Ijtihad, sebagaimana rumusan Imam
Suyuti, adalah usaha seorang faqih (ahli hukum) untuk menghasilkan hukum yang
sifatnya zhanni (interpretatif). (Al-Jawami' al-Sathi'm II/479).
الإجتهاد بذل الفقيه الوسع
لتحصيل ظنّ بحكمٍ.
Jadi, ijtihad adalah mencurahkan
segala upaya (daya pikir) secara maksimal oleh seorang faqih (ahli hukum) untuk
menemukan hukum Tuhan tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Quran dan
al-Hadis dengan menggunakan dalil-dalil umum (prinsip dasar agama) yang ada
dalam al-Quran, al-Hadis, Ijma', Qiyas serta dalil lainnya.
Sebenarnya, proses ijtihad sudah
ada sejak Rasulullah saw masih hidup. Beliau pernah mengutus sahabat Mu'adz bin
Jabal ke negeri Yaman untuk menyebarkan agama Islam. Ketika sahabat Muadz
menghadap Nabi, beliau bertanya tentang urutan dasar hukum dalam pengambilan
keputusan.
عن معاذ بن جبل أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم لما بعثه إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عُرض لك قضاءٌ؟ قال:
أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله. قال: فإن
لم تجد في سنة رسول الله؟ قال: أجتهد رأيي ولا آلو. قال: فضرب رسول الله على صدره
وقال: الحمد لله وفّق رسول رسول الله لما يَرضى رسولُ الله.
"Diriwayatkan dari Muadz bin
Jabal, bahwa pada saat Rasulullah saw mengutusnya ke negeri Yaman, beliau saw
bertanya: "Bagaiamana kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan
kepada sebuah masalah?". Muadz menjawab, "Saya memutuskan dengan Kitab
Allah". Nabi saw bertanya lagi, "Jika kamu tidak menemukan di dalam
Kitab Allah?". Muadz menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah saw".
Kembali, Nabi bertanya, "Jika kamu tidak menemukan di dalam Sunnah?".
Dia menjawab, "Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang".
Kemudian, Muadz bercerita, "Rasulullah saw menepuk dadanya dan bersabda,
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan
Rasulullah dengan sesuatu (keputusan) yang diridhai Rasulullah saw".
(Sunan al-Darimi, 168)
Dari dalil ini, dapat dipahami
bahwa ijtihad telah mendapat legalitas (pengakuan) dalam Islam, bahkan
dianjurkan. Banyak ayat al-Quran dan al-Hadis yang menyinggung urgensi
(pentingnya) ijtihad. Apapun hasilnya, ijtihad merupakan kegiatan yang terpuji.
Dalam sebuah hadis dijelaskan:
عن عمرو بن العاص أنه سمع رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقول: إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم
واجتهد ثم أخطأ فله أجرٌ.
"Diriwayatkan dari 'Amr bin
Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda, "Apabila seorang hakim
memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka
ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim
itu memutuskan perkara, lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu
pahala (pahala ijtihadnya)". (Musnad Ahmad bin Hambal, 17148).
Secara implisit, hadis ini
menjelaskan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa saja salah, kedua-duanya
memperoleh dua pahala dari Allah swt. Oleh sebab itu, perbedaan hasil ijtihad
dari masing-masing imam mujtahid (orang yang berijtihad) adalah rahmat.
Selain itu, secara tekstual, dari
hadis di atas dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa orang yang berhak
berijtihad hanyalah seorang yang ahli hukum. Karena itu, Nabi Muhammad saw
memakai kata "al-Hakim", bukan "al-Rajul (seseorang),
al-Mutarjim (penerjemah), al-Da’i (penceramah), dan seterusnya". Artinya,
ijtihad memang boleh, tapi tidak sembarang orang.
Singkat kata, jadilah ahli hukum terlebih dahulu, baru kemudian melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, berlagak ijtihad lebih dulu, baru menamakan diri sebagai ahli hukum. Jadi, sangat ironis bila ada orang yang hanya hafal beberapa ayat dan hadis, hanya bisa memahami al-Quran dan al-Sunnah dari terjemahannya, padahal ia tidak menguasai seperangkat ilmu bahasa Arab, ilmu fiqih, dll, tapi sudah merasa mampu berijtihad dan malah menyerukan "hanya kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah".
Inilah seruan yang naif! Sebab
pada hakikatnya, tanpa disadari, para penyeru yang anti-taqlid itu telah
bertaqlid pada buku-buku terjemahan tanpa mampu mengoreksi dan mengkritisi
hasil terjemahan yang dibacanya benar atau salah, apalagi dengan perangkat ilmu
lain yang dibutuhkan dalam istinbath (pengambilan hukum). Kitab-kitab klasik
karya ulama salaf atau yang lebih dikenal dengan kitab-kitab kuning yang dikaji
di pesantren adalah warisan para ulama yang memaparkan dan menjelaskan hasil
rumusan para mujtahid. Bertaqlid terhadap kitab-kitab itu merupakan pilihan
bijak bagi yang tidak mampu berijtihad.
Jadi, sekali lagi, tidak
sembarang orang dapat melakukan ijtihad. Ia harus benar-benar ahli dalam ilmu.
Yakni, ahli dan memahami ilmu al-Qur’an, ilmu hadis, persoalan ijma’, persoalan
qiyas, ilmu fiqih, ilmu tafsir, ilmu nahwu, dan sebagainya.
Meski persyaratan ijtihad begitu
berat dan ketat, bukan berarti pintu ijtihad sudah ditutup. Sebab, jika ijtihad
merupakan kegiatan menggali hukum yang dipetik dari al-Quran dan al-Hadis serta
dalil lainnya, maka pintu ijtihad masih terbuka lebar terhadap siapa saja yang
mampu, yang memiliki kualitas pribadi dan keilmuan mumpuni yang memenuhi syarat
berijtihad.
Visit my web
www.taufiq.net
Tidak ada komentar:
Tulis komentar