Jelang peringatan hari raya Idul Adha, panitia kurban selalu
sibuk dengan penyembelihan, mulai dari hunting hewan kurban, penataan
organisasi panitia, proses penyembelihan hingga pembagian daging kurban.
Sungguh mulia memang, amal panitia yang sedia membantu para aghniya’
menyembelih dan menyalurkan daging kurban. Namun, tugas mulia ini
semestinya juga harus didasari ilmu agar tidak salah kaprah.
Salah satu kesalahan fatal yang sering terjadi dan bahkan
berulang-ulang setiap tahun adalah kasus “menjual daging kurban atau
hewan udhiyah”. Bolehkah?
Dari kaca mata hukum agama Islam, menjual daging kurban hukumnya
haram. Karena itu, panitia dilarang enjual daging kurban. Dan, yang
dilarang ini sebenarnya bukan hanya menjual dagingnya, tetapi semua yang
termasuk bagian dari tubuh hewan udhiyah hukumnya tidak boleh
diperjual-belikan. Sayangnya, justru kita sering kali menyaksikan bahwa
kulit, wol, rambut, kepala, kaki, tulang dan bagian lainnya,
diperjual-belikan oleh panitia.
Mungkin tujuannya baik, yaitu untuk membiayai proses penyembelihan,
bukan untuk dijadikan keuntungan atau upah. Namun, larangan menjual
bagian-bagian tubuh itu bersifat mutlak, tidak berubah menjadi halal
hanya lantaran tujuannya untuk kepentingan penyembelihan juga.
Dalil Larangan
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya”. (HR. Al Hakim).
Selain larangan dari hadits di atas, ’illat atau alasan utama kenapa
menjual bagian tubuh hewan udhiyah dilarang adalah karena qurban
disembahkan sebagai bentuk taqarrub pada Allah, yaitu mendekatkan diri
pada-Nya, sehingga tidak boleh diperjualbelikan.
Sama halnya dengan zakat, jika harta zakat kita telah mencapai nishab
(ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu
tahun), maka kita harus menyerahkannya kepada orang yang berhak
menerima(mustahiq) tanpa harus menjual kepadanya.
Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan qurban,
karena sama-sama bentuk taqarrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah
kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil
sembelihan qurban.
Dari sini, tidak tepat praktek sebagian kaum muslimin dan panitia
ketika melakukan ibadah yang satu ini (penyembelihan kurban) dengan
menjual hasil qurban, termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit.
Bahkanm untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad.
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Binatang qurban termasuk nusuk (hewan
yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya
boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku
tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban”.
Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk
jual beli sehingga barter juga dilarang. Sedangkan Imam Abu Hanifah
berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil
penjualannya disedekahkan. Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih
tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di
atas dan alasan yang telah disampaikan.
Catatan penting yang perlu diperhatikan; “Pembolehan menjual hasil
sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena
seperti ini termasuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau.
Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar dengan
uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang
nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Tawdhihul
Ahkam dan Ash Shan’ani dalam Subulus Salam.
Sehingga, kesimpulannya adalah tidak tepat menjual kulit atau bagian
lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian
panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat
menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.
Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap terlarang.
Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah
pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual
hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam
riwayat Al-Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu
terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang).
Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga
termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam
Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm.
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau
kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga
termasuk jual beli.”
Ketiga: Boleh secara mutlak.
Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi.
Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang
melarang menjual kulit.
Sebagai nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban
“hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa
saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial.
Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk
apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu
dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima
kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau
panitia qurban (wakil shohibul qurban). Diharamkan untuk menjual bagian
dari tubuh hewan yang telah disembelih sebagai udhiyah.
Dalam masalah menyembelih hewan qurban, kita mengenal dua pihak.
Pihak pertama adalah pihak yang beribadah dengan menyembelih hewan
qurban. Pihak kedua adalah mustahiq, yaitu fakir miskin yang menerima
pemberian.
Dalam masalah pembagian daging hewan qurban, kedua belah pihak
sebenarnya sama-sama berhak untuk memakannya. Jadi yang berkurban boleh
makan dan yang berhak (mustahiq) juga boleh makan. Bedanya, kalau pihak
yang berqurban, hanya boleh makan saja sebagian, tapi tidak boleh
menjualnya. Misalnya, ketika menyembelih seekor kambing, dia boleh
mendapatkan misalnya satu paha untuk dimakan.
Tapi kalau timbul niat untuk menjual paha itu ke tukang sate, meski
niatnya agar duitnya untuk diberikan kepada fakir miskin juga, secara
hukum ritual qurban, hal itu tidak bisa dibenarkan. Maka hal yang sama
berlaku juga bila yang dijual itu kulit, kaki dan kepala hewan qurban.
Hukumnya tidak boleh dan merusak sah-nya ibadah qurban.
Dalilnya adalah khabar berikut ini:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Orang yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Hakim)
Ketidak-bolehan seorang yang menyembelih hewan qurban untuk menjual
kulitnya bisa kita dapati keterangannya dalam beberapa kitab. Antara
lain: Kitab Al-Mauhibah jilid halaman 697, Kitab Busyral-Kariem halaman
127, Kitab Fathul Wahhab jilid 4 halaman 196, Kitab Asnal Matalib jilid
1 halaman 125
Tidak ada komentar:
Tulis komentar