4 September 2017

MEMAKNAI ROHINGYA

 


Kembali, tagar #saverohingya memenuhi jagat medsos. Entah tahu, tidak tahu, pura-pura tahu, tidak mau tahu sampai sok tahu, pokoknya pasang #saverohingya, beres deh! Yah, biar tampak peduli. Apalagi, ada yang pasang hadis: "Siapa yang tidak memprioritaskan urusan muslimin, maka ia bukan mereka". Ngeri kan?

Untuk itu, saat seorang teman bertanya: "Ada apa dengan Rohingya? Kok pengguna medsos ramai banget ngebahas itu? Sampai mereka lupa ada tragedi kemanusiaan lain yang membuat hati para jomblo patah berkeping-keping seperti tulang-belulang hewan kurban. Apalagi kalau bukan pernikahan Dik Raisa. Hehehe...
Untuk memotret Rohingya, diksi dan konteks apa yang tepat untuk ditulis dan disebarluaskan? Sebab, wacana yang dibangun, apalagi di medsos yang penggunanya beraneka ragam, sangat berpengaruh dalam membentuk opini hingga emosi.

Untuk itu, "Silahkan dipilih jawaban berikut ini tentang Rohingya", kataku pada temanku itu.
a. Tragedi Kemanusiaan
b. Perang Agama
c. Perebutan Kekuasaan
d. Semua Benar
e. Semua Salah

Dalam memilih jawaban, biasanya tergantung tingkat SDM dan nalar berpikir. Menurut teori behaviorisme (sulukiyah), makna yang terbangun tergantung stimulus. Makin banyak stimulus dari luar, makin besar pula respon dan bahkan emosi yang meluap dari dalam diri seseorang.

Sedangkan menurut teori konseptual (tashawwuriyah), makna yang muncul adalah kumpulan konsep yang terbangun dalam diri seseorang. Semakin luas ilmunya, makin luas pula wawasannya. Sebaliknya, makin sempit dan stagnan pengetahuannya, makin kering pula analisisnya. Keinginannya serba instan. Cukup copy-paste, tebar hoax, beres.
Lain lagi menurut teori kontekstual. Menurut paham ini, tragedi Rohingya harus dilihat dan disikapi dari perspektif yang tepat. Dikaji dari berbagai aspek. Yang "mabuk" teks keagamaan, biasanya langsung berkhutbah: ini perang agama. Padahal, teks agama itu beragam, luas, multitafsir dan banyak lagi.

Di sisi lain, tragedi Rohingya dilihat "hanya" perebutan kekuasaan, entah itu sumber ekonomi, wilayah, dan sebagainya. Memang sih, pangkal masalah itu -kembali ke teori kuno-, ada tiga: harta, tahta dan waria, eh.. wanita, hehehe... Lalu, apa benar tragedi Rohingya itu berawal dari ini semua sebagaimana tragedi yang terjadi di belahan bumi lainnya, termasuk tragedi di bumi jomblo-mania kemarin?

Tampaknya, yang lebih luas adalah menempatkan kasus Rohingya sebagai tragedi kemanusiaan, sebab faktanya, di Myanmar telah terjadi pembantaian, pembunuhan, kedzaliman yang brutal, yang bertentangan dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan. Sebagaimana amanat UUD 1945, harus dilawan!

Perlawanan yang dimaksud, tentu saja harus elegan, demokratis, diplomatis dan politis. Tidak malah saling hujat, apalagi menciptakan ketegangan baru di bumi pertiwi. Kasus seperti Rohingya, tidak hanya di Myanmar, tapi juga di Suriyah, Yaman, Libanon, dan banyak lagi.

Mau pilih jawaban "Benar Semua" dan "Salah Semua", juga silahkan. Atau, model "Think Out of The Box", keluar dari kotak dan tanya-jawab tadi, ya silahkan. Asalkan, "Jaga batasanmu dan nilailah dirimu sendiri", begitu pesan Basudewa Krisna.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar