Dengan penuh semangat, beberapa kalangan menyuarakan bahwa taqlid itu
haram. Menyuruh taqlid berarti sama dengan menyuruh masuk ke lubang
kebodohan. Taqlid itu tidak mendidik manusia untuk berpikir bebas.
Taqlid atau ikut-ikutan saja, berarti sama dengan membawa Islam ke era
masa lalu dan tidak akan pernah maju.
Selain tudingan
semisal di atas, masih banyak lagi suara-suara miring yang dihembuskan
untuk mengikis budaya taqlid. Bersamaan dengan itu, mereka mengajak
untuk "berani" berijtihad, kembali hanya kepada al-Quran dan as-Sunnah,
mendorong umat untuk memurnikan ajaran Islam dari hal-hal yang mereka
tuding sebagai bid'ah.
Lalu sebenarnya, apa sih taqlid
itu? Bolehkah seseorang ber-taqlid? Jika boleh, siapa saja yang boleh
bertaqlid? Dan, jika tidak boleh, mengapa tidak boleh dan siapa saja
mereka?
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dipahami
bahwa secara global, manusia terbagi menjadi 2 golongan; ada yang pintar
(alim) dan ada yang tidak pintar (awam). Karena itu, sudah menjadi
keniscayaan, bahwa yang tidak pintar dan tidak mengerti (awam) harus
mengikuti dan belajar kepada yang telah mengerti dan pintar (alim).
Inilah sunnatullah.
Dalam literatur fiqih, paling tidak,
ada 2 istilah yang beredar. Pertama, taqlid, orang yang taqlid disebut
"muqallid". Taqlid atau ikut-ikutan secara buta tanpa berusaha mengerti
dalilnya disebut "taqlid 'ama" (taqlid buta). Sedangkan muqallid yang
terus belajar untuk mengetahui dalil dari sebuah amalan, berarti telah
keluar dari taqlid buta. Tapi, tetap saja orang pintar yang ikut-ikutan
orang yang lebih alim disebut muqallid. Sebab, dalam banyak hal, ia
sendiri tidak mengetahui semua dasar hukum yang ia lakukan, tidak
memproses dan tidak pula memproduk sebuah hukum terhadap masalah baru
yang ia temui.
Yang kedua, ijtihad, orang yang berijtihad
dinamakan "mujtahid". Mujtahid Mutlaq seperti Imam Syafi'i, Hanafi,
Maliki dan Hambali adalah para mujtahid yang diakui kehebatannya. Dengan
penuh ijtihad (kesungguhan), mereka telah berusaha menggali dasar
hukumnya, memproses hingga memproduk sebuah hukum dengan kapasitas
keilmuan yang dimiliki sehingga para imam mujtahid itu mampu melahirkan
madzhab. Di bawah mereka, seperti Imam Nawawi, Ibnu Hazm, dan lain-lain
masih disebut "mujtahid madzhab" karena yang bersangkutan, meski kapabel
dan memiliki kapasitas yang mumpuni, masih lebih "tenang" mengikuti
madzhab atau pendapat para mujtahid mutlaq.
Itulah klasifikasi umum seputar taqlid dan mujtahid. Lalu, apa definisi taqlid itu sendiri?
Menurut
para ulama, salah satunya Dr. Said Ramadan al-Buthi, taqlid adalah
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil dan keshahihannya,
meskipun yang ikut itu tergolong orang alim. Orang alim atau pintar yang
belum sampai ke tingkatan mujtahid, ia tetap disebut "muqallid".
"Orang
alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka hukumnya seperti
orang awam dalam hal berkewajiban bertaqlid" (Thayyib bin Abi Bakar,
Mathlab al-Iqadz, hal. 87)
Jadi, tidak semua taqlid
tercela. Yang tidak terpuji adalah taqlid buta (a'ma) bagi orang yang
sebenarnya mampu, tapi ia menerima suatu pendapat dengan mentah-mentah,
tanpa mengerti dan berusaha untuk mengetahui dalilnya. Lain lagi, dengan
taqlid-nya orang alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid. Taqlid
ini adalah taqlid yang terpuji, bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih
baik daripada "memaksakan" diri untuk berijtihad, padahal tidak memiliki
kemampuan untuk melakukannya.
Sekali lagi, taqlid adalah
sesuatu yang niscaya bagi setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika
awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Kita, umat Islam saat ini,
baik yang awam maupun yang terpelajar, bagaimanapun juga tidak mungkin
menjadi mujtahid mutlaq menyamai para imam madzhab yang mu'tabarah
(diakui). Sebab, setinggi apapun ilmu yang kita miliki, dalam banyak
hal, ternyata kita masih ikut-ikutan dalil, pendapat, atau landasan
hukum para ulama terdahulu.
Logikanya, seorang dokter yang
spesialis sekalipun, saat ia usai memeriksa pasiennya, ia memberi resep
obat yang secara instan bisa dibeli di toko-toko apotik. Artinya, si
dokter itupun masih taqlid, walaupun ia mengerti tentang ilmu media. Ia
tidak mencari sendiri rempah-rempah, bahan obat-obatan, hingga melakukan
eksperimen sendiri untuk menghasilkan sebuah obat baru.
Satu
contoh lagi, guru geografi ketika menerangkan kepada murid-muridnya
bahwa bumi itu bulat, dia hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan
Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya sendiri. Dan masih
banyak fenomena taqlid lainnya.
Demikian juga dengan hal
ibadah. Banyak hal yang kita lakukan tanpa mengerti dalilnya sebab kita
bertaqlid, seperti: takbir mengangkat dengan mengangkat kedua tangan,
mengucapkan amin secara keras pada saat shalat berjamaah, tatacara
membersihkan najis, cara bertowaf di sekeliling Ka'bah, dan banyak lagi
yang tidak mungkin disebut satu per satu.
Dengan kata
lain, taqlid telah menjadi bagian dari hidup kita dan bagian dari
aktifitas ibadah yang kita lakukan. So, bagi orang awam yang tidak mampu
belajar agama secara detail, jelas ia lebih baik dan lebih aman untuk
bertaqlid kepada pendapat para ulama yang mengerti tentang agama.
"Bertanyalah kepada yang ahli, bila kalian tidak tahu", demikian
perintah Allah (Qs Al-Anbiya':7).
Karena itu,
pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa taqlid itu haram, sebenarnya
ditujukan kepada orang alim yang mampu berijtihad. Bukan kepada kaum
muslimin kebanyakan.
So, bertaqlid... Why Not?
Tidak ada komentar:
Tulis komentar