29 September 2016

Kampanye Agama

 

Suasana jelang pemilu selalu ramai. Setiap orang atau kelompok bebas berpendapat, mendukung atau mengkampanyekan calon yang dipilihnya. Hal ini sah-sah saja dan memang demikian suasana pemilu. Adu argumen dan program kerja merupakan hal positif untuk pendidikan politik. Manfaatnya, masyarakat akan mendapat informasi lengkap tentang calon pemimpinnya yang memiliki visi-misi dan program terbaik. Inilah perlunya kampanye. Istilah pasarnya, “jualan kecap”.

Namun, kampanye justru akan berubah menjadi negatif, jika ada orang atau kelompok yang sibuk menampilkan sisi buruk dari lawan politik atau calon yang tidak didukungnya. Lebih parah lagi, jika kampanye tersebut sudah menjurus ke arah fitnah maka hanya yang buruk saja dikorek. Dan, yang paling parah adalah jika kampanye itu telah dibumbuhi isu-isu SARA yang sudah pasti akan menimbulkan reaksi. Kampanye kotor seperti ini sering disebut “Black Campaign”.

Kampanye yang diwarnai argumen berbau SARA, tetap saja tidak baik untuk pendidikan politik. Meskipun, kampanye itu dilengkapi dalil-dalil lengkap yang dirujuk dari kitab suci. Apalagi, teks-teks suci yang dinukil masih bersifat multi-tafsir sehingga yang sering terjadi adalah pemaksaan kehendak dengan memasukkan unsur-unsur subyektifitas yang menguntungkan kepentingan pribadi dan golongannya sendiri. Metode semacam ini dapat dikatakan sebagai pemerkosaan terhadap ayat-ayat suci.

Berdakwah beda dengan berkampanye. Berdakwah adalah mengajak dengan cara menyampaikan hikmah, mauidhah hasanah, dan bila perlu dengan debat argumentatif tapi harus dengan cara yang santun. Lain lagi dengan kampanye. Kampanye terkait dengan kepentingan politik untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Dalam politik, ada adigum: tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Oleh karenanya, kampanye kerapkali menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai, termasuk memperalat agama.

Masalahnya di lapangan adalah seringkali medan dakwah diubah menjadi ajang kampanye. Atau sebaliknya, kampanye dibungkus dengan jubah dakwah. Akibatnya, umatlah yang menjadi korban, mereka diombang-ambingkan oleh dalil-dalil yang dipaksakan sebagai justifikasi atau pembenaran terhadap pilihan sang dai politisi.

Salah satu contoh, saat calon pemimpin berstatus perempuan mengemuka, muncul ayat maupun hadis yang melarang kepemimpinan wanita. Kemudian, tanpa terlalu lama, muncul juga ayat maupun hadis tandingan. Itu artinya, satu hal yang sama bisa didukung 2 dalil berbeda antara yang pro dan kontra.

Hal yang sama juga terjadi pada fenomena pemimpin non-muslim yang saat ramai dibicarakan netizen. Isu ini terus tampil ke permukaan dan menggelinding bak bola salju sehingga muncul ayat-ayat yang disitir secara khusus untuk melarang umat Islam dalam memilih pemimpin daerah yang beragama non-muslim. Pada saat hampir bersamaan, muncul pula dalil pembanding yang justru memperbolehkan umat muslim memilih pemimpin non-muslim.

Pro-kontra dan perang dalil itu adalah akibat dari “cap” yang distempelkan oleh pihak yang berkepentingan untuk membunuh karakter lawan politiknya. Pihak lain yang tidak sepaham dan bukan dari golongannya, langsung dicap kafir, munafik, musyrik, syiah, liberal, komunis, sosialis, pluralis, dan cap-cap lain yang masih tidak jauh dari term agama dan isu SARA.

Cara-cara kampanye yang membawa dalil-dalil agama apalagi mengatasnamakan Tuhan ini, memang terbukti efektif merusak pola pikir umat. Pola ini mampu mengubah penilaian, pilihan dan bahkan keyakinan kaum awam. Padahal sebenarnya, posisi umat sedang dipermainkan oleh elit tertentu yang berlindung dibalik jubah agama.

Di mata masyarakat yang sadar, bosan dan muak dengan akrobat politik berbau SARA, cara-cara “kampanye agama” itu sudah kuno, norak, tidak mencerminkan aspek intelektual, tapi ontalektual. Kampanye yang modern dan elegant adalah kampanye yang lebih mengedepankan sosok calon pemimpin yang memiliki track record bersih dari korupsi, mempunyai visi-misi dan program yang jelas untuk memberdayakan rakyat, dan yang terpenting adalah telah ada aksi nyata, bukan sekedar wacana.

Demikian pola pikir dan tingkat intelektual masyarakat masa kini yang makin maju dan modern. Terutama, masyarakat di tingkat perkotaan. Oleh karena itu, kampanye yang berlindung atasnama agama, sebentar lagi tidak akan laku seiring dengan makin cerdasnya masyarakat. Ketika masyarakat mulai tahu ada hiu dibalik batu, ada agenda kotor yang dibungkus dalil, saat itulah posisi agama menjadi ternodai karena hanya diperalat saja.

Lalu, siapa yang menodai kesucian agama? Ya tentu saja, orang atau kelompok yang masih saja konsisten berprofesi menjual ayat-ayat dengan harga murah untuk kepentingan politik dan kekuasaan, apapun alasannya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar