4 November 2012

Ustadz Rifa'i adalah Mutiara

 



Masih teringat, saat itu usia saya masih sekitar empat tahunan. Tapi, oleh orang tua, setiap sore bakda asar, saya telah diantar menuju Masjid Muritsul Jannah, sebuah masjid kecil yang terletak di dalam kampung. Ukuran masjid itu tidak sebesar saat ini. Namun, tiap sore hari, masjid yang berdiri sejak 1965 itu selalu ramai dengan anak-anak kecil yang mengaji al-Quran.

Mereka menyebut "Ngaji Turutan" karena kitabnya tipis, hanya berisi juz 30 dan diawali dengan Kaidah Baghdadiyah, sebuah kitab kuno yang ternyata telah berhasil mengantarkan banyak anak-anak muslim mampu membaca al-Quran.

Ketika itu, sekitar tahun 1981, kali pertama saya mengaji di masjid tersebut bersama teman-teman sekampung. Jelas, sayalah murid paling kecil dan paling muda. Sementara itu, teman-teman saya telah duduk di bangku SD, SMP dan kebanyakan sudah lulus atau putus sekolah.

Sebagaimana ngaji ala kampung, metode yang digunakan oleh "My First Teacher" adalah metode tradisional seperti setoran. Murid yang datang lebih awal, mendapat giliran lebih dulu, satu persatu. Guru membaca, murid menirukan. Lebih mementingkan hafalan dan belum ada metode dan strategi khusus, apalagi kurikulum.

Guru pertama saya itu adalah Ustadz Rifa'i yang oleh masyarakat lebih akrab dipanggil "Cak i". Saat itu, usia beliau sekitar 35-40 tahunan. Cak i adalah sosok penyabar, lembut, supel, mudah bergaul dengan siapa saja, dan yang masih teringat adalah sikap kesederhanaan dan kesahajaan beliau.

Saya kurang tahu benar, apakah Ustadz Rifa'i itu asli kelahiran kampung Gang Muris atau bukan? Namun yang jelas, guru saya itu laksana garam yang cepat menyatu dengan umat. Saya juga tidak tahu, sebelumnya beliau pernah mondok atau mengaji kepada siapa? Namun yang masih tergiang hingga kini adalah suaranya yang indah saat mengajari saya huruf-huruf al-Quran.

Setiap bakda asar, Ustadz Rifa'i sudah stand by di masjid, menanti para muridnya datang. Kepada anak-anak kecil, beliau sangat akrab dan dapat menyentuh sisi-sisi terdalam di dunia anak sehingga tak salah apabila sosok Ustadz Rifa'i masih dikenang hingga kini.

Jika melihat kondisi ekonomi rumah tangganya, benar-benar memprihatinkan. Ustadz Rifa'i bersama keluarga besarnya hanya menempati sebuah rumah kecil di sebelah timur daya masjid. Dengan berjalan 10-15 langkah dari rumah, sudah tiba di pintu masjid. Sangat dekat. Kedekatan ini yang barangkali juga mendekatkan hati Ustadz Rifa'i dengan rumah Allah.

Rumah Sang Guru Ngaji itu sangat sempit untuk ditempati pasangan suami-isteri beserta anak-anaknya yang kalau tidak beliau dikarunia 3 orang anak. Lebar rumah itu sekitar 3x3 meter, bagian depannya masih terbungkus bambu dan boleh jadi lebih tepat disebut "gubuk" daripada rumah hunian.

Sungguh memprihatinkan. Selain mengajar ngaji, sehari-hari, Ustadz Rifa'i bekerja sebagai tukang kebun di Sekolah Dasar Negeri I Kotalama Malang. Sebelum matahari terbit, Sang Guru Ngaji itu telah berangkat menuju gedung sekolah untuk menyapu lantai, menata bangku, menyirami tanaman, mempersiapkan keperluan proses belajar-mengajar dan sebagainya.

Jika jam sekolah selesai, di rumah, Ustadz Rifa'i membantu isterinya menjahit pakaian, itupun kalau ada konsumen yang memerlukan jasa jahit. Selebihnya, Ustadz Rifa'i bekerja serabutan agar dapur tetap mengepul. Bekerja apapun asalkan halal dan mampu dikerjakan, bagi beliau, adalah sebuah anugerah yang harus dilaksanakan dalam kehidupan di dunia.

Kondisi ekonomi yang pas-pasan dan seringkali juga kekurangan itu, sama sekali tidak pernah menyurutkan tekad Ustadz Rifa'i berkhidmat untuk masjid. Demi masjid, beliau akan mengerahkan segala daya dan upaya agar rumah Allah makmur, ramai dengan orang beribadah dan menuntut ilmu.

Satu kata saja yang ingin saya apresiasikan untuk Ustadz Rifa'i, "MENGAGUMKAN". Bagaimana tidak mengagumkan, dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas, akan tetapi kecintaan terhadap ilmu dan istiqamahnya justu tidak terbatas.

Jika dilihat dari perspektif ekonomi yang memiliki kaidah umum "Modal dengan seminim-minimnya untuk laba sebesar-besarnya", maka pada hakikatnya, Ustadz Rifa'i adalah orang yang sangat beruntung. Inilah yang tidak banyak dilihat orang awam tentang sosok mulia Ustadz Rifa'i.

Betapa banyak orang kaya dengan fasilitas hidup mewah dan serba ada, namun ternyata dedikasinya terhadap masjid, sekolah, dan ilmu pengetahuan, sangat rendah. Ada banyak orang kaya yang punya waktu luang dengan uang berlebih, tapi yang istiqamah dari mereka dapat dihitung dengan jari.

Beda dengan Ustadz Rifa'i, keterbatan ekonomi tidak harus menjadi penghalang untuk mengabdi kepada Allah dengan memakmurkan masjid-Nya, mengajar anak-anak muslim tentang bagamaina membaca Kalam-Nya dan memelihara sekolah anak bangsa agar mudah mencapai cita-cita.

Selain bekerja dan mengajar ngaji, Ustadz Rifa'i juga tidak pernah absen belajar dengan mengikuti pengajian rutin di masjid. Setiap kali ada pengajian, beliau selalu hadir dan tampak berada di urutan terdepan. Salah satu yang saya tahu, Ustadz Rifa'i selalu hadir di tengah majlis pengajian al-Quran dan tafsir yang diasuh KH Basori Alwi yang hingga saat ini pengajian itu masih terus berlangsung istiqamah.

Sekali lagi, Ustadz Rifa'i sangat mengagumkan. Beliau benar-benar mencintai al-Quran dan itu dibuktikannya dengan terus mengajar dan belajar. Beliau tidak hanya memakmurkan masjid dengan mengajar anak-anak ngaji, tapi beliau sendiri juga ngaji.

Inilah yang kini mulai langka, apalagi di majelis pengajian rutin yang diadakan di dalam masjid kampung seperti Muritsul Jannah. Bila ada pengajian rutin, orang kampung yang hadir hanya sedikit, tidak sampai 20 orang. Fakta ini sudah ada sejak dulu dan anehnya juga masih berlangsung hingga hari ini. Realitas seperti ini, saya kira juga dialami masjid-masjid lain yang pengajian rutinnya sepi peminat. Tapi, beda dengan Ustadz Rifa'i. Asalkan tidak sedang bepergian ke luar kota, pria berkulit bersih itu akan selalu menghadiri pengajian di masjid. Sosok seperti beliau ini, saya kira sudah langka.

Tahun 1988, sebelum saya berangkat ke pesantren, saya berpamitan kepada Ustadz Rifa'i. Saat itu beliau bertanya, "Mau mondok dimana?" "PIQ, pondoknya Kiai Basori", jawab saya. Mendengar hal itu, saya melihat raut wajah beliau tampak gembira menyaksikan muridnya akan melanjutkan studi. Lalu, beliau berkata, "Saya ingin sekali bisa mengaji al-Quran seperti Kiai Basori, meski berusia lanjut, tapi suara dan tajwidnya sangat fasih". Setelah bersalaman dan mohon doa restu, saya pun berpamitan kepada beliau.

Kini, kalimat Ustadz Rifa'i baru saya pahami, bahwa sebenarnya beliau memiliki tekad besar untuk terus belajar. Guru saya itu juga ingin anak-anaknya bisa mendapat kesempatan mondok dan bersekolah yang berkualitas. Tapi, kondisi tidak memungkinkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Meski demikian, beliau masih tetap bersyukur karena di masjid yang berdekatan dengan rumahnya itu, masih dihampiri para kiai dan ulama besar yang rela datang ke masjid untuk mendakwahkan Islam sehingga kesempatan menuntut ilmu masih terbuka lebar di tengah berbagi himpitan dan kesempitan.

Sekitar awal tahun 90-an, saat saya masih mondok, Ustadz Rifa'i telah berpindah rumah dari kampung Muris, Kotalama Malang. Bersama seluruh keluarganya, beliau "hijrah" ke rumah barunya di daerah Kedung Kandang Malang.

Kira-kira tahun 1996, Ustadz Rifa'i pernah mengundang saya ke rumahnya. Saat itu, saya dihubungi oleh salah satu putranya yang meminta saya untuk memberi ceramah di sebuah mushalla dekat rumah Ustadz Rifa'i. Saya pun yang saat itu masih mondok di Singosari, sangat senang menerima undangan tersebut. Inilah kesempatan untuk bisa bertatap muka dan bersilaturrahim dengan guru saya.

Ketika tiba di lokasi, saya melihat kondisi kesehatan Ustadz Rifa'i sudah mulai menurun. Beliau mengaku sering sakit-sakitan. Uban di rambutnya merata di sela-sela kopyah hitamnya. Tapi, senyum dan wajah teduhnya masih tetap sama. Ada pancaran nur al-Quran pada sosok beliau yang berhati tawaddhu' dan berkarakter istiqamah itu.

Di mushalla tempat saya memberi ceramah tentang "Maulid Nabi Muhammad saw", ada banyak anak kecil dan pemuda yang hadir di acara itu. Ternyata, motor penggerak dan guru ngaji di mushalla itu adalah salah satu putra Ustadz Rifa'i. Tak salah jika pepatah berkata, "Buah yang jatuh, tak jauh dari pohonnya".

Ustadz Rifa'i, dengan segala keterbatasan, ternyata telah berhasil mencetak anak-anak dan murid-murid yang sukses menggapai cita-cita. Inilah karya terbesar dari sosok Cak i yang perlu diteladani. Perjalanan hidupnya telah mengajarkan bahwa sesulit apapun problema kehidupan di dunia, takkan sesulit menjaga istiqamah.

Dengan istiqamah akan melahirkan lebih dari seribu karamah. Ada hikmah besar dibalik perjuangan berat demi masjid, al-Quran dan sekolah, yang itu telah dibuktikan oleh Ustadz Rifa'i.

Kini, guru pertama saya di masjid itu telah pergi ke haribaan Allah swt. Boleh jadi, sudah banyak orang yang melupakan perjalanan hidupnya. Laksana mutiara, memang tak banyak orang yang bisa membedakannya dengan batu. Tapi, dengan tulisan ini, ingin saya ingatkan kembali tentang sosok Cak i.

Ustadz Rifai laksana mutiara mengagumkan yang hilang karena tak banyak dikenang. Tapi bagiku, dari dulu, kau tetaplah pelita yang cahayanya terang benderang. Selamat jalan guruku, tetaplah tersenyum karena masjidmu kini akan meneruskan amal jariyahmu.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar