12 Juli 2019

Properti (Label) Syariah

 


Saya pernah diminta menulis biografi seorang pengembang properti syariah oleh salah satu penerbit. Tapi, saya tidak mau. Pertama, karena tidak kenal dan kurang sreg. Kedua, saya juga masih bertanya², apa sih bedanya properti syariah dan non-syariah? Apa yg tdk ada labelnya syariah mesti kufur, haram, bid'ah, neraka? Atau, yg ada embel² syariah mesti halal, islami, surgawi, bahkan Tuhani?

Ternyata, jawabnya nggak mesti. Properti sendiri, menurut kamus, adalah segala hal yg dimiliki individu atau kelompok, baik barang atau bukan barang. Hanya saja, kini properti identik dg rumah, tanah, ruko, gudang, hotel, dls.

Nah, apa yg dimaksud properti syariah itu pembiayaannya pakai sistem syariah? Terus, syariah yg mana krn kalo dari tinjauan fiqih, yg namanya produk hukum fiqh itu bervariasi. Ada pro-kontra. Banyak madzhab. Properti tanpa label syariah pun, kalau akadnya benar, tdk ada penipuan, tdk riba, saling ridha, ya syariah juga. La wong semua transaksi itu tergantung akadnya, bukan promosinya.

Jika syariah dilihat dari aspek arsitektur, lalu mana yg benar² syariah. Apa tiap rumah pake kubah, dilengkapi sajadah, ada ukiran kaligrafi, atau kompleknya pake nama² surah: ada al-Baqarah utk ukuran besar, an-Naml yg paling kecil dan ekonomis, as-Syams pake solar cell, dls. Atau, syariah hy dari aspek seni dan budaya: penghuni hrs berjenggot, cingkrang, ada jalan khusus ikhwan dan akhwat, dst.

Jika kembali ke definisi properti, yg benar² sesuai syar'i, ya masjid. Tanah dan bangunannya mulia. I'tikaf aja udah dpt pahala, apalagi shalat, ngaji, dsb. Selain masjid, ke-syariah-annya patut dipelajari lagi. Apalagi di jaman now, kata "syari'ah" dan term² agama lainnya sdh mulai luntur kesakralannya gara² oknum yg mabuk agama, yg memperalatkan bahasa agama utk kepentingan udele dewe.

Setelah kasus penipuan tour/travel haji-umrah, dan kini properti syariah, masihkah term² agama dipercaya? Kita tunggu episode selanjutnya: kopi syariah, hehe..

Tidak ada komentar:
Tulis komentar