Di sebuah warung kopi yang biasa buka malam hingga subuh, tampak di
sana Pak Mat, Pak Demo dan Pak Asep lagi asyik nongkrong. Meski lewat
tengah malam, ketiganya asyik ngobrol, main kartu remi sambil menunggu
penumpang becak mereka.
"Bu, tolong acara berita diganti
saja. Pilih sinetron atau bal-balan, gitu lo. Saya pusing mendengar kata
demokrasi", ujar Pak Mat kepada Bu Inem, si pemilik warung yang
kebetulan menyediakan tv kecil untuk hiburan para pembeli.
"Pak Mat, kok pusing sih, apa sampeyan ngerti, demokrasi itu apa?", tanya Pak Asep.
"Ngak
taulah. Yang saya pahami, demokrasi itu ya kita bebas demo. Semua orang
bebas ngomong apa aja, bahkan merusak apapun juga boleh, wong ini demi
demokrasi. Demokrasi kan milik bersama, benar kan?", kata Pak Mat, balik
bertanya.
"Wah, ngak gitu pengertiannya. Demokrasi itu
berarti kekuasaan adalah milik bersama, milik rakyat, bukan hanya milik
penguasa, pejabat atau konglomerat. Tapi, semua rakyat yang paling
berkuasa di negeri ini. Inilah demokrasi", jelas Pak Demo yang tamatan
SMP, jauh lebih baik dari 2 rekannya yang hanya lulusan SD.
"Lha,
iya, kekuasaan milik bersama. Artinya, semua bebas melakukan apa saja,
termasuk mencaplok rakyat kecil", kata Pak Mat, ngak mau kalah.
"Wah, kayaknya, benar juga. Tapi, bisa dicontohkan ngak? Biar jelas gitu", tanya Pak Asep yang mulai penasaran.
"Lihat
saja, dulu becak kita ramai, sekarang orang sudah naik motor semua. Lha
wong kredit motor aja murah meriah. Siapa yang untung? Bukan kita kan?
Tapi perusahaan asuransi dan penyedia jasa hutang-piutang yang bunganya
mencekik leher. Lalu, siapa mereka? Bukan kakek kita kan, tapi cukong
berduit yang menjajah ekonomi rakyat kecil seperti kita ini", jelas Pak
Mat.
"Iya, benar. Tapi kan, ini hukum alam. Ada yang kaya dan ada yang miskin", kata Pak Demo, berusaha mencairkan suasana.
"Ini
sih bukan hukum alam, tapi hukum rimba. Coba pean tanya, darimana
mereka punya duit? Eh, ternyata mereka juga hutang dari bank-bank di
negeri kita. Saat mereka tidak bisa bayar, tau-tau, negara kita yang
nomboki. Enak bener mereka!", ujar Pak Mat, geram.
"Wah, enak dong kalo gitu. Berarti, kopi ini nanti yang bayar, bank negara aja, kan ada subsidi?", goda Pak Asep.
"Eh, eh, eh... Jangan macam-macam ya! Hutang kalian udah numpuk di sini", tegur Bu Inem yang mendengar ide Pak Asep.
"Ngak, Bu. Cuma bercanda. Tapi, kini saya mulai agak setuju dengan Pak Mat", kata Demo.
"Setuju apanya?", tanya Pak Mat dengan besar kepala.
"Pemerintah
kita itu aneh. Hasil panen petani dibeli dengan murah meriah. Kalau
harganya naik, mereka bikin operasi pasar. Tapi, kalau impor dari luar
negeri, sedikitpun gak nawar. Benar-benar bodoh!", umpat Pak Demo,
marah.
"Saya beri contoh lagi. Mobil buatan anak kita di
SMK, katanya jelek dan tidak lulus uji emisi. Okelah saya setuju, demi
keselamatan penumpang. Tapi, apa mobil-mobil buatan Jepang, Korea dan
Eropa itu sudah layak? Gak pernah tau saya hasil uji emisinya. Lihat
saja, truk, bus, mobil-mobil kuno yang berkeliaran di jalan-jalan,
mereka tidak diuji lagi. Meski ada uji kir tiap enam bulan, eh omong
kosong! Wong semua bisa diatur", jelas Pak Mat.
"Sampeyan pinter juga. Ada contoh lain?", tanya Pak Asep yang dari tadi diam aja.
"Masih
banyak, Pak. Ini semua contoh demokrasi. Semua bebas berkuasa. Siapa
cepat, dia dapat. Yang paling berkuasa dan berduit, dialah pemenangnya.
Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Tapi untuk rakyat yang mana?",
tanya Pak Mat, ngak abis pikir.
"Slogan yang bagus tuh,
dari oleh dan untuk rakyat. Tapi, kok masih ditanyakan sih, untuk rakyat
yang mana?", tanya Pak Asep, agak bingung.
Lantas, Pak Demo berusaha menjelaskan:
"Begini,
Pak Asep. Saya mengerti maksud Pak Mat. Dari rakyat itu artinya semua
milik rakyat, mulai hasil bumi, pajak, panen, bea cukai, dan sebagainya
semua diambil dan dirampas dari rakyat atasnama demokrasi dan untuk
hajat hidup orang banyak, katanya".
"Semua oleh rakyat,
artinya, yang kerja jadi buruh, karyawan, tenaga honorer, pegawai yang
gajinya murah, mereka semua adalah tenaga-tenaga yang diperalat untuk
mencaplok temannya sendiri. Sadar atau tidak, mereka disetir untuk
menjadi pemangsa bagi kawannya sendiri. Bahkan, yang mengaku wakil
rakyat di masa kampanye, eh akhirnya juga mengorbankan rakyat".
"Dan
terakhir, yang dimaksud untuk rakyat adalah hasil kekayaan negara,
upeti, bunga dan dana-dana itu ternyata hanya untuk sebagian rakyat
saja, bukan untuk semuanya. Mereka adalah para pejabat yang berteman
preman, para konglomerat yang akrab dengan asing, para penguasa yang
bebas memainkan peraturan dan undang-undang demi kantongnya sendiri,
demi investasinya, untuk anak turunnya, kelompoknya, golongan dan
jamaahnya sendiri".
Panjang lebar Pak Demo menjelaskan.
Pak Asep serius menyimak, sedangkan Pak Demo hanya diam sambil menikmati
isapan rokok kretek dan kopi panas yang menghangatkan tubuhnya.
Obrolan mereka tentang demokrasi, tiba-tiba terhenti, lantaran ada suara penumpang, "Becak! Becak!"
Dan,
wujud demokrasi pun benar. Ternyata, demokrasi bagi rakyat kecil, hanya
berhenti sampai di kata "becak", tidak lebih dari itu. Artinya, yang
kaya makin kaya, sedangkan yang miskin makin miskin.
bener pak.. yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
BalasHapusterima kasih telah berkunjung
BalasHapussemoga Indonesia makin makmur dan merata