Pagi yang cerah. Matahari bersinar terang. Debu-debu padang pasir
menari dihempas angin sepoi-sepoi. Suasana begitu damai. Satu demi satu,
orang berlalu lalang melintasi masjid Sang Nabi. Ada yang berjalan
kaki. Ada pula yang naik unta. Mereka ada yang hendak ke pasar, ke rumah
kerabatnya, dan sebagainya.
Nabi pun bersiap-siap hendak
ke luar rumah. Berdandan rapi seperti biasanya. Jubah putihnya bersih,
tapi lebih bersih wajah beliau yang sinarnya melebihi purnama.
Tiba-tiba,
dari arah kejauhan, tampak seseorang berlari tergopoh-gopoh. Pria itu
sedang menuju kediaman Nabi. Rupanya, ia tidak ingin kehilangan
kesempatan untuk bertemu Sang Nabi yang amat ia kagumi.
Melihat
ada pria berlari menuju ke arahnya, Baginda Rasul terdiam. Beliau
berdiri kokoh dengan maksud menunggu pria itu datang. "Siapakah gerangan
pria yang berlarian itu?"
Tepat di depan Nabi, pria itu
menghentikan langkahnya. Nafasnya terengal-engal. Kedua pergelangan
tangannya masing-masing memegang lutut. Jelas, pria itu sedang kelelahan
hingga ia tak sanggup berkata-kata sedikitpun.
"Oh, kamu, Tsuwaiban. Tenang, tenang", kata Nabi.
Belum sempat pria itu berkata, Nabi bertanya, "Ada apa denganmu? Apakah kamu sakit?".
"Tidak, Ya Rasul. Saya baik-baik saja", jawab pria setengah baya itu.
"Tapi,
wajahmu kok kelihatan pucat. Ada perlu apa hingga kamu kesini dengan
tergesa-gesa?", tanya Nabi, mengkhawatirkan kondisi sahabatnya itu.
“Saya
baik-baik saja, Ya Rasul. Hanya saja, semalam tidak bisa tidur. Ada
satu hal yang saya pikirkan dan masalah itulah yang membuatku tidak bisa
memejamkan mata sepanjang malam”, kata Tsuwaiban.
“Apa masalahmu?”, tanya Sang Nabi.
“Yang
saya pikirkan adalah kelak di akhirat. Saat itu, Anda Ya Rasul, pasti
berada di derajat paling tinggi. Anda pasti berada di surga bersama para
nabi dan rasul yang mulia. Anda akan bersama orang-orang yang
dimuliakan Allah di level tertinggi”. “
“Sementara itu,
saya ini siapa? Karena itu, saya khawatir kelak tidak bisa lagi bersama
Anda, Ya Rasul. Saya takut kebersamaan saya dengan Anda ini hanya saat
di dunia, sementara nanti di akhirat, tidak lagi melihat indah wajahmu,
Ya Rasul. Inilah yang menyiksa saya sepanjang malam”.
Demikian
panjang lebar Tsuwaiban memaparkan alasan mengapa ia tidak bisa tidur
hingga wajahnya pucat pasi meski pagi begitu cerah.
Nabi terdiam, memandang sahabatnya itu dengan penuh kasih sayang.
Tsuwaiban
kembali berkata, “Ya Rasulullah, kekasihku. Sehari saja aku tidak
melihat dirimu, maka aku merasa ada yang kurang dalam hidupku. Akankah
kebersamaan dan keindahan ini terus berlanjut hingga di akhirat”.
“Tenang,
sahabatku. Siapapun yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, dijamin ia pasti
akan bersamaku, bersama para nabi dan orang-orang shalih”.
Lantas,
turun firman Allah swt dalam surah al-Nisa’ ayat 69 dan 70 sebagai
respon terhadap siapapun yang merindukan Allah dan Rasul-Nya, yang ingin
terus mencintai, melihat dan ketemu Sang Nabi.
“Dan,
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama
orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Yakni, bersama para nabi,
para siddiqin, para syuhadak dan para shalihin. Mereka itulah
sebaik-baik teman. Inilah keutamaan dari Allah. Cukuplah Allah Yang Maha
Tahu”.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar