filosofis itu
membuktikan ketajaman hati seorang pemimpin yang sanggup membaca
tanda-tanda zaman. Kemampuan semacam ini yang kini sulit ditemukan di
dalam diri para pemimpin bangsa.
Para pemimpin bangsa yang
ada dewasa ini, kebanyakan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau
kelompok, partai dan golongannya sendiri. Akibatnya, visi dan ketajaman
mata hatinya menjadi tertutup oleh keduniawian. Sikap materialis telah
membutakan para pemimpin yang hanya berorientasi meraih jabatan,
kekuasaan dan kekayaan belaka.
Para pemimpin bangsa
Indonesia sudah tidak lagi mampu membuat keputusan penting yang bersifat
fundamental demi kejayaan Islam di masa depan. Salah satu contohnya
adalah fenomena tahun baru masehi yang begitu diagung-agungkan oleh
pemerintah RI melebihi sikapnya dalam memuliakan tahun baru hijriyah!!
Ketika
detik-detik pergantian tahun baru masehi, para pemimpin bangsa mulai
dari Presiden, Gubernur hingga Walikota dan Bupati, mereka biasa
berkumpul mengajak rakyatnya menyambut tahun baru masehi dengan
berhura-hura. Tret..teet..teeet....., suara terompet ditiup para
pemimpin bangsa lalu diikuti rakyatnya. Entah apa hebatnya suara
terompet itu, tapi yang tampak para pemimpin bangsa kita menaruh harapan
setelah terompet berbunyi, konser musik berdentum dan artis bergoyang
sambil bernyanyi.
Berbeda dengan tahun baru hijriyah atau
tahun baru saka Jawa. Pergantian tahun ini, memang dimeriahkan dengan
berbagai upacara dan kegiatan ritual keagamaan. Namun, seperti yang
dihimbau oleh Sultan Agung bahwa hendaknya tahun baru hijriyah atau saka
dimulai dengan muhasabah atau perenungan diri terhadap kesalahan di
masa lalu sehingga lahir tekad besar untuk memperbaiki dan merubahnya di
masa mendatang.
Oleh sebab itu, selain rasa syukur yang
diluapkan dengan berbagai perayaan, Sultan Agung dan para wali Jawa
tempo dulu, selalu menekankan pada olah spiritual, kelakuan tirakat,
mandi dan solat tobat, puasa dan sebagainya. Sikap hidup prihatin,
tirakat, olah batin dan sebagainya itu yang lalu menjadi bekal bagi
rakyat yang dipimpinnya untuk bisa hidup kuat, ngalah, sabar, tegar dan
berani menderita demi kemenangan anak-cucu mereka kelak.
Apa
yang dicontohkan para leluhur terdahulu ini, tidak lepas juga dari
ajaran Rasulullah saw yang beliau pun telah mencontohkan sikap tabah
dalam berhijrah dari Mekah ke Madinah. Nabi dan para sahabat rela
melakukan tirakat, hidup prihatin dan tegar saat diboikot oleh kaum
Quraisy di daerah Syi'ib, dekat kota Mekah hingga umat Islam memakan
rumput-rumputan kering. Peristiwa berat ini berlangsung selama 3 tahun
sebelum hijrah ke Madinah. Belum lagi penderitaan yang dialami Nabi di
Thaif, tempat beliau dilempari batu dan peristiwa berat lainnya yang itu
semua adalah wujud pengorbanan demi masa depan.
Sebuah
pemandangan berbeda dengan sikap pemimpin masa kini. Mereka bukannya
mencontohkan hidup prihatin dan tirakat, tapi justru mencontohkan hidup
rakus terhadap kekuasaan dan ingin meraup kekayaan negara
sebesar-besarnya sebelum pensiun tiba. Akhirnya, masalah pergantian
tahun baru hijriyah pun tidak begitu diperhatikan.
Semestinya,
negara memprakarsai penyambutan tahun baru hijriyah dengan meriah. Bila
perlu, di istana negara, di gedung DPR-MPR, di kantor gubernur,
kotamadya, kabupaten, kecamatan hingga kelurahan, semua tempat
pemerintahan itu mengkoordinasi penyambutan tahun baru hijriyah.
Nyatanya, tahun baru hijriyah atau Saka Jawa hanya ditandai dengan
tanggal merah belaka.
Jadi sebenarnya, pemerintah belum
cukup jika hanya memutuskan tahun baru hijriyah sebagai hari libur
nasional. Tapi, lebih dari itu, semua pemimpin bangsa wajib memeriahkan
pergantian tahun Islam dan Jawa ini dengan perayaan yang tidak boleh
kalah dengan perayaan pergantian tahun masehi.
Selain
menyambut tahun baru hijriyah dan tahun Saka Jawa dengan meriah, yang
tidak kalah pentingnya adalah bahwa para pemimpin bangsa ini mampu
memberi contoh hidup prihatin, sederhana, menjauhi kemewahan di tengah
kesulitan hidup rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar