Jika saat ini, kita bisa melantunkan surah al-Fatihah yang wajib
dibaca setiap shalat dan juga di berbagai kesempatan, maka kemampuan
kita melafalkan setiap hurufnya adalah buah karya dari dari kerja keras
para guru ngaji di masa kecil.
Puji dan syukur kepada
Allah atas eksistensi guru-guru ngaji di tengah perkampungan yang dengan
begitu sabar dan istiqomah berjuang membisakan anak-anak didiknya untuk
bisa mengenal dan membaca kalam ilahi. Meski dengan fasilitas seadanya
dan keadaan ekonomi yang pas-pasan, guru ngaji takkan pernah menyerah.
Mengingat
jasa-jasa mereka yang begitu besar, sungguh memilukan bila nasib mereka
sering diabaikan. Yang banyak terjadi, orang tua kerap tidak mau tahu
dengan masalah ini. Padahal, kewajiban mengajari baca-tulis al-Quran
adalah kewajiban asasi orang tua terhadap anak-anaknya.
Dalam
1-2 tahun ini, beberapa teman saya yang juga guru ngaji, telah
memperoleh dana insentif dari pemerintah kota Malang. Besarannya juga
tidak seberapa, hanya sekitar 200-300 ribu. Itupun setiap 6 bulan
sekali, ada yang setahun sekali. Ketika beberapa rekan guru menceritakan
bantuan itu, tampak di wajahnya raut kegembiraan. Seakan, tidak
henti-hentinya bersyukur atas perolehan dana yang sebenarnya tidak cukup
untuk menopang hidup mereka.
Dana segar itu bak hujan
sehari di tengah musim kemarau. Begitu menyenangkan dan ditunggu-tunggu.
Apalagi, bagi guru ngaji yang gratisan alias tanpa "SPP Bulanan", dana
insentif dari pemerintah itu dirasakan sangat penting. Hebatnya lagi,
beberapa guru ngaji itu ada yang tidak menggunakan dana tersebut untuk
keperluan diri mereka sendiri, tapi justru digunakan demi kepentingan
anak didiknya.
Ada yang mengaku, dana itu untuk membeli
bangku, papan tulis, buku dan media ajar yang diperlukan untuk
meningkatkan kualitas layanan pendidikan. Apa cukup? Jelas, sangat jauh
dari harapan. Namun, sekali lagi, para guru itu sudah bersyukur bisa
menyuguhkan sesuatu yang lebih baik berkat dana yang tidak seberapa itu.
Melihat
nasib mereka yang pas-pasan, apalagi kebanyakan masih bekerja serabutan
dan tidak memiliki penghasilan tetap, maka sungguh fenomena ini amat
memprihatinkan. Terlebih lagi, jika di saat bersamaan kita melihat
angka-angka uang yang dikorupsi para pejabat negara hingga mencapai
milyaran rupiah, maka dana insentif untuk guru ngaji ini bagaikan
setetes saja dari lautan dana proyek negara yang dikorup secara
berjamaah.
Memang, dana insentif itu teramat kecil meski
ditambah SPP bulanan, namun bagi guru ngaji yang terpenting adalah
keberkahan. Ada pula seorang guru ngaji yang dengan tegas menyatakan
tidak mau sama sekali terhadap bantuan pemerintah. Alasannya cukup
sederhana. Ia berkeyakinan jangan sampai masa depan anak didiknya suram
dan tidak berkah hanya gara-gara kecampuran dana-dana yang tidak jelas
halal-haramnya. Mengagumkan!
Tulisan ini adalah sebuah
refleksi untuk mengajak semua pihak membuka mata hatinya dengan cara
melihat sebuah komunitas yang nasibnya jarang diperhatikan. Mereka
adalah komunitas guru ngaji di perkampungan.
Saat ini,
nasib guru di sekolah negeri dan swasta sudah lebih baik karena adanya
tambahan subsidi dan dana insentif bernama "sertifikasi profesi". Begitu
juga dengan nasib para buruh yang setiap tahun selalu berdemonstrasi
agar gajinya terus naik. Sementara itu, para guru ngaji hanya diam atau
didiamkan.
Karena itu, tulisan ini ingin mendeskripsikan
betapa nasib guru ngaji juga perlu diperhatikan. Bila orang tua atau
pemerintah masih berkeberatan peduli terhadap nasib mereka, maka paling
tidak, tulisan ini menjadi rem bagi para pejabat yang hoby korupsi dan
senang berpesta dengan uang negara, bahwa sebenarnya di dalam uang yang
dikorup itu ada hak-hak untuk para pejuang pendidikan al-Quran.
Merekalah para guru ngaji atau guru agama yang tersebar di setiap
perkampungan.
Para guru ngaji itu, sejatinya adalah guru
pertama yang akan dikenang karena jasa-jasanya. Saya yakin, pahala
mereka di sisi Allah telah berlipat ganda sebab setiap anak didiknya
yang mampu membaca al-Quran di sepanjang hayatnya adalah buah karya para
guru ngaji itu sehingga pahalanya terus mengalir.
Akan
tetapi, dalam perspektif sosial, mengenang dan mendoakan saja serasa
belum cukup. Lebih dari itu, harus ada perhatian, kepedulian dan bantuan
finansial terhadap mereka di tengah pesta dana dan hutang negara yang
kian menumpuk demi nafsu bejat para pejabat.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar