26 Juli 2021

Abah Holili, Pelita Masjid

 


Haji Holili lahir dari pasangan Pak Toha dan Ibu Mayyuti di dusun Laok sabe, Tangkor, Labang, Sreseh, Sampang, tahun 1946. Satu tahun pasca proklamasi kemerdekaan RI. Tentu saja, kondisi pulau garam Madura saat itu, masih sangat memprihatinkan. Masyarakat hidup seadanya, jauh dari kemewahan.

Holili kecil lahir dengan nama "Marsuni". Seperti anak sebayanya, ia menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan bermain di pematang sawah yang mengelilingi rumahnya. Menjelang remaja, Holili muda sudah punya hoby memelihara burung. Maka tak ayal, jika hoby ini menjadi bakat dan bahkan profesinya sebagai pecinta dan peternak aneka ragam burung di kemudian hari nanti. Tahun 1971, Holili mempersunting Suliha, putri H. Ahmad Suyuti. Suliha adalah kakak perempuan dari ibu saya, Aminah. Pernikahan itu berlangsung di Malang, setelah Holili hijrah ke kota bunga. Menurut kakek, acara akad nikah saat itu menjadi salah satu yang penuh berkah. Pasalnya, hampir para kiai dan ulama di Malang dan Madura, diundang. Sebut saja, misalnya KH Abdullah Sattar Hilmi, KH Abdul Hamid, KH Ali Mas’ud, KH Yahya, dan banyak lagi termasuk KH Gus Suyuti Dahlan yang saat itu didaulat menjadi penceramah. Setelah menikah, Holili dan isterinya serta mertua perempuan, Siti Nuriyah, diberangkatkan ke tanah suci menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Saat itu, perjalanan haji harus menaiki kapal laut dan membutuhkan waktu lebih dari 3-4 bulan! Sepulang dari haji, Holili bekerja sebagai kuli karung. Kariernya dimulai dari bawah, dari belajar menjahit karung, menggulung, mengangkat, hingga mencari karung bekas dari toko ke toko untuk kemudian dijahit dan dijual lagi. Demikian tradisi warga Madura di Malang yg tergabung dalam komunitas karungan. Sedikit demi sedikit, Holili mulai mengumpulkan hasil jerih payahnya dan berhasil mengisi prabot rumah tangga. Yang menarik, Holili tetap meneruskan hobinya, memelihara burung, mulai dari perkutut, murai batu, cucak ijo, lovebird, dan lain-lain. Hebatnya lagi, sudah berkali-kali, burung peliharaannya berhasil meraih juara hingga seratus lebih tropi piala menghiasi lemari rumahnya. Allah memang memberinya satu kelebihan, yakni mencintai dan dicintai burung. Pendengarannya begitu tajam. Ia tahu mana burung yang berbakat “qori” mana yang tidak. Makanya, ia menjadi rujukan dari para penggemar burung. Lebih dari itu, sudah berkali-kali, rumahnya didatangi tamu “burung” yg entah datang darimana, seakan burung yg sowan itu sengaja ingin mondok dan diasuh Abah Holili, begitu saya memanggilnya. Abah Holili adalah sosok yg istiqamah dalam beribadah, suka berderma, hormat pada kiai dan alim ulama, pendiam, lebih suka bekerja daripada bicara, sabar dan senang hadir di majelis taklim. Tahun 1994 adalah tahun dimana saya haji pertama kalinya. Saat itu, saya haji bersama Abah Holili dan Umik Suliha. Ketika itu, saya baru melihat dg mata kepala sendiri bagaimana Abah Holili istiqamah ke masjid al-haram maupun masjid nabawi. “Di tanah suci ini, hilangkan rasa malas. Tiap waktu harus jamaah di masjid karena beda pahalanya dg shalat di Indonesia”, katanya, memberi semangat. Istiqamah itu terus Abah Holili langgengkan setelah pulang haji hingga pulang ke rahmatullah. Hampir setiap saat, beliau selalu ke masjid untuk jamaah. “Meski saya tidak alim, saya berusaha mencintai kiai dan orang alim”, prinsipnya. Maka, setiap ada pengajian di masjid, diasuh oleh siapapun, Abah Holili selalu hadir dan memuliakan kiai. Demikian pula ketika hari raya tiba, beliau selalu berziarah dari kiai satu ke kiai lain. Semuanya adalah bukti rasa cintanya kepada alim ulama.
Ahad, 25 Juli 2021 atau bertepatan 15 Dzulhijjah 1442, Abah Holili berpulang ke hadirat Allah dalam usia 75 tahun. Banyak sekali kenangannya, salah satunya lampu besar di Masjid Muritsul Jannah Malang. Sebagaimana pelita itu menyinari rumah Allah, semoga alam kuburnya terang benderang dan lapang jalannya menuju surga. Amin. AlFatihah.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar