13 April 2018

Karet PENIStaan

 


"Penistaan", entah kenapa kata ini menjadi begitu populer di dunia nyata maupun maya. Entah fiktif atau fakta, yang penting 'PENIStaan'. Dikit-dikit, penistaan. Dikit-dikit, penistaan. Penistaan kok dikit, hehe...

Gara-gara penistaan, orang atau kelompok menjadi mudah marah, tersinggung, merasa ternista dan terhina. Entah benar-benar ternista atau tidak, atau ikut-ikutan merasa nista.

Jika setiap perbedaan pendapat, yang kontra dinilai penistaan, maka tidak perlu ada lagi diskusi. Jika setiap pikiran dan perasaan dimasukkan ke dalam wilayah penistaan, maka tidak perlu lagi ada proses berpikir dan berperasaan. Kenapa? Ya karena penistaan itu seperti karet. Bisa ditarik kesana kemari tergantung kepentingan dan juga pendapatan, hehe.

Di era milenial, keterbukaan, fenomena medsos, kebebasan berpikir dan berpendapat seperti saat ini, mestinya pasal penistaan itu dibuang jauh-jauh hingga ke laut. Sebab, pasal ini bisa 'diperkosa' dan 'diperalat' oleh siapa saja, tergantung kapasitas pikiran dan kepentingan masing-masing.

Gara-gara ada pasal penistaan, semua perkara hanya dilihat dari perspektif hukum. Apa saja dan siapa saja bisa di-stigma dan dihakimi sebagai penista. Akhirnya, yang bukan ahli di bidangnya, ikut-ikutan merasa ternista tanpa tahu perkaranya apa.

Wilayah tafsir yang semestinya membuka ruang diskusi dan perdebatan menjadi terhenti gara-gara belum apa-apa sudah dituduh penistaan. Puisi dan karya sastra yang lahir dari imajinasi dan kreatifitas berpikir, pada akhir terhenti gara-gara penistaan. Padahal, di sana ada ruang untuk kritik sastra, puisi dibalas puisi, karya ditandingi karya, pendapat dijawab bantahan, ada tesis ada anti-tesis, dan seterusnya sehingga menarik dan terus berkembang untuk saling melengkapi sehingga menjadi bangunan keilmuan.

Tapi, lagi-lagi, semua itu terhenti gara-gara penistaan. Jika ini terus berlanjut, maka selanjutnya yang timbul hanyalah kegaduhan dan keriuhan kosong, sementara itu aspek kemajuan berpikir menjadi stagnan, terhenti, bahkan mundur ke zaman purba.

Pernyataan Ahok, puisi Sukmawati, ceramah Ustad Somad, kuliah Rocky Gerung, dan banyak lagi, mestinya semua itu menarik. Membuka ruang berpikir, berbeda pendapat, berdebat, dan seterusnya. Tapi lagi-lagi, gara-gara ada 'penistaan', semua itu menjadi terarah hanya ke soal hukum dan politik saja.

Mestinya, para mufassir, sastrawan, filosof, dan orang-orang yang ahli dan mengerti di bidangnya, mereka ikut meramaikan wacana ini dengan bebas berpendapat sesuai kapasitas keilmuan masing-masing. Tapi, gara-gara 'penistaan' dan medsos dikuasai para kampret dan cebong yang bukan ahlinya lalu dipanas-panasi para makelar politik, sehingga ruang diskusi itu menjadi musnah.

Akibatnya, wacana yang viral bukan yang mencerdaskan, tapi yang mengkerdilkan. Jika 'penistaan', 'saling lapor', 'demo dan aksi-aksian' ini terus berlanjut, maka yang ada hanyalah saling benci, saling dendam, dan merasa paling benar. Itu semua jelas menguras energi dan juga biaya.

Apa nggak capek? Apa nggak bosen? Penistaan itu masih fiksi, fiktif atau apalah namanya. Realitasnya, ya biasa-biasa saja. Penistaan terhadap cadar, misalnya, itu sih masih fiksi dan multitafsir. Faktanya, si cadar ya tetap aja cadar. Iya kan, kan...hehe...

Jadi, buang aja tuh pasal penistaan supaya tidak melumpuhkan kreatifitas berpikir. Setuju? Kalau aku sih, iyes. Entah, Agnes Mo.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar