
Melempari Setan
Pagi di Mina terasa seperti dada yang berdegup dalam diam. Udara belum begitu panas, tapi bumi gurun selalu menyimpan bara di bawah langkah. Di hadapan bukit batu dan pasir yang diam, Ibrahim melangkah pelan. Di tangannya tergenggam tujuh batu kecil, dan di hatinya tergenggam langit yang sedang menguji manusia paling taat di bumi.
Di belakangnya, Ismail menyusul, remaja yang wajahnya menyimpan ketenangan dari samudra. Ia tidak tahu ke mana persis ayahnya akan membawanya, tapi ia tahu—seperti seorang murid mempercayai gurunya—bahwa ini adalah perjalanan yang tak sembarang.
Tiba-tiba, dari balik batu, sosok itu muncul. Bukan manusia, bukan pula binatang. Ia hadir seperti bayang-bayang di mata hati, menyelinap di celah pikiran. Setan. Bukan bertanduk, bukan membawa api, tapi membawa kata-kata—dan itulah senjatanya yang paling tajam.
“Wahai Ibrahim,” bisiknya lembut seperti racun dalam madu.
“Apa yang kau lakukan? Menyembelih anakmu? Itu bukan perintah. Itu hanya mimpi buruk.”
Ibrahim menoleh. Pandangannya tegas. Tanpa menjawab dengan kata, ia menggenggam batu, dan dengan keyakinan yang membelah langit, ia melemparkan satu… dua… tiga… hingga tujuh batu.
“Allahu Akbar!” serunya.
Tujuh kali takbir. Tujuh kali iman mengalahkan bisikan.
Setan terjungkal. Tapi ia belum menyerah.
Beberapa langkah berikutnya, Ibrahim mendengar lagi suara itu. Kini, lebih halus, lebih masuk akal, lebih menggoda.
“Ibrahim, bukankah kau mencintainya? Bukankah Ismail adalah cahaya matamu? Tuhan itu Maha Penyayang. Ia takkan menyuruh ayah membunuh anaknya. Itu hanya uji nyali.”
Di titik kedua ini, di tempat yang kelak disebut Jumrah al-Wustha, Ibrahim berhenti. Ia tidak goyah. Ia tahu: setan tak pernah datang hanya sekali. Maka untuk kedua kalinya, tujuh batu melayang, dan setan kembali terlempar.
Ibrahim tetap melangkah.
Tapi yang ketiga, godaan tak lagi datang kepadanya. Ia menyelinap ke Ismail, sang anak. Remaja itu sedang memikirkan ayahnya, tentang langkah yang berat, tentang mimpi yang diceritakan dengan mata basah.
“Ismail,” bisik setan, “larilah. Ini bukan perintah Tuhan. Ini kesalahan. Ayahmu sudah tua, mungkin ia salah dengar wahyu.”
Ismail mengangkat wajahnya. Ia mengerti bahwa bukan hanya sang ayah yang diuji, tapi juga dirinya.
“Jika ini dari Allah,” katanya pelan, “aku ridha. Dan aku percaya ayahku bukan orang yang keliru dalam mendengar Tuhan.”
Saat itu, Ibrahim mendekat. Ia tahu siapa yang sedang berbisik. Maka, di tempat yang kelak disebut Jumrah al-Aqabah, ia melemparkan tujuh batu terakhirnya.
Dan setan pun pergi, ditolak dari bumi oleh tiga kali lemparan keyakinan: dari seorang ayah, dari seorang anak, dan dari cinta yang tak dibutakan oleh emosi.
Hari itu, langit bersujud kepada bumi. Sebab bumi telah memperlihatkan bahwa manusia mampu memilih Tuhan lebih dari apapun. Ibrahim dan Ismail melanjutkan perjalanan, dan sejarah pun mencatatnya, bukan dengan tinta, tetapi dengan air mata para haji yang setiap tahun mengikuti langkah mereka.
Tiga titik, tiga jumrah. Tapi sejatinya itu adalah tiga medan tempur hati manusia. Pertama, ketika kita meragukan perintah Allah. Kedua, ketika kita lebih mencintai dunia daripada-Nya. Ketiga, ketika orang-orang di sekitar kita mencoba menggoyahkan iman kita.
Dan setan, seperti biasa, akan selalu datang…
Namun batu-batu itu akan selalu ada.
Asalkan kita punya tangan yang berani melempar, dan hati yang berani memilih Tuhan.