7 Agustus 2013

Menangisi Kepergian Ramadan

 


"Mengapa Ramadan yang hampir berlalu ini menyisakan rasa kesedihan? Tanda apakah ini? Oh, Jangan pergi, Ramadan". Sebuah pertanyaan atau kegalauan yang kerap muncul di masa akhir bulan Ramadan menjelang Idul Fitri.

Secara psikologis, perasaan "sedih" semacam itu adalah wajar. Disebut wajar karena bagaimana kita dihadapkan pada perpisahan terhadap sesuatu yang menyenangkan, pastilah perpisahan itu menyisakan perasaan sedih dan kehilangan. Sebaliknya, jika kita terlepas dari keadaan atau hal yang menyusahkan, pasti melahirkan perasaan gembira.

Masalah intinya bukan pada berlalunya Ramadan sebab waktu memang terus berjalan. Akan tetapi, terletak pada hal apakah itu yang spesial di bulan sehingga kita tidak ingin berpisah dan bahkan berharap setahun penuh menjadi Ramadan. Inilah semestinya yang menjadi bahan evaluasi.

Tanda seseorang disebut sukses dalam berpuasa hingga ia meraih tujuan utamanya, yakni taqwa, adalah perasaan kehilangan Ramadan, seakan-akan kesempatannya untuk beribadah dan berbuat baik masih kurang dan ingin terus memperbaiki diri menjadi manusia sempurna.

Ramadan yang indah karena pahalanya yang berlipat-lipat, adanya kesempatan mengekang hawa nafsu melalui puasa, memperdalam aspek spiritual dan intelektual, momen tarawih dan semangat persatuan, bahagianya bisa berbagi dengan zakat, infaq maupun sedekah, dan lain sebagainya itulah yang semestinya menjadikan seseorang bersedih apabila berpisah dengan Ramadan.

Berbeda halnya jika motif kesedihan dan tangis perpisahan dengan Ramadan itu diakibatkan oleh hal-hal yang bersifat materiil yang justru menanamkan sifat rakus, serakah, tamak, dan sebagainya. Kesedihan akan kepergian Ramadan bagi orang-orang yang "tertipu" oleh hawa nafsunya sendiri adalah kesedihan semu dan tangisan pura-pura.

Bagi orang yang menangis semu, ia merasa sedih dengan kepergian Ramadan karena kesempatan meraup harta sebanyak-banyaknya dan semudah-mudahnya menjadi berakhir.

Pasar dan mall kembali sepi seperti sedia kala. Tidak ada lagi bazar takjil dadakan yang hanya dalam waktu singkat, dagangan bisa laris manis. Pegawai Negeri dan karyawan juga akan kembali kerja full time tanpa ada lagi iming-iming THR.

Omzet para pedagang ayam, daging, lauk pauk, es, kolak, sayur mayur, dan sebagainya juga akan kembali normal. Termasuk juga para penjahit, penjual baju dan busana muslim juga kehilangan momen paling laris sepeninggal Ramadan. Tidak ada lagi lonjatan harga dan obral diskon. Pengusaha transportasi juga sepi lagi. Sopir, kernet, tukang parkir hingga makelar kembali seperti semula. Para dai dan artis religi juga kehilangan job.

Fenomena khas Ramadan yang sarat dengan kebutuhan sandang, pangan dan papan itulah yang sebenarnya berlalu, dan jangan-jangan hanya itu yang ditangisi seiring dengan kepergian Ramadan.

Karenanya, yang sepatutnya ditangisi bukanlah kepergian Ramadan itu sendiri. Akan tetapi, pada hakikatnya, yang harus ditangisi adalah kekerdilan dan kebodohan kita menangisi sesuatu yang semestinya tak perlu ditangisi. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar