"Mengapa Ramadan yang hampir berlalu ini menyisakan rasa kesedihan?
Tanda apakah ini? Oh, Jangan pergi, Ramadan". Sebuah pertanyaan atau
kegalauan yang kerap muncul di masa akhir bulan Ramadan menjelang Idul
Fitri.
Secara psikologis, perasaan "sedih" semacam itu
adalah wajar. Disebut wajar karena bagaimana kita dihadapkan pada
perpisahan terhadap sesuatu yang menyenangkan, pastilah perpisahan itu
menyisakan perasaan sedih dan kehilangan. Sebaliknya, jika kita terlepas
dari keadaan atau hal yang menyusahkan, pasti melahirkan perasaan
gembira.
Masalah intinya bukan pada berlalunya Ramadan
sebab waktu memang terus berjalan. Akan tetapi, terletak pada hal apakah
itu yang spesial di bulan sehingga kita tidak ingin berpisah dan bahkan
berharap setahun penuh menjadi Ramadan. Inilah semestinya yang menjadi
bahan evaluasi.
Tanda seseorang disebut sukses dalam
berpuasa hingga ia meraih tujuan utamanya, yakni taqwa, adalah perasaan
kehilangan Ramadan, seakan-akan kesempatannya untuk beribadah dan
berbuat baik masih kurang dan ingin terus memperbaiki diri menjadi
manusia sempurna.
Ramadan yang indah karena pahalanya yang
berlipat-lipat, adanya kesempatan mengekang hawa nafsu melalui puasa,
memperdalam aspek spiritual dan intelektual, momen tarawih dan semangat
persatuan, bahagianya bisa berbagi dengan zakat, infaq maupun sedekah,
dan lain sebagainya itulah yang semestinya menjadikan seseorang bersedih
apabila berpisah dengan Ramadan.
Berbeda halnya jika
motif kesedihan dan tangis perpisahan dengan Ramadan itu diakibatkan
oleh hal-hal yang bersifat materiil yang justru menanamkan sifat rakus,
serakah, tamak, dan sebagainya. Kesedihan akan kepergian Ramadan bagi
orang-orang yang "tertipu" oleh hawa nafsunya sendiri adalah kesedihan
semu dan tangisan pura-pura.
Bagi orang yang menangis
semu, ia merasa sedih dengan kepergian Ramadan karena kesempatan meraup
harta sebanyak-banyaknya dan semudah-mudahnya menjadi berakhir.
Pasar
dan mall kembali sepi seperti sedia kala. Tidak ada lagi bazar takjil
dadakan yang hanya dalam waktu singkat, dagangan bisa laris manis.
Pegawai Negeri dan karyawan juga akan kembali kerja full time tanpa ada
lagi iming-iming THR.
Omzet para pedagang ayam, daging,
lauk pauk, es, kolak, sayur mayur, dan sebagainya juga akan kembali
normal. Termasuk juga para penjahit, penjual baju dan busana muslim juga
kehilangan momen paling laris sepeninggal Ramadan. Tidak ada lagi
lonjatan harga dan obral diskon. Pengusaha transportasi juga sepi lagi.
Sopir, kernet, tukang parkir hingga makelar kembali seperti semula. Para
dai dan artis religi juga kehilangan job.
Fenomena khas
Ramadan yang sarat dengan kebutuhan sandang, pangan dan papan itulah
yang sebenarnya berlalu, dan jangan-jangan hanya itu yang ditangisi
seiring dengan kepergian Ramadan.
Karenanya, yang
sepatutnya ditangisi bukanlah kepergian Ramadan itu sendiri. Akan
tetapi, pada hakikatnya, yang harus ditangisi adalah kekerdilan dan
kebodohan kita menangisi sesuatu yang semestinya tak perlu ditangisi.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar