Pesantren Tiruan
Jelang Hari Santri Nasional (HSN), kiai dan tradisi pesantren sedang disorot, bahkan difitnah dan dihujat. HSN sedang menemukan momennya, atau memang algoritmanya sedang pas. Semua layar ponsel dan desas-desusnya tertuju ke “Kiai, Santri dan Pesantren” yang dituduh feodal. Kiai dicap materialistis, hedonis dan flexing kemewahan.
Padahal, sejak dulu dan hingga kini, pesantren identik dengan: tawaddu’, ta’dzim kiai, tirakat, zuhud, dan berkah. Akan tetapi, tradisi khas pesantren ini coba di-framing alias dikemas dengan memunculkan istilah baru yang pastinya negatif: feodal, materialis dan hedonis.
Artinya, “kesucian” kiai dan pesantren sedang dicoba untuk di-najisi oleh bungkus berupa gaya hidup yang sebenarnya tidak ada dan tidak dikenal di dalam pesantren. Tujuannya bisa ditebak: merusak kredibilitas kiai dan pesantren. Maka, sekali lagi, HSN menjadi momen yang pas untuk meracuni netizen dan umat agar pesantren tidak lagi menjadi pilihan utama dalam menuntut ilmu agama.
Kalau bukan di pesantren, lalu dimana belajar ilmu agama termasuk akhlak dan etika? Polanya jelas. Seperti halnya pasar, ditawarkan model “pesantren tiruan” yang fisiknya tampak modern, tidak ada feodalisme, kesetaraan, manajemen unggul dan hal-hal lain yang dikiranya tidak ada di pesantren-pesantren tradisional.
Selain pesantren tiruan, juga ditawarkan model ngaji instan ala Kajian, Halaqah, Talk Show, Podcast dan lain sebagainya sebagai alternatif “pengganti” pesantren yang tengah dilabeli tidak ramah anak, banyak kasus pencabulan, pelecehan, bullying, dan sebagainya yang padahal itu semua juga terjadi dimana-mana.
Pada akhirnya nanti, generasi muda hanya cukup ngaji instan, tidak perlu mondok, tidak perlu lagi “menghamba” pada Kiai. Tidak penting lagi sanad keilmuan. Tidak penting lagi keteladanan dari sosok Kiai. Cukup belajar dari pesantren tiruan: murah, hemat, instan.
Tidak hanya itu. Dimunculkan pula figur-figur ustadz yang sesuai sunnah, lebih hamble, manusiawi, cocok untuk Gen Z dan di-make up dengan pernik-pernik lainnya yang sesuai dengan pasar. Pola ini untuk menggantikan sosok Kiai dan Gus yang telah di-framing bak raja dan putra mahkota.
Jika santri dan pesantren membela diri dan mencari keadilan atas tuduhan gila ini, sudah disiapkan jawabannya: “Pesantren anti kritik”, atau dengan narasi yang lebih manis: “Orang cerdas akan merenung, sedangkan orang bodoh akan tersinggung, karena sulit meyakinkan lalat bahwa bunga jauh lebih indah dari sampah”. Padahal, yang disuguhkan adalah racun. Orang sombong melihat orang lain lalat, padahal Allah tidak malu menciptakan lalat.
Muaranya nanti, dari gerakan framing jahat ini, adalah runtuhnya benteng terakhir Islam Ahlus Sunnah Waljamaah di Indonesia yang selama ini dikawal oleh Kiai dan Santri NU di pesantren.
www.taufiq.net
Tidak ada komentar:
Tulis komentar