Tanggal 14 Februari selalu identik dengan hari kasih sayang. Hari
itu, khususnya bagi muda-mudi, dianggap sebagai hari spesial untuk
mengungkapkan cinta kepada kekasih hati, saling mengucap selamat,
mengirim pesan asmara, kencan berdua, "nembak" pacar, dan sebagainya.
Bahkan, bagi pasangan pasutri, hari itu sering dijadikan momen indah
untuk bernostalgia, melakukan rujuk bagi yang cerai, memutuskan damai
bagi yang bertengkar dan hal lain seputar cinta.
Apa sebenarnya Hari Valentine itu?
Jika
ditelusuri dari aspek sejarah, maka Valentine tak ubahnya seperti acara
haul dalam tradisi Islam. Sebab, tepat pada tanggal 14 Februari seorang
pendeta bernama Santo Valentino -bukan Valentino Rossi lho- harus
dihukum mati karena pembangkangannya terhadap titah Kaisar Roma bernama
Claudius yang dikenal kejam pada abad ke-III. Kaisar itu amat murka
kepada kaum pemuda yang menolak menjadi tentaranya. Atas penolakan ini,
ia lalu mengharamkan pernikahan. Sebuah keputusan yang tidak masuk akal
dan tidak berprikemanusiaan. Tapi, perintah kaisar itu tak diindahkan
St. Valentine. Pendeta itu tetap menikahkan pasangan muda-mudi yang
ingin berkeluarga. Atas perbuatannya itu, St. Valentine akhirnya dihukum
gantung. Ia mati sebagai martil (mati syahid) demi cinta. Jenazah St.
Valentine dihormati rakyat. Bunga-bunga ditaburkan di atas makamnya
sebagai bentuk penghormatan.
Dengan demikian, Hari
Valentine hakikatnya adalah peringatan "haul" atas meninggalnya seorang
pendeta yang mati demi cinta. Sungguh tragis memang. Valentine's Day
dimaknai sebagai: (1) Hari Kesuburan yang terjadi di antara pertengahan
Januari-Pebruari menurut tradisi Yunani; (2) Hari Raya Gereja Katolik
Roma, (3) Hari Tewasnya Santo Valentine di tiang gantungan demi
pembelaannya terhadap cinta.
Atas dasar data-data sejarah
di atas, maka banyak kalangan muslim membeberkan dalil-dalil atas
haramnya memperingati hari kasih sayang itu. Bahkan, memberi kado cinta,
bertukar kartu ucapan selamat "Happy Valentine's Day", dan bahkan
sekedar berucap "I Love You Full" tepat di hari itu telah divonis haram.
Kontan
saja, fatwa haram memperingati Valentine's Day sering kontra-produktif
dan tidak pernah digubris oleh muda-muda yang lagi mabuk kepayang karena
cinta. Fatwa itu dinilai berlebihan, kalau tak mau dikatakan "turut
campur dalam masalah hubungan cinta". Cinta, sebagai bahasa universal
dan fitrah manusia, memang tak mudah dipahami, apalagi dibatasi. Cinta
itu buta dan karena itu ia bisa menerjang apapun termasuk fatwa.
Indahnya cinta dan juga kepedihannya telah membuat insan manusia nekat
menerobos apapun, tak peduli jurang kemiskinan dan kematian.
Tulisan
ini tidak bermaksud membahas hukum halal-haramnya peringatan
Valentine's Day. Juga, tidak memihak kepada yang pro atau kontra
terhadap hari kasih sayang itu. Tulisan ini hanya sebagai refleksi
keprihatinan kenapa kita umat Islam tidak mampu menciptakan sendiri hari
kasih sayang seperti Valentine's Day itu? Adanya hari Valentine yang
diperingati umat manusia, termasuk beberapa kaum muslimin dan muslimat,
adalah bukti kelemahan umat Islam menciptakan opini baru dan menguasai
segala media yang mendukungnya.
Acara haul kematian
pendeta yang sejatinya berlatarbelakang cinta tragis di atas, justru
secara apik dikemas melalui nama "Valentine's Day" dengan penentuan hari
tertentu, yakni 14 Februari. Plus, dilengkapi berbagai pernik-pernik
seperti warna merah muda, coklat, lambang hati, untaian kata mutiara,
dan sebagainya. Lalu, kemasan itu berhasil diopinikan, dipublikasikan,
dimaniskan dan dikaburkan motifnya sehingga siapapun dan dari agama
apapun langsung menerima dan memanfaatkan momen indah itu. Sekali lagi,
Valentine bagaikan tahi kucing rasa coklat yang dikemas dengan bungkus
emas.
Sementara itu, kita yang memahami sejarah Valentine
sering terburu-buru menilai dari aspek hukum agama. Lalu, tanpa kenal
ampun, kita lalu menvonisnya haram, laknat, neraka, murtad dan
sebagainya. Jelas, kesimpulan yuridis ini, secara psikologis, tidak akan
langsung diterima oleh saudara kita yang baru memahaminya, padahal ia
telah lama menunggu momen itu demi cintanya.
Hukum yang
difatwakan seputar Valentine tidak diikuti dengan tawaran baru yang
manusiawi, berbudaya dan indah. Justru, biasanya didakwahkan dengan
penuh emosi dan penghakiman atas cinta. Padahal, semakin cinta ditekan,
ia makin bertahan dan memiliki daya ledak untuk melawan. Saat ledakan
itu muncul dari dalam jiwa, fatwa dan nasehat apapun jarang yang bisa
diterima dengan nalar sehat. Dengan kata lain, ada banyak hal dalam
fenomena hidup ini yang tak melulu harus divonis secara hukum. Salah
satunya, cinta.
Jika umat Islam hendak menggali dari aspek
sejarahnya sendiri, ada banyak momen historis yang dapat diangkat ke
permukaan untuk menggantikan Valentine's Day. Kita bisa memastikan,
misalnya, tanggal 9 Dzulhijjah adalah Hari Mahabbah, mengingat hari
Arafah itu konon juga hari pertemuan Adam dan Hawa setelah lama terpisah
dari kehidupan surgawi. Tentu, saat-saat itu adalah saat terindah bagi
keduanya yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata sehingga dunia pun
terasa bagai nirwana. Lalu, melalui pemerintah atau fatwa ulama, kita
tentukan hari itu sebagai Hari Cinta atau Yaum Mahabbah yang kemudian
kita lengkapi dengan pernak-pernik seperti kurmalah, kopi susulah, atau
apalah sebagai simbol kasih sayang itu.
Jika itu masih
dirasa kurang tepat, kita bisa menentukan hari lain dengan mengadopsi
momen lain yang secara historis lebih indah dan islami, bukan yang
tragis. Semisal, hari perkawinan Nabi Muhammad-Siti Khadijah, Nabi
Sulaiman-Ratu Balqis, Nabi Yusuf-Zulaiha, Ali-Fatimah, atau kisah cinta
fiksi antara Qais dan Laila yang nilai pengorbanannya jauh melebihi
Romeo-Juliet, Samson-Delila, apalagi pendeta Valentino.
Jadi,
eksistensi Valentine's Day yang diperingati kaum muda-mudi muslim
adalah bukti kekalahan budaya dan seni religius islamis di belantara
dunia modern. Jika, arus budaya itu hanya dihadang melalui vonis hukum,
maka sampai kapanpun ia takkan pernah pudar. Justru, makin dibendung,
maka ia makin membesar. Apalagi, momen itu mengatasnamakan cinta.
Selamat
bercinta, jangan hanya tiap tanggal 14 Februari, tapi hiduplah dalam
cinta di setiap hari dan setiap saat. Sebab, tanpa cinta, kita takkan
pernah merasakan keindahannya yang tak terperikan oleh kata dan tak
terlukiskan oleh tinta.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar