16 Oktober 2012

Jilbab Bu Hajjah Mana?

 




Ada yang lucu saat melihat wawancara acara infotaiment yang memberitakan seorang selebritis yang hendak melaksanakan ibadah haji. Jika artis yang pergi haji, pemberitaan mesti heboh dan layak jual. Yaah.... Lumayan, artis kita mau haji daripada kawin cerai, selingkuh, tampil bugil dan sebagainya.

Nah, yang lucu itu, ketika si artis ditanya, "Apa dengan pergi haji ini berarti sepulangnya nanti Anda akan merubah penampilan, berjilbab misalnya?, tanya si wartawan.

Mendapat pertanyaan ini, terlihat wajah si artis agak kebingungan bagaimana menjawabnya. Akhirnya, dengan berhati-hati, seperti sudah bisa ditebak, artis cantik itu menjawab dengan fasih:

"Insya Allah, tapi untuk istiqamah memakai jilbab pasca haji kan perlu proses. Insya Allah, ke depan juga akan mengarah ke sana".

Wah, wah, politis juga jawabannya. Untuk menghindar dari kata "Tidak", perlu 2 kata, yakni, "Insya Allah" dan "Dalam Proses". Dan, jawaban ini ternyata sudah menjadi senjata ampuh para calon haji -termasuk artis- yang nantinya ogah memakai jilbab meski sudah bertitel haji dan telah beribadah di tanah suci Mekah-Madinah.

Padahal sesungguhnya, kewajiban beribadah haji itu selain hanya bagi yang mampu, juga secara hirarkhi, haji berada di urutan terakhir dari rukun Islam yang merupakan puncak keislaman setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa.

Sedangkan berjilbab, pada hakikatnya adalah menjaga kesucian diri dengan menutup aurat. Artinya, kewajiban berjilbab adalah bagian dari thaharah (bersesuci) yang itu justru harus dilakukan setiap muslimah setelah ia menyatakan diri sebagai muslim atau setelah bersyahadat. Jadi, berjilbab itu harus dan wajib sebelum shalat.

Shalat tidak sah bila aurat tetap terbuka. Shalat adalah tiang agama. Yang tidak shalat berarti agamanya rapuh dan lama-lama akan roboh. Menutup aurat, sejatinya bukan hanya saat shalat saja, namun di luar shalat, seorang muslim/muslimah wajib menutup aurat. Singkat kata, setiap muslimah wajib menutup aurat sebagai bukti bahwa dia muslimah sejati yang tetap menjaga tiang agama atau kekokohan Islam yang ia yakini.

Oleh karenanya, sangat lucu bila seorang muslimah bisa pulang-pergi haji dan umrah dengan kekayaan yang dimilikinya, namun ia tidak mampu menutup auratnya dengan berjilbab.

Artinya, logika yang menyatakan bahwa setelah haji ada proses untuk belajar menutup aurat atau berjilbab adalah logika yang terbalik. Justru seharusnya, ia harus berproses dalam menutup aurat dan berjilbab sembari shalat, lalu setelah itu ia berproses untuk melaksanakan rukun Islam lainnya hingga puncaknya adalah berhaji.

Jika dikatakan, "Tanda haji tidak mabrur bagi muslimah adalah sepulang haji, ia tetap tidak mau berjilbab", maka saya kira pernyataan ini tidak berlebihan dan sangat logis.

Bagaimana tidak logis, ketika di tanah suci, setiap muslimah telah diperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah sekaligus juga berlatih menutup aurat saat berihram, lalu mengapa sepulangnya dari haji kok kembali lagi mengumbar aurat? Bukankah ini adalah sebuah fakta kegagalan yang dalam istilah agama disebut "haji mardud" atau haji yang ditolak karena gagal?

Dari sini, mestinya setiap muslimah bisa introspeksi diri, bahwa sebenarnya untuk bisa berhaji tidak cukup hanya modal uang dan bisa melunasi BPIH. Namun, selain itu, sebelum memutuskan untuk berhaji, juga harus mempersiapkan diri menjadi muslim yang sempurna. Tepatnya, ia harus berjilbab, shalat, puasa dan berzakat lalu kemudian berhaji sebagai perwujudan dari kesempurnaan dalam penyerahan diri secara total kepada Allah.

Inilah Islam, berserah diri dan tunduk kepada perintah agama. Dan, salah satu tanda penyerahan diri itu adalah ketika seorang muslimah rela dan ikhlas mau berjilbab, menutup auratnya hanya karena Allah, bukan karena ia baru pulang haji lalu sebulan kemudian, ia kembali seperti semula, membuka aurat dan memamerkan kehormatan dirinya kepada semua orang.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar