Dulu sekali, saya kira habib itu gelar untuk orang berilmu, alim di bidang agama, selevel kiai atau ustadz, bahkan lebih. Tapi ternyata, habib adalah gelar atau sebutan untuk keluarga besar Ba Alawi dengan berbagai nama marga semisal Haddad, Segaf, dan banyak lagi.
Ini terlepas dari polemik bahwa nasab Ba Alawi yang anak turunnya bergelar habib itu sambung atau tidak kepada Rasulullah SAW. Garis keturunannya sambung atau putus, fakta atau fiktif, masalah itu biar dibahas para ahli nasab dan yang ribut akhir-akhir ini.
Yang ingin saya tulis di sini adalah bahwa tidak sedikit orang mengira bahwa habib itu gelar keilmuan, gelar akademik, gelar bagi ulama. Ternyata tidak.
Adapun misalnya ada sosok bergelar habib yang dia memang alim, akademisi, pakar ilmu, dls, pasti ada dan banyak juga jumlahnya. Akan tetapi, yang perlu ditegaskan, bahwa ternyata tidak semua yang bergelar habib itu ilmuan, alim allamah!
Karena memang, sekali lagi, habib itu bukan gelar keilmuan dan akademisi semisal sarjana, magister, atau doktor yang untuk mendapatkannya harus kuliah. Juga bukan gelar profesi seperti dokter, advokat, arsitek dan sebagainya yang untuk mendapatkannya harus ikut pendidikan atau pelatihan profesi, ada standarnya.
Habib juga bukan gelar pekerjaan atau hobby seperti youtuber, petani, motomania, mancingmania, dan sebagainya. Juga bukan gelar dari bidang olahraga dan seni.
Bahkan, habib juga bukan gelar untuk bidang ilmu spesifik. Misalnya, dalam ilmu hadis, ada gelar Al-Hujjah karena hafal 300.000 hadis, Al-Hafidz 100.000 hadis, Al-Muhaddis 1.000 hadis atau Al-Musnid karena meriwayatkan hadis dan sanadnya baik menguasai ilmunya atau tidak.
Adapun misalnya ada orang berklan Ba Alawi dan bergelar habib yang dia juga bergelar doktor, advokat, youtuber, dokter, artis , atau lainnya, maka hal itu juga ada dan wajar-wajar saja sebagaimana orang dari klan lain yang juga berprofesi di banyak bidang dan tetap mencantumkan gelar marganya.
Seseorang menentukan atau menamakan klan, marga atau garis keturunannya dengan gelar tertentu yang dia mau, juga sah-sah saja dan boleh. Terserah dia.
Misalnya, Pep Guardiola sebagai pelatih sepakbola yang top markotob, lalu anak turunnya memakai nama “Pep” di depan namanya untuk menisbatkan diri kepada pelatih berkepala plontos itu karena bangga, ya itu terserah si ahli waris Pep. Lalu, di masa depan, ada nama-nama seperti: Pep Jordan, Pep Wagino, Pep Supramin, Pep Sumarni, dan sebagainya, maka hal semacam itu sah-sah saja dan suka-suka dia.
Yang mungkin jadi masalah adalah ketika anak turun Pep itu lalu menisbatkan dirinya kepada Nabi Yusuf dengan alasan bahwa kata Pep itu adalah sebutan baru di Barca dari nama aslinya Josep, “Josep Gusrdiola”, dan Josep itu adalah Yusuf. Nah, ini baru jadi masalah. Keturunan Pep harus membuktikan silsilahnya apakah sambung ke Nabi Yusuf atau tidak? Tentu saja, pembuktian itu harus dengan metode ilmiah, misalnya dengan manuskrip sejaman atau metode lain di bidang nasab. Bila perlu dengan tes DNA agar lebih valid hasilnya.
Begitulah kura-kura.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar