26 Desember 2012

Kiai Lintas Agama

 


Entah mengapa, setiap digelar perayaan natalan yang itu sudah jelas merupakan hari raya umat Kristiani, tiba-tiba muncul kiai-kiai atau tokoh-tokoh yang disebut "Kiai dan Tokoh Lintas Agama" hanya gara-gara yang bersangkutan hadir pada peringatan ritual natal?

Tokoh agama Islam atau biasa juga disebut aktivis lintas agama, tiba-tiba menjadi populer hanya karena dia dekat dengan para pemuka agama lain. Asal berani masuk gereja, vihara atau pura, sang kiai atau tokoh tersebut langsung dinobatkan menjadi pejuang toleransi, pemersatu umat beragama, bisa diterima semua golongan dan label-label lain yang tampak keren dan bombastis.

Islam sebagai agama yang universal, jelas tidak melarang siapapun pemeluknya untuk bergaul dengan pemeluk agama lain. Bahkan, Islam menganjurkan agar sesama umat manusia saling mengenal, saling tolong-menolong dan sama-sama menjaga etika bertoleransi. Apalagi, umat Islam di Indonesia yang hidup majemuk dengan komunitas yang hiterogen, beda agama, suku, ras dan bahasa. Pasti, umat Islam sangat diwajibkan menjaga toleransi antar sesama anak bangsa dalam bingkai "Bhinneka Tunggal Ika".

Namun, tentu saja, ada batas-batas tertentu yang tidak bisa masuk ke wilayah toleransi, dan semua umat beragama pasti memahami hal itu. Batas yang dimaksud ini adalah wilayah keimanan yang jelas beda antar setiap agama. Masing-masing mempunyai keyakinan sendiri-sendiri dan bebas melaksanakan ritual agama sesuai keyakinannya.

Hanya saja, batasan itulah yang lalu menjadi kabur akibat ulah yang dipertontonkan para pemuka agama yang dinobatkan sebagai "Kiai atau Tokoh Lintas Agama". Bagi beberapa orang, sikap seperti itu dipandang wajar, lumrah, biasa, tidak mengkaburkan dan bahkan dinilai bagus dan terpuji atasnama toleransi dan ukhuwah basyariyah atau persaudaraan sesama umat manusia.

Namun, bagi umat muslim yang awam, atau yang tidak memiliki pondasi akidah yang kuat, atau bagi yang suka ikut-ikutan, maka apa yang dipertontonkan para kiai dan tokoh lintas agama itu jelas merupakan sikap yang tidak wajar dan membingungkan.

"Apa boleh ya kita merayakan lebaran umat beragama lain? Apa boleh ya kita masuk ke tempat ibadah mereka? Apa halal ya kita turut makan-makan bersama mereka?", dan pertanyaan lain yang membikin was-was dalam hati (yuwaswisu fii shudurin naas).

Padahal, untuk menjadi ngetren dan disebut tokoh lintas agama, masih bisa kok dengan cara lain yang tidak harus mengorbankan kemurnian akidah dan tidak mengaburkan pemahaman umat. Para pemuka agama Islam bisa mengajak umatnya untuk menghormati umat beragama lain dengan tidak saling mengganggu dan berbuat kerusakan.

Mereka juga dapat mengajak semua umat beragama saling bersatu menjaga kebersihan lingkungan, menjaga keamanan negara, menanggulangi daerah rawan bencana, mengatasi banjir dan kemacetan kota, dan program lain yang produktif dan bersifat umum bagi semua umat beragama sesama warga negara.

Dengan mengkaji mukjizat al-Quran, misalnya, para kiai yang cerdas bisa bekerja sama dengan para pakar IT dari lintas agama untuk menciptakan teknologi canggih yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Bagi tokoh yang cerdas, pasti akan dapat menggali lebih banyak ilmu pengetahuan dari al-Quran dan as-Sunnah untuk kemudian ditransformasikan dalam pengembangan sumber daya alam bersama umat beragama lain.

Jadi, sekali lagi, untuk menjadi tokoh lintas agama, tidak harus, para kiai dan pemuka agama Islam turut latah menjadi "imam" bagi jamaahnya dan mengajak mereka sama-sama masuk gereja untuk merayakan natal bebarengan. Apalagi, perbuatan ini lalu dijustifikasi dengan dalil-dalil rasional yang tampak logis sebagai alasan bahwa sikapnya itu bisa dibenarkan dalam pandangan syariat Islam.

Ditambah lagi, para kiai lintas agama dan para pengikut setianya itu juga "ngotot" mengkritik dan menyalahkan saudaranya sendiri sesama muslim yang tidak mau mengikuti cara mereka. Jika dinasehati dan dikritik, dengan gagahnya mereka kembali menuding dan melabeli "fanatik, konservatif, tekstualis, kolot, jadul" dan sebutan lain yang memperkeruh suasana.

Tulisan ini, tidak lain hanya bertujuan mengingatkan kepada saudaraku sesama muslim, terutama para kiai dan pemuka agama yang sudah terlanjur disebut "tokoh lintas agama" untuk kembali kepada ajaran agama yang benar dan tidak memberi "uswah sayyi'ah" yang kelak akan menjadi "pedoman buruk" bagi generasi yang akan datang.

3 komentar:
Tulis komentar
  1. tanda2 hari akhir,,, umat islam lebih dekat dengan non muslim akan tetapi saling menghina sesama muslim sendiri,, boleh2 aj n wajar bergaul dg semua penganut agama lain tp bukan berarti menghina saudara yg jelas jelas seiman kan????

    BalasHapus
  2. Mohon dukungannya agar memperoleh izin membangun Rumah Ibadah.Agar mereka Tidak ber jam-jam untuk datang beribadah.Terutama Untuk mereka yang minoritas

    BalasHapus