Menurut hasil liputan investigasi sebuah media massa, ditemukan
banyak jajanan yang dijual di sekitar sekolah atau dimana saja, ternyata
membahayakan. Selain ada yang mengandung zat kimia berbahaya bagi
kesehatan, juga karena tidak higienis, tidak bersih.
Hasil
liputan ini sungguh merupakan kabar buruk bagi orang tua, guru atau
siapa saja agar supaya berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan maupun
minuman.
Al-Quran memberi petunjuk bahwa makanan atau
minuman harus "halalan thayyiban", halal dan baik. Yang dimaksud halal
di sini, tentu mencakup berbagai aspek mulai dari cara membelinya dengan
uang halal, transaksinya halal, begitu pula bagi si pedagang, ia harus
belanja dengan harta halal, memproduksinya pun harus dengan cara halal.
Tidak boleh mengandung unsur penipuan, termasuk mencampurinya dengan
bahan-bahan yang membahayakan konsumen. Sedangkan kata "thayyiban"
mencakup pengertian makanan bersih, sehat, berkualitas, bergizi dan
suci.
Seiring dengan merebaknya budaya "kuliner" saat ini,
seni memasak yang diekspos lebih banyak terfokus pada kreativitas
memproduksi makanan. Aneka hidangan yang dipertontonkan lebih sering
hanya memuat rincian bahan mentah, cara memasak dan keterampilan
mengolah hingga memproduksinya di pasaran. Akan tetapi, pada aspek
kesucian (thaharah), jarang sekali mendapat perhatian.
Para
pedagang makanan kecil (baca: asongan), warung atau bahkan restoran
besar sekalipun, seharusnya perlu dilihat ulang tentang status kesucian
makanan atau minuman yang dipasarkan. Sebab, belum tentu sebuah masakan
yang mahal, enak, bersih dan bergizi dikategorikan suci. Seenak apapun
bahan yang dimasak, sebesar apapun gizi yang dikandungnya, berapapun
mahalnya menu yang dijual, belum tentu suci.
Kesucian
makanan/minuman lebih banyak tergantung pada kompetensi orang atau koki
yang memasak atau mengolahnya. Orang yang pengetahuannya seputar fiqih
thaharah rendah, jelas hasil makanan/minuman yang diolahnya tidak jauh
dengan status najis.
Jika ditelusuri dari cara mencuci
wadah, piring, gelas atau perabot yang digunakan sebagai tempat makanan,
di berbagai warung apalagi yang ada di pinggiran jalan, tampak bahwa
dari peralatan yang dipakai kurang mendukung kesucian. Biasanya, pemilik
warung atau grobak makanan hanya menyediakan 2 buah timba. Satu timba
untuk mencuci piring atau perabot kotor bekas makanan, setelah terlihat
bersih, perabot itu dipindah ke timba kedua untuk dibilas.
Cara
di atas, sebenarnya masih tergolong suci atau benar, sepanjang salah
satu timba tidak kemasukan benda najis. Jika setetes benda najis masuk
ke air di salah satu timba, maka semua hasil bilasan selanjutnya,
dihukumi mutanajis (terkontaminasi benda najis, hukumnya najis).
Bukankah hal semacam ini sangat rentan terjadi?
Hal yang
tidak disadari, karena perabot itu dipakai makan oleh banyak konsumen.
Misalnya saja, jika suatu ketika ada sebuah sendok jatuh ke tanah yang
kotor dan najis, maka ketika sendok kotor dan najis itu dicuci dan
dibilas di air timba yang kurang dari qullah, maka najis dari
sendok tadi mengakibatkan seluruh air dalam timba kecil itu najis.
Akhirnya, pada tahap pencucian selanjutnya, semua perabot yang turut
dibersihkan, sejatinya tidak dibersihkan, tapi dilumuri air mutanajis.
Contoh
di atas adalah fakta yang banyak ditemukan di warung-warung pinggir
jalan yang tidak memiliki tempat cuci piring kecuali hanya dengan timba
berisi air yang tidak mencapai 2 qullah. Belum lagi, dari aspek
pembuatan makanan. Apakah sudah benar cara mencuci bahan masakan atau
belum? Demikian pula bahannya, apakah mengandung borak, zat kimia
berbahaya, sudah kadaluarsa, dan seterusnya?
Karena itu,
pengetahuan tentang fiqih thaharah bagi umat Islam, terutama yang
berbisnis makanan atau bergelut di bidang kuliner, hukumnya adalah
wajib. Sebab, jangan sampai kita hanya berlomba menyajikan makanan enak,
lezat, artistik, tapi esensi terpenting dari makanan itu justru
diabaikan. Hal ini sama saja dengan menebar racun demi keuntungan
sesaat.
Maka, fenomena ini patut menjadi perhatian oleh
semua kalangan. Bila perlu, disosialisasikan kepada para pemilik warung,
koki restaurant, atau pengusaha makanan agar mereka mengerti tentang
fiqih kesucian. Pada tahap selanjutnya, perlu ada sertifikasi tentang
hal ini supaya masyarakat bisa mengetahui mana warung yang suci dan mana
yang najis.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar