8 Oktober 2012

Kurikulum Kurang Berkah

 


Kabarnya, kurikulum baru akan mulai berlaku tahun 2013. Entah apa isinya, namun, seperti biasa, selalu ada kurikulum baru paling lama 4 tahun sekali sehingga ada ungkapan, "Menteri Baru, Kurikulum Baru". Bahkan yang lebih lucu lagi, ada yang bilang, "Tiap berganti tahun, selalu ada kurikulum baru".

Salahkah kurikulum selalu berubah dan berganti baru? Tentu tidak. Sah-sah saja kurikulum diubah, diganti, disempurnakan, dan seterusnya. Apalagi, perubahan kurikulum pendidikan juga seiring dengan perubahan kebutuhan zaman. Masa terus berjalan, berbagai hal baru ikut juga bermunculan sehingga tantangan dan kebutuhan pun juga berubah dan bertambah.

Atas dasar itulah, lalu kurikulum pun ikut berubah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, perubahan tujuan dan strategi, dan alasan lain yang menjustifikasi perlunya perubahan kurikulum. Namun, yang terus menjadi pertanyaan, "Mengapa perubahan kurikulum pendidikan di sekolah tidak juga berbanding lurus dengan perubahan hasil yang dicapai? Ada apa ini?"

Kurikulum yang bagus dan idealis itu, ternyata penerapannya kembali seperti semula, istilahnya "jalan di tempat". Prestasi anak juga tidak semakin membaik, sekolah makin tidak menyenangkan, lulusannya juga tidak menjanjikan, walhasil, produk pendidikan masih dalam taraf meragukan.

Kurikulum baru yang diandalkan, justru tidak membentuk karakter peserta didik berakhlak mulia dan berilmu manfaat. Mungkin saja statement ini terlalu naif dan mengada-ada, sebab memang tidak semuanya gagal. Akan tetapi, peristiwa tragis yang akhir-akhir ini yang menyita perhatian publik seperti tawuran antar pelajar, seks bebas di sekolah, kekerasan, pelecehan dan kasus-kasus lainnya adalah bukti shahih gagalnya kurikulum pendidikan.

Lantas, apakah kira-kira penyebab gagalnya kurikulum pendidikan di negeri ini yang katanya dihuni para ilmuwan atau ulama?

Banyak sekali alternatif jawabannya. Namun, satu hal yang perlu disoroti, adalah bahwa lahirnya kurikulum baru di negeri ini seringkali bermula dan berbasis "proyek" hanya untuk sekedar menghabiskan anggaran pendidikan. Berbagai workshop kurikulum, seminar, lokakarya dan sebagainya yang digelar oleh praktisi dan akademisi pendidikan, sangat boleh jadi, tidak serius menangani problem pendidikan di negeri ini sehingga hasilnya hanya bersifat "Sekedar Kurikulum" atau "Kurikulum Ala Kadarnya".

Akhirnya, program mendesain kurikulum baru hanya menjadi rutinitas belaka laksana panen tahunan. Workshop, seminar, lokakarya dan aneka diskusi lain seputar kurikulum hanya bersifat jadwal tahunan untuk mencairkan dana dan menghabiskan anggaran negara. Sementara itu, capaian dari kurikulum itu tidak terjamin berhasil atau tidak.

Kurikulum pendidikan yang lahir atas dasar "proyek" hanya akan menghasilkan kurikulum kosong yang tidak bermakna dan tidak bermanfaat apa-apa kepada peserta didik, apalagi mengantar mereka meraih cita-cita. Dengan kegagalan ini, bisa dikatakan,  meminjam istilah pesantren, kurikulum pendidikan di Indonesia adalah "Kurikulum Kurang Berkah".

Kata "berkah, barakah" berarti "kebaikan berlimpah". Dengan sedikit amal tapi disertai niat tulus dan ikhlas, amal itu memberi dampak positif luar biasa. Itulah berkah. Artinya, secara implisit, kata "berkah" ini sejalan dengan prinsip ekonomi, yakni, dengan modal sedikit tapi memperoleh laba dan keuntungan besar.

Beda dengan kurikulum. Visi-misinya bagus dan tajam. Tujuannya mulia. Perencanaanya matang. Aksinya pun tampak serius dan terprogram. Orang-orang yang terlibat juga ahli pendidikan. Biaya kurikulum mulai dari rencana program hingga pelaksanaannya menghabiskan anggaran sangat besar. Namun, hasilnya jauh panggang dari api.

Orang tua makin tidak percaya dengan pendidikan di sekolah. Anak-anak makin tidak terbentuk akhlaqnya. Ilmu dan karya mereka juga kalah bersaing dengan negara tetangga, apalagi di dunia internasional. Kasus-kasus seputar pendidikan makin miris dan merusak citra pendidikan itu sendiri. Dan, banyak lagi yang apabila diurai satu demi satu, maka akan tampak benar bahwa pendidikan di negeri ini memang tidak berkah.

Semoga ini tidak sepenuhnya benar. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar