Iklan

Advertisement

29 Maret 2025

Awal Belajar Bahasa Arab

 

Ini adalah kisah tentang aku dan bahasa Arab. Awal kali belajar bahasa Arab adalah di pesantren PIQ Singosari, tepatnya setelah lulus SD. Sebelum mondok, tidak pernah sekalipun belajar bahasa Arab. Di bangku SD, hanya belajar “Ini Budi”.


Masih teringat, ketika placement test santri baru, Alm. Ust Ali Mukhtar bertanya: Selain ngaji Al-Qur’an, apa kitab yang pernah kamu pelajari? Aku jawab: Kitab Diba’. Sang Ustadz pun tersenyum.


Saya lulusan SD. Di kampung, hanya belajar ngaji Qur’an dan baca Diba’ untuk shalawatan. Tidak pernah ngaji di Madrasah Diniyah atau TPQ seperti saat ini yang kurikulumnya lengkap.


Dari hasil tes itu, saya masuk di kelas pemula paling dasar. Guru pertama adalah Ust. Ali Fikri. Beliau yang mengajari Maa Hadza? di kitab Madarij al-Duruus al-Arabiyah, kitab legendaris karya KH Basori Alwi.


Saya begitu bersemangat. Tiap bakda Subuh, kami di-drill membaca kitab itu dengan intonasi khas PIQ. Lugas, keras, berirama dan harus fasih bertajwid. Tak lama, sebulan berikutnya, saya dipindah ke kelas A yang diasuh Ust H. Nur Kholis. Di bawah bimbingannya, saya dilatih muhadatsah (percakapan bahasa Arab).


Di tahap ini, saya mulai belajar kalam (bicara) dan memperkaya mufradat (kosakata). Bersama beberapa teman santri yang berpostur mini, saya biasa ditampilkan di acara Imtihan dan juga di RRI Surabaya.


Di tahun kedua mondok, saya mulai belajar nahwu kitab Jurumiyah. Buku kecil itu harus dikuasai lahir batin. Tidak harus hafal, tapi wajib paham. Setelah khatam Madarij, saya dipindah ke kelas Muhadatsah Yaumiyah yang diasuh Ust. Ahmad Syaikhu. 


Dengan disiplin tinggi, kami digempleng ilmu nahwu, sharaf, dan insya’. Belajar menulis mulai dari kalimat menjadi paragraf hingga teks lengkap. Saya juga belajar ekspresi muhawarah (dialog) yang diasuh Prof. Ishom Yusqi. Beliau yang saat itu masih kuliah di IAIN Malang, menerapkan beragam metode yang membuat kelas menjadi hidup.


Tiga tahun belajar bahasa Arab dari guru-guru hebat. Ketika menginjak jenjang Madrasah Aliyah, saya mulai dipercaya mengajar bahasa Arab. Di tahap ini, saya benar-benar belajar bahasa Arab lebih mendalam. 


Dengan mengajar, menjadi lebih tertantang untuk belajar lagi dan lagi. Terlebih, saya selalu mengajar di kelas A, membimbing para santri yunior yang cerdas dan kritis. Untuk mengajar satu bab nahwu, harus belajar dulu dari beberapa kitab. 


Dari pengalaman ini, bisa dipahami bahwa metode terbaik dalam pembelajaran harus belajar tuntas dan memberi kesempatan mengajar dengan penuh tanggung jawab.


Untuk semua guru dan muridku dalam proses belajar mengajar bahasa Arab, wa bil khusus, KH Basori Alwi, saya berterima kasih. 


Kepada Allah dan orang tua, saya bersyukur dan berterima kasih telah ditempatkan di pesantren yang memiliki iklim berbahasa Arab yang sangat baik, yang sejak itu telah mengantarkanku kini meraih Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab.


Untuk semuanya, Al Fatihah

28 Maret 2025

Gelar Waktu Kecil


Pagi itu, sekitar pukul setengah delapan, aku menemani kakekku, Abah Haji Suyuti, berjalan dari rumah menuju gudang, tempat beliau bekerja sehari-hari, mencari nafkah, membanting tulang dan memeras keringat.


Kakek, seperti juga ayahku, Abah Haji Roudhowi dan hampir seluruh keluarga besar asal Madura, berprofesi sama: jual beli karung dan plastik bekas. Ini pekerjaan berat. Tidak hanya butuh otot dan tenaga, tapi juga otak dan pikiran, keberanian, kesabaran dan kemampuan bertahan.


Sejak muda, tepatnya sejak hijrah dari pulau garam hingga menetap di bumi Arema, kakek bekerja apa saja hingga akhirnya berprofesi tetap sebagai pedagang karung. Mulai menjadi kuli hingga berhasil menjadi pengepul karung bekas dan pedagang yang terbilang sukses.


Ketika telah mencapai puncak karier, Kakek cukup bekerja di gudang. Biasanya menjahit karung yang sobek, melayani penjual karung goni eceran, dan sebagainya. Itu dilakukan kakek secara istiqamah. Setelah sarapan pagi, beliau biasanya shalat dhuha, lalu berangkat dari rumah ke gudang yang jaraknya dekat sekali, sekitar 25 meter.


Nah, saat perjalanan ke gudang di hari itu, kakek mengajakku dan menggandeng tanganku. Saat itu, aku masih duduk di bangku SD. Tiba-tiba, kakek bertanya:


“Nanti, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?”


“Aku ingin menjadi ustadz yang bisa pidato dan khutbah”, jawabku, sekenanya. Sebab, ketika itu, aku berpikir ingin sekali bisa khutbah di masjid, menjadi imam, bukan makmum saja.


Kakek tersenyum mendengar jawabanku. Lalu, beliau berkata:


“Jadi ustadz atau kiai harus pinter, harus alim ilmu agama. Mending, seperti kakekmu ini aja. Enak. Kerja tidak jauh, resiko tidak berat”.


Mendengar saran kakek itu, entah kenapa, aku lalu berkata: 


“Kelak di depan namaku ada Profesor Haji Taufiq”.


Kakek tersenyum lagi. Aku tidak sempat melihat kedua matanya yang tertutup kacamata. Entah beliau senang, optimis, atau mungkin psimis, aku kurang tahu. Sebab, kakekku hanya pedagang karung, meski beliau juga takmir masjid dan pendiri yayasan pendidikan.


Hari ini, gelar “Profesor” itu benar-benar nyata ada di depan namaku. Gelar ini, aku dedikasikan untuk kakekku tercinta, yang di setiap nafas dan gerak langkahnya, berharap aku meraih cita-cita.


Kakek, Nenek, Abah dan semua yang telah pergi ke haribaan ilahi, kupersembahkan raihan ini. Semoga di alam baqa sana, kalian bahagia selamanya di surga yang dijanjikan Allah bagi orang tua yang berhasil mewujudkan cita-cita putranya. La hum al-Fatihah.