2 September 2017

SANTRI "ISMAIL"

 


"Nak, Ayahmu bermimpi, menyembelih dirimu. Apa pendapatmu?", tanya Nabi Ibrahim. Tanpa berpikir panjang, Nabi Ismail menjawab, "Laksanakan perintah-Nya, wahai Ayahku. Insya Allah, aku bersabar".

Sebuah dialog yang mengiris hati setiap anak manusia. Bagaimana mungkin, Nabi Ibrahim setega itu? Bagaimana mungkin anak sekecil itu rela berkorban? Jelas, secara manusiawi, tidak ada orang tua yang rela menyembelih buah hatinya sendiri. Dan, tidak semua anak mau menuruti perintah orang tua, apalagi perintah itu tidak logis serta membahayakan diri sendiri.

Hanya iman, kepercayaan yang mendalam kepada Allah, yang mampu menggerakkan hati seorang manusia berserah diri secara total (kaffah). Bahwa, setiap perintah Allah pasti membawa hikmah dan manfaat di kemudian hari nanti.

Oleh karena itu, Nabi Ismail menjadi simbol sepanjang masa tentang sosok anak yang berbakti kepada orang tuanya. Bakti itu tidak hanya diwujudkan dalam mentaati perintah biasa dari orang tuanya, Ibrahim. Tapi lebih daripada itu, juga diaktulisasikannya dalam bentuk pengorbanan jiwa dan raga yang luar biasa.

Dialog itu mengingatkanku pada saat aku menawari putri manisku untuk mondok ke pesantren, beberapa bulan silam.

"Sayangku, aku akan mengirimmu ke pesantren. Bagaimana pendapatmu?". Tanpa ragu, bibir mungilnya menjawab, "Baik, Abah".

Jawaban yang singkat itu membuatku berada dalam dilema, antara bahagia dan sedih hingga ragu. Seperti dalam kondisi "tarwiyah". Hingga akhirnya, bahasa tubuh putriku yang menunjukkan antusias dan optimis. Hal itu mendorongku makin yakin dan mantap (arafah), bahwa jalan ini sudah menjadi takdir Sang Pencipta. Aku harus merelakannya pergi. Membiarkannya berkelana, menjemput masa depannya sendiri, menjadi santri. Santri berjiwa "Ismail".

Idul Adha 1438

Tidak ada komentar:
Tulis komentar