Entah siapa yang memulai tradisi pesta buah pada perayaan Maulid
Nabi, tapi yang jelas, suguhan aneka buah itu menjadi daya tarik
tersendiri hingga menjadi ciri khas perayaan besar ini di tiap tahun.
Biasanya,
anak-anak dan orang tua meramaikan acara "Maulid Nabi" di masjid atau
di musholla yang ada di kampung mereka sembari membawa aneka buah atau
makanan untuk dibagikan kepada para jamaah yang hadir. Hebohnya lagi,
makanan itu lalu diacak dengan metode random, dibagi rata kemudian
diberikan lagi kepada mereka.
Nah, momen bagi-bagi itulah
yang ditunggu-tunggu. Orang tua, remaja, anak-anak dan ibu-ibu saling
berebut makanan. Lucunya lagi, mereka akan senang bila mendapat buah
yang diincarnya seperti durian, klengkeng atau anggur. Lebih beruntung
lagi bila juga mendapat wadah yang bagus. Begitu ramai, riuh dan
menyenangkan.
Pesta ini kerapkali dijadikan justifikasi
untuk menilai miring terhadap perayaan Maulid. Sebab, terkadang
menimbulkan kerusuhan, saling berebut, berhimpitan hingga terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Meski demikian hebohnya perayaan Maulid,
namun tidak seharusnya lalu menuduh perayaan itu bid'ah, haram dan
sebagainya.
Jika memang terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan seperti kerusuhan, maka yang perlu disadarkan atau ditata
ulang adalah bagaimana tehnik perayaan itu bisa diselenggarakan secara
khidmat, aman dan menyenangkan.
Pesta buah dan aneka
makanan di bulan Rabiul Awal, biarkan terus berlangsung. Tradisi ini
perlu dipertahankan. Sudah bukan zamannya lagi saling tuding dan kecam
antar pihak dengan mengatasnamakan bid'ah atau apapun juga. Kemeriahan
itu adalah bagian dari suka cita dan rasa syukur terhadap kelahiran
Rasulullah saw.
Orang boleh saja berpendapat, "Ini maulid
apa mulutan alias makan-makan dan pesta buah di mulut?". Jawab saja, ini
pesta lengkap, lahir-batin. Hati, mulut, mata, sekujur tubuh, semuanya
berpesta demi Sang Nabi. Salahkah?
Bukankah dengan adanya
pesta buah akan membuat seseorang tidak ikhlas karena mereka merayakan
maulid hanya demi makanan dan acara rebutan buah? Apakah tidak sebaiknya
duduk bersila, bershalawat, lalu meresapi maknanya dan seterusnya?
Terserah,
usulan ini juga bagus. Tapi, siapakah yang tahu ada tidaknya ikhlas
dalam hati, sebab ikhlas adalah rahasia Allah. Biarkan saja masyarakat
awam, terutama anak-anak bertujuan untuk mendapat buah-buahan di acara
Maulid. Boleh jadi, niat itu adalah "madkhal" atau pendekatan menuju
niat yang sesungguhnya, yakni keikhlasan dan ketulusan.
Tradisi
"pesta buah" di bulan maulid ini, juga menjadi berkah tersendiri bagi
pedagang buah, kue, daging dan sebagainya. Kabarnya, di Jawa Timur
sendiri, permintaan buah meningkat 100 persen. Omzet bisnis di pasar
tradisional juga meningkat tajam dengan adanya perayaan maulid.
Perputaran roda transaksi dari desa ke kota juga makin ramai karena
momen tahunan ini. Terlebih lagi, bulan Rabiul Awal juga bulan panen
bagi sebagian besar petani. Karena itu, bisa dikatakan inilah berkah
dari memuliakan kelahiran Rasulullah saw.
Bagi para
derwaman, acara maulid juga dirayakan dengan cara bagi-bagi "angpao" dan
makanan kepada fakir-miskin, anak yatim dan kaum papa. Biasanya, mereka
diajak membaca shalawat lalu setelah itu bergembira bersama. Sungguh,
pemandangan ini sangat menyenangkan semua pihak.
Hanya
orang-orang yang ber-dada sempit saja yang melihat sinis terhadap
perayaan maulid. Setiap maulid tiba, hanya diam, kering dan bersiap
melancarkan kecaman dengan seperangkat dalil. Kasihan!
Lain
halnya dengan mereka yang telah dibalut "mahabbah" atau "cinta". Semua
perayaan itu akan tampak indah. Tidak ada sedikitpun rasa keberatan
dalam merayakan maulid Nabi. Pesta buah, kue atau makanan apapun juga,
semua itu tidak menjadi masalah. Inilah cinta yang sulit diukur
barometernya dengan nalar pikiran manusia yang kerdil.
Saudaraku,
teruslah berpesta buah di setiap maulid. Tak perlu ada yang
dikhawatirkan dalam hal cinta. Cinta memang menuntut perjuangan dan
pengorbanan. Tapi, cinta pun melahirkan kedamaian dan kasih sayang yang
tanpa batas.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar