Konon, ada sebuah desa bernama Indonesial. Desa yang dikenal gemah
ripah loh jinawi. Hutannya rimbun, sawah dan ladangnya luas, sungainya
panjang terhampar, udaranya masih sejuk. Ini penuturan kepala desa
berdasarkan buku sejarah tentang desa bernama Indonesial.
Dulu,
penduduknya dikenal ramah, suka gotong royong, toleran, dan sifat yang
paling menonjol adalah tahan menderita. Boleh jadi, ketahanan ini karena
mereka pernah lama dijajah warga dari berbagai kota besar yang rakus
sehingga mereka kuat menderita dan hidup apa adanya.
Tapi,
itu dulu saat mereka baru merdeka, saat mereka belum banyak yang tahu
nikmatnya menjajah teman sendiri, saat mereka belum mengerti bagaimana
caranya hidup mewah secara instant, meski harus hutang.
Kini,
penduduk desa itu telah berubah, sok kekota-kotaan, sok gaul, sok kaya.
Yang penting citra, tak peduli apa kata orang, tak mau peduli entah
masa depan anak-anaknya kelak cerah ataukah celaka? Yang penting,
bagaimana caranya menjadi tuan tanah, menanam ranjau dimana-mana?. Itu
saja!
Kini, mereka tidak tahu lagi bedanya antara
penjajahan dengan investasi asing. Pokoknya, bagaimana caranya menarik
investor dari kota sebanyak-banyaknya agar para cukong mau merampok
kekayaan desa sebebas-bebasnya yang dikoordinir para aparat desa
atasnama kesejahteraan bersama.
Akhirnya, sawah-sawah
warga dibeli dan diubah menjadi pabrik yang limbahnya dibuang di selokan
desa. Akhirnya, para buruh disawah diangkat menjadi buruh pabrik.
"Daripada membajak di sawah mulai pagi sampai sore dan hanya
mengandalkan hasil panen, lebih enak gajian tiap bulan, tidak beresiko".
Begitu pikir orang-orang polos itu.
Ladang-ladang diubah
menjadi hotel, villa, perumahan mewah, mall, tempat pariwisata yang
kebanyakan milik orang kota, atau milik penduduk desa tapi uangnya
dihutangi oleh orang kota. Akhirnya, penduduk asli desa tergusur, hidup
di rumah-rumah reot di pinggir sungai, sempit, kumuh dan
berdesak-desakan mulai kakek sampai cucu.
Biasanya, mereka
naik angkot, sepeda pancal, pedati atau bahkan jalan kaki. Tapi, karena
kebutuhan transportasi, para pejabat desa akhirnya mendatangkan mobil
dan motor dari kota. Bahkan, mereka mentargetkan ratusan ribu kendaraan
bisa dibeli warga desa di setiap tahun. Tak perlu menabung lama-lama
untuk punya motor, cukup dengan jaminan sawah dan uang muka beberapa
receh, mereka bisa membawa pulang motor dan mobil yang baru nan mewah.
Akibatnya,
jalanan desa menjadi macet. Memang, ada yang sudah diaspal, tapi
aspalnya juga diproyek asal-asalan sehingga cepat rusak. Dulu, kalau mau
ke sawah, mereka cukup jalan kaki, tapi kini harus naik motor. Tidak
cukup itu saja, bila perlu bawa hape keluaran terbaru. Hebat!
Begitu
banyaknya motor dan mobil di desa, padahal kendaraan mereka itu butuh
bensin, maka dibangunlah SPBU di penjuru desa. Penjualan bensin dan
minyak ini dibawah komando perangkat desa bernama Pertamina.
Akhirnya,
kebutuhan pokok warga desa bukan hanya nasi jagung, iwak peyek, jangan
lodeh, atau urap-urap saja, tapi mereka juga butuh bensin, solar dan
oli. Lalu, dicarilah sumur-sumur di seluruh penjuru desa untuk mencari
sumber minyak, di samping juga sumber air bersih dan sumber-sumber
lainnya yang bisa diperdagangkan.
Beberapa memang
ditemukan oleh orang dusun. Tapi, karena semua hasil bumi telah
disepakati menjadi milik desa, mereka pun ngalah. Terpaksa, sumur itu
lalu diurus para perangkat desa. Eh, dasar bodoh, sebagian sumur dan
tambang malah disewakan kepada orang kota. Pikir mereka, "Daripada
menggali dan mengolah sendiri mulai dari mentah sampai matang, lebih
enak disewakan saja ke cukong, terima jadi, beres".
Karena
hasil sumur tidak cukup memenuhi kebutuhan motor dan mobil warga, jelas
perlu "kulakan" dari luar desa. Perangkat desa dan pertamina, mau tidak
mau, harus membeli ke kota yang harganya jelas mahal, mengikuti harga
pasar yang berlaku di mall-mall kota.
Anehnya, meski
mewakili seluruh penduduk kota yang jumlahnya 230 juta jiwa, para
pejabat desa itu tidak berani menawar harga minyak di pasar kota.
Padahal, biasanya, kalau beli banyak dapat diskon. Tapi ini tidak. Harus
ikut harga pasar.
Ada sih yang bertanya, "Kok tidak
berani tawar-menawar ya, padahal kan kita langganan, apalagi kita kan
pangsa pasar yang lumayan besar?", tanya Bang Toyib.
"Wah,
makanya sampeyan pulang dong, biar ngerti. Gimana kita berani nawar,
kalau belum-belum udah ditagih hutang? Makanya, nyerah saja!"
"Tapi,
kok, harganya segitu tinggi? Kadang turun, tapi paling sering naik.
Kalau turun, senang, kalau naik, demo dimana-mana. Mengapa bisa
naik-turun kayak hubungan seks saja? Apa naiknya harga minyak ini karena
permintaan bertambah banyak?", tanya Toyib.
"Wah, meski
jorok, tapi sampeyan kritis juga. Sebenarnya, menurut pelajaran ekonomi,
omongan sampeyan itu, benar. Kalau kebutuhan meningkat, tapi barangnya
langka, maka harganya jadi mahal, betulkan?", jawab Somad.
"Tapi, apa memang barang BBM itu sudah langka?"
"Ngak
sih, tapi agak seret, karena kota-kota penghasil minyak, diserang,
difitnah, dijajah dan ladangnya direbut paksa oleh kota -kota
metropolitan atasnama demokrazi".
"Benar-benar biadab! Maling! Tapi, adakah sebab lain yang membuat minyak jadi mahal?"
"Ada,
Mas. Mereka itu hantu, setan, tak berwujud, tapi bisa mempermainkan
harga-harga minyak di kota", jawab Somad sambil mengisap rokok kretek
buatan kakeknya.
"Hantu? Setan? Siapa namanya?", tanya Toyib, keheranan. Kok bisa ada dedemit suka bensin, padahal biasanya, menghisap darah.
"Namanya,
Setan Spekulan. Kerjanya, cuma lihat daftar harga di pasar sambil
mengamati kebutuhan pelanggan dan stok barang. Katanya sih, uangnya
banyak, disimpan di bank, berbunga-bunga hingga dengan bunganya saja
bisa beli apa saja yang dia mau".
"Kok, enak! Ajari dong
caranya!", rayu Toyib yang mulai berpikiran kotor sekotor badannya yang
ngak pernah mandi karena jarang pulang.
"Setan itu
sebenarnya tidak minum bensin, tetap menghisap darah. Mereka itu
memborong bensin sebanyak-banyaknya saat harga murah, nanti kalau harga
naik, baru dijual"
"Wah..wah...wah, itu sih bukan setan, tapi pemborong dan penimbun"
"Benar,
tapi anehnya, mereka memborong bukan karena kebutuhan, tapi demi
keuntungan. Mereka bukan atasnama kota, tapi pribadi-pribadi atau
kelompok yang sulit dilacak karena mereka gaib. Mereka tak perlu membawa
bensin yang telah dibeli ke rumahnya, karena beresiko. Cukup dititipkan
di gurun sahara. Ditimbun hingga kebutuhan meningkat dan barang langka.
Barulah setelah itu, mereka mempermainkan harga seenak-enaknya".
"Benar-benar maling kelas kakap melebihi setan!", umpat Toyib yang siap demo di kantor desa.
Inilah
percakapan warga desa Indonesial yang mudah dibohongi atasnama
kesejahteraan. Mereka mudah senang ditawari produk baru hingga kecanduan
hingga semuanya terasa menjadi kebutuhan. Setelah itu, tanpa terasa,
mereka diperbudak setan.
Desa yang dulu permai itu lalu
menjadi permainan. Penduduknya yang dulu produktif menghasilkan berbagai
jenis hasil panen, kini cuma bisa menjadi konsumen. Semuanya, lebih
enak beli dari kota seperti beras, jagung, kelapa sawit dan banyak lagi,
daripada menanam dan memproduksi sendiri.
"Daripada beli
pupuk mahal, kerja berat, lalu setelah panen raya tiba, harganya jadi
murah, lebih enak, beli aja dari luar kota. Lebih murah, lebih baik dan
tidak ribet", kata mereka.
Supaya warga desa tidak marah,
tiap malam dihibur konser dangdut, sinetron cinta dan acara-acara tv
lainnya yang membuat mereka lupa jati dirinya.
Ingat,
kisah ini adalah kisah sebuah desa bernama Indonesial, bukan negara
Indonesia. Bedakan antara sial dan sia. Jika ada kemiripan, sama sekali
kisah ini tidak bermaksud melecehkan. Tapi, hanya ingin mengingatkan,
bahwa penduduk desa ini telah kesurupan massal. Kesurupan setan, “Setan
BBM” alias Bos-Bos Maling!
Tidak ada komentar:
Tulis komentar