3 Desember 2011

Sultan Agung dan Pemimpin Bangsa

 


Membaca kiprah Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja mataram (1613-1645) yang berperan mengintegrasikan antara penanggalan Jawa Saka dan penanggalan Islam Hijriyah, bisa ditarik kesimpulan bahwa keputusan penting itu benar-benar bersifat fundamental dalam sejarah perkembangan Islam di tanah Jawa.

Dengan kata lain, Sultan Agung telah memberi kontribusi besar terhadap nusantara, terutama dalam memposisikan Islam di hati rakyatnya tanpa memberangus budaya, adat-istiadat dan juga sifat-sifat moral masyarakat Jawa semisal gotong royong, toleran, guyup, santun dan sebagainya.

Sultan Agung menginginkan Islam benar-benar meluas, menjadi denyut nadi rakyatnya dan diposisikan sebagai kiblat. Sehingga, keputusan-keputusannya selalu berpihak kepada rakyat dan umat. Selain penanggalan, misalnya, Sultan Agung selalu berusaha menggabungkan empat elemen di setiap kadipaten. Yakni, tempat ibadah, pemerintahan, pasar dan penjara dengan alun-alun di bagian tengahnya.

Keputusan yang bersifat filosofis itu membuktikan ketajaman hati seorang pemimpin yang sanggup membaca tanda-tanda zaman. Kemampuan semacam ini yang kini sulit ditemukan di dalam diri para pemimpin bangsa.

Para pemimpin bangsa yang ada dewasa ini, kebanyakan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kelompok, partai dan golongannya sendiri. Akibatnya, visi dan ketajaman mata hatinya menjadi tertutup oleh keduniawian. Sikap materialis telah membutakan para pemimpin yang hanya berorientasi meraih jabatan, kekuasaan dan kekayaan belaka.

Para pemimpin bangsa Indonesia sudah tidak lagi mampu membuat keputusan penting yang bersifat fundamental demi kejayaan Islam di masa depan. Salah satu contohnya adalah fenomena tahun baru masehi yang begitu diagung-agungkan oleh pemerintah RI melebihi sikapnya dalam memuliakan tahun baru hijriyah!!

Ketika detik-detik pergantian tahun baru masehi, para pemimpin bangsa mulai dari Presiden, Gubernur hingga Walikota dan Bupati, mereka biasa berkumpul mengajak rakyatnya menyambut tahun baru masehi dengan berhura-hura. Tret..teet..teeet....., suara terompet ditiup para pemimpin bangsa lalu diikuti rakyatnya. Entah apa hebatnya suara terompet itu, tapi yang tampak para pemimpin bangsa kita menaruh harapan setelah terompet berbunyi, konser musik berdentum dan artis bergoyang sambil bernyanyi.

Berbeda dengan tahun baru hijriyah atau tahun baru saka Jawa. Pergantian tahun ini, memang dimeriahkan dengan berbagai upacara dan kegiatan ritual keagamaan. Namun, seperti yang dihimbau oleh Sultan Agung bahwa hendaknya tahun baru hijriyah atau saka dimulai dengan muhasabah atau perenungan diri terhadap kesalahan di masa lalu sehingga lahir tekad besar untuk memperbaiki dan merubahnya di masa mendatang.

Oleh sebab itu, selain rasa syukur yang diluapkan dengan berbagai perayaan, Sultan Agung dan para wali Jawa tempo dulu, selalu menekankan pada olah spiritual, kelakuan tirakat, mandi dan solat tobat, puasa dan sebagainya. Sikap hidup prihatin, tirakat, olah batin dan sebagainya itu yang lalu menjadi bekal bagi rakyat yang dipimpinnya untuk bisa hidup kuat, ngalah, sabar, tegar dan berani menderita demi kemenangan anak-cucu mereka kelak.

Apa yang dicontohkan para leluhur terdahulu ini, tidak lepas juga dari ajaran Rasulullah saw yang beliau pun telah mencontohkan sikap tabah dalam berhijrah dari Mekah ke Madinah. Nabi dan para sahabat rela melakukan tirakat, hidup prihatin dan tegar saat diboikot oleh kaum Quraisy di daerah Syi'ib, dekat kota Mekah hingga umat Islam memakan rumput-rumputan kering. Peristiwa berat ini berlangsung selama 3 tahun sebelum hijrah ke Madinah. Belum lagi penderitaan yang dialami Nabi di Thaif, tempat beliau dilempari batu dan peristiwa berat lainnya yang itu semua adalah wujud pengorbanan demi masa depan.

Sebuah pemandangan berbeda dengan sikap pemimpin masa kini. Mereka bukannya mencontohkan hidup prihatin dan tirakat, tapi justru mencontohkan hidup rakus terhadap kekuasaan dan ingin meraup kekayaan negara sebesar-besarnya sebelum pensiun tiba. Akhirnya, masalah pergantian tahun baru hijriyah pun tidak begitu diperhatikan.

Semestinya, negara memprakarsai penyambutan tahun baru hijriyah dengan meriah. Bila perlu, di istana negara, di gedung DPR-MPR, di kantor gubernur, kotamadya, kabupaten, kecamatan hingga kelurahan, semua tempat pemerintahan itu mengkoordinasi penyambutan tahun baru hijriyah. Nyatanya, tahun baru hijriyah atau Saka Jawa hanya ditandai dengan tanggal merah belaka.

Jadi sebenarnya, pemerintah belum cukup jika hanya memutuskan tahun baru hijriyah sebagai hari libur nasional. Tapi, lebih dari itu, semua pemimpin bangsa wajib memeriahkan pergantian tahun Islam dan Jawa ini dengan perayaan yang tidak boleh kalah dengan perayaan pergantian tahun masehi.

Selain menyambut tahun baru hijriyah dan tahun Saka Jawa dengan meriah, yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa para pemimpin bangsa ini mampu memberi contoh hidup prihatin, sederhana, menjauhi kemewahan di tengah kesulitan hidup rakyatnya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar