Luar biasa animo umat Islam di Indonesia terhadap ibadah haji. Di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, untuk bisa haji, harus menunggu giliran "waiting list" sesuai kuota haji yang kabarnya perlu menunggu hingga 12 tahun lebih.
Fenomena itu menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia memiliki kesadaran tinggi untuk menyempurnakan rukun Islamnya dengan melaksanakan haji dan umrah. Seorang muslim yang telah berhaji, berarti ia telah sempurna. Oleh sebab itu, haji menjadi puncak keislaman. Ibadah khusus yang bukan hanya memerlukan keikhlasan hati, tapi juga kesehatan jasmani dan kekuatan finansial.
Itulah semestinya usai seseorang berhaji, ada perubahan pada dirinya. Seorang haji harus memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ia sudah pernah haji, pernah melihat Ka'bah, pernah berziarah ke makam Nabi dan sebagainya. Karena itu, dengan kesadaran ini, ia harus bisa tampil beda, usai haji harus beda dan bisa menempatkan diri di posisi yang benar dengan terus menyadari:
"Sungguh tak sama antara orang yang pernah haji dan yang belum berhaji".
Dalam tradisi masyarakat dulu dan mungkin saja hingga kini, orang yang belum haji, biasanya tidak mau memakai kopyah putih. Baru setelah pulang dari tanah suci, ia berani pakai kopyah putih dan bahkan dilengkapi surban, jubah, tasbih dan asesoris lainnya.
Bukan hanya dalam fashion, dulu dan mungkin juga hingga sekarang, orang yang pulang dari haji dipanggil dengan panggilan berbeda, biasa khas Arab, seperti: Haji, Abah, Umik, dan seterusnya. Bahkan, di depan nama aslinya juga ditambah huruf "H" yang berarti "Haji".
Pernak-pernik di atas itu adalah salah satu contoh dalam tradisi masyarakat, bagaimana mereka berusaha memberi "simbol atau label pembeda" terhadap orang yang sudah haji dengan yang belum haji. Sebutan, panggilan dan baju ala timur tengah itu, ternyata tidak sekedar asesoris atau simbol tanpa makna. Dibalik label dan simbol ini tersirat sebuah pesan "al-Furqon" atau pembeda antara yang sudah haji dan yang belum.
Dengan adanya simbol pembeda itu, terselip harapan "perubahan" pada karakter, sikap, performance, pola pikir dan sebagainya pada si haji. Sekaligus tentu saja, simbol itu bisa saja menjadi beban yang akan mengingatkan si penyandang titel haji untuk terus menjadi "insan kamil".
Saat ini, simbol-simbol haji itu mulai luntur dan bahkan digugat. "Apalah artinya simbol, nama haji, titel H, kopyah putih, panggilan Abah dan Umik, dan seterusnya". Memang, kritikan ini ada benarnya seiring ditemukannya banyak fakta bahwa sepulang haji, tidak sedikit orang yang mampu berubah menjadi lebih baik. Banyak yang "mabni" alias pancet, gak berubah sama sekali, atau bisa saja tambah "parah".
Namun, di tengah derasnya perubahan saat ini, simbol-simbol itu tetaplah penting disematkan sebagai "Self of Control" bagi para haji agar mereka terus tergugah untuk tampil sebagai pemimpin umat.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar