Catatan ini perlu aku tulis sebagai pengingat, putri pertamaku, Alva Solla Nabia memulai petualangannya pada hari Rabu, 12 Juli 2017 atau 17 Syawal 1438 H dalam usaha meraih ridha Allah dan ilmu-Nya, sekaligus ridha kiai di Pondok Pesantren "Nurul Ulum" Malang.
Sebagai orang tua, jelas tidak mudah melepas putrinya seorang diri, belajar mandiri, hidup di pesantren yang tentu saja suasananya berbeda dengan di rumah. Namun, kita harus tega, ikhlas, pasrah dan yakin bahwa inilah pilihan terbaik untuk masa depannya kelak.
Justru, menurut saya, orang tua yang tidak memondokkan anaknya dan membiarkan buah hatinya hidup di lingkungan yang kurang kondusif dalam membentuk karakter yang baik dan religius adalah orang tua yang tega mengorbankan masa depan anaknya. Karena itu, kunci pertama dalam memondokkan anak adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Dialah sebaik-baik "muaddib" dan pesantren adalah "wasilah" untuk merasakan pahit-manisnya pendidikan.
Di hari pertama penyerahan santri baru oleh wali santri ke pihak pengasuh, saya melihat suasana yang mengharukan. Beberapa orang tua dan putrinya harus meneteskan air mata perpisahan untuk sementara waktu. Apalagi, di PP Nurul Ulum ini ada aturan: "40 hari pertama, orang tua santri baru dilarang menjenguk dan bertemu putra-putri mereka, apapun alasannya", tidak boleh. Pasti ada hikmah dibalik aturan ini, pikirku.
Inilah mengapa suasana hari itu begitu haru. Namun, aku tetap berusaha tegar, tidak boleh setetes pun air mata jatuh di pipi agar putriku lebih kuat. Ternyata benar, putri jauh lebih kuat, meski tubuhnya kecil dan kurus. Ia tampak bersemangat dan ingin segera bergabung dengan teman-teman barunya sekamar. Semoga ia betah dan meraih cita-citanya, hanya itu harapanku.
Sebentar lagi, putri kecilku yang manja dan kekanak-kanakan, akan memasuki masa remaja bagai bunga yang baru mekar, masa bahagia dan terindah dalam fase kehidupan anak manusia. Namun, fase itu justru harus dilaluinya di pesantren yang bukan saja ajang belajar, tapi juga medan perjuangan. Karenanya, Nabi menyebut orang yang pergi menuntut ilmu, sejatinya dialah mujahid (pejuang sejati) di jalan Allah.
Berjuanglah Putriku sayang. Pahitnya hidup di pesantren sejatinya adalah madu yang paling manis. Yakinlah, kebahagiaan demi kebahagiaan akan terus menghampirimu sebab engkau saat ini sedang langsung di bawah bimbingan Allah dan meniti di jalan-Nya untuk masa depanmu kelak.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar