Jika Anda harus menetap di luar negeri selama 2 bulan
lamanya, berada di negara yang jelas beda corak sosial, budaya, dan sebagainya,
apa yang Anda persiapkan?
Adaptasi secepatnya, ini jawaban riil agar kita tidak merasa
terasingkan dan lekas membaur, mengikuti arus. Tapi, tentu saja harus siap
bertahan hidup. Nah, untuk adaptasi bertahan hidup ini juga terkait dengan
selera makan.
Tahun 2015, kami berenam termasuk Duta Indonesia dalam
program POSFI Kemenag yang diutus ke Tunisia. Belum pernah sekalipun terlintas
dalam pikiran atau bahkan mimpi, saya berkesempatan tinggal di negara
berpenduduk 11 juta jiwa itu, apalagi selama 2 bulan.
Menjelang berangkat, hanya sedikit informasi yang saya
peroleh tentang negara yang pernah sekali masuk dalam ajang Piala Dunia ini.
Bahwa, biaya hidup di sana mahal karena negara itu bekas jajahan Prancis, gaya
hidup lebih dekat dengan Eropa bukan lagi Arab-Asia, iklim yang super dingin di
akhir tahun, dan tidak banyak produk makanan yang cocok dengan lidah Indonesia.
Karena minimnya informasi, maka dengan sekuat tenaga,
hehe..... saya pun membawa banyak bekal makanan seperti mie instan, kopi bubuk,
gula, bumbu masak, krupuk, abon sapi, kecap, teh, bumbu pecel, bahkan ikan asin
kering. Tak hanya itu, saya pun dibekali alat masak semisal rice cooker,
electric heating cup, tapper ware, piring, sendok, dan banyak lagi termasuk
obat-obatan. Ditambah lagi baju dan laptop. Hm...kayak mau minggat ya...hehe..
Untuk itu, perlu 1 kopor dan 2 tas yang bobot semuanya
hampir 30 kg. Bisa dibayangkan, betapa berat bawaan untuk bertahan hidup,
hehe... Setibanya di Tunisia, semua bekal makanan itu nyatanya sangat berguna
dan tampak mahal harganya dibanding harga sembako di negeri zaitun. Meskipun,
kenyataannya, saya bersama teman-teman harus belanja bahan mentah lagi.
Meminjam bait lagunya Meggi Zed, "masak, masak sendiri... tidur tidur
sendiri....".
Untung saja, perabotan dapur di apartemen kami, Iqomah An
Nouri di Sahlul Sousse, tergolong lengkap. Ada kompor yang gasnya tanpa beli
isi ulang, kulkas, panci, piring dan sebagainya, tak terkecuali mesin cuci yang
amat membantu hidup kami.
Satu lagi yang membuat kami senang, yaitu, salah satu teman
kami, Dr Sofin (IAIN Banten) ternyata jago masak. Selama kuliah di Maroko, ia
sudah terbiasa masak hingga kami menyebutnya Chef Maroko (tinggal MA-kan dan
ROKO-k, hehe). Jika waktu masak tiba, kami berempat sibuk di dapur, ada yang
cuci piring, bikin bumbu, goreng ikan dan memasak nasi. Nah, tugas terakhir ini
spesialisasi saya, hehe...
Selama di Tunisia, kami mampu memproduksi aneka macam karya
"kuliner", sebut saja, nasi goreng sosis, nasi pecel Kawi, martabak
India, spagetti Itali, Sarden, ayam balado, kare, rawon, soto, dan banyak lagi.
Setiap menu baru, sebelum disantap bareng, ada sesi pemotretan, lalu kita share
ke Grup WhatsApp.
Jadi, Program POSFI Kemenag RI ini tidak hanya mengajarkan
kami studi banding ilmiah dan wisata budaya, tapi juga yang tidak kalah pentingnya,
team work dan wisata kuliner untuk bertahan hidup.
Tunisia, 9 Nopember 2015
Tidak ada komentar:
Tulis komentar