Iklan

Advertisement

7 Juni 2025

Melempari Setan


Pagi di Mina terasa seperti dada yang berdegup dalam diam. Udara belum begitu panas, tapi bumi gurun selalu menyimpan bara di bawah langkah. Di hadapan bukit batu dan pasir yang diam, Ibrahim melangkah pelan. Di tangannya tergenggam tujuh batu kecil, dan di hatinya tergenggam langit yang sedang menguji manusia paling taat di bumi.


Di belakangnya, Ismail menyusul, remaja yang wajahnya menyimpan ketenangan dari samudra. Ia tidak tahu ke mana persis ayahnya akan membawanya, tapi ia tahu—seperti seorang murid mempercayai gurunya—bahwa ini adalah perjalanan yang tak sembarang.


Tiba-tiba, dari balik batu, sosok itu muncul. Bukan manusia, bukan pula binatang. Ia hadir seperti bayang-bayang di mata hati, menyelinap di celah pikiran. Setan. Bukan bertanduk, bukan membawa api, tapi membawa kata-kata—dan itulah senjatanya yang paling tajam.


“Wahai Ibrahim,” bisiknya lembut seperti racun dalam madu.
“Apa yang kau lakukan? Menyembelih anakmu? Itu bukan perintah. Itu hanya mimpi buruk.”


Ibrahim menoleh. Pandangannya tegas. Tanpa menjawab dengan kata, ia menggenggam batu, dan dengan keyakinan yang membelah langit, ia melemparkan satu… dua… tiga… hingga tujuh batu.


“Allahu Akbar!” serunya.

Tujuh kali takbir. Tujuh kali iman mengalahkan bisikan.

Setan terjungkal. Tapi ia belum menyerah.


Beberapa langkah berikutnya, Ibrahim mendengar lagi suara itu. Kini, lebih halus, lebih masuk akal, lebih menggoda.

“Ibrahim, bukankah kau mencintainya? Bukankah Ismail adalah cahaya matamu? Tuhan itu Maha Penyayang. Ia takkan menyuruh ayah membunuh anaknya. Itu hanya uji nyali.”


Di titik kedua ini, di tempat yang kelak disebut Jumrah al-Wustha, Ibrahim berhenti. Ia tidak goyah. Ia tahu: setan tak pernah datang hanya sekali. Maka untuk kedua kalinya, tujuh batu melayang, dan setan kembali terlempar.

Ibrahim tetap melangkah.


Tapi yang ketiga, godaan tak lagi datang kepadanya. Ia menyelinap ke Ismail, sang anak. Remaja itu sedang memikirkan ayahnya, tentang langkah yang berat, tentang mimpi yang diceritakan dengan mata basah.


“Ismail,” bisik setan, “larilah. Ini bukan perintah Tuhan. Ini kesalahan. Ayahmu sudah tua, mungkin ia salah dengar wahyu.”


Ismail mengangkat wajahnya. Ia mengerti bahwa bukan hanya sang ayah yang diuji, tapi juga dirinya.

“Jika ini dari Allah,” katanya pelan, “aku ridha. Dan aku percaya ayahku bukan orang yang keliru dalam mendengar Tuhan.”


Saat itu, Ibrahim mendekat. Ia tahu siapa yang sedang berbisik. Maka, di tempat yang kelak disebut Jumrah al-Aqabah, ia melemparkan tujuh batu terakhirnya.


Dan setan pun pergi, ditolak dari bumi oleh tiga kali lemparan keyakinan: dari seorang ayah, dari seorang anak, dan dari cinta yang tak dibutakan oleh emosi.


Hari itu, langit bersujud kepada bumi. Sebab bumi telah memperlihatkan bahwa manusia mampu memilih Tuhan lebih dari apapun. Ibrahim dan Ismail melanjutkan perjalanan, dan sejarah pun mencatatnya, bukan dengan tinta, tetapi dengan air mata para haji yang setiap tahun mengikuti langkah mereka.


Tiga titik, tiga jumrah. Tapi sejatinya itu adalah tiga medan tempur hati manusia. Pertama, ketika kita meragukan perintah Allah. Kedua, ketika kita lebih mencintai dunia daripada-Nya. Ketiga, ketika orang-orang di sekitar kita mencoba menggoyahkan iman kita.


Dan setan, seperti biasa, akan selalu datang…
Namun batu-batu itu akan selalu ada.

Asalkan kita punya tangan yang berani melempar, dan hati yang berani memilih Tuhan.

6 Juni 2025

Menyibak Langit, Membelah Bumi

 

Langit siang menyala seperti tungku raksasa. Di hadapan gurun yang membisu, seorang perempuan berdiri memeluk bayinya yang mulai lemah. Angin membawa pasir dan keheningan, seolah semesta menanti apa yang akan terjadi.


Perempuan itu bernama Hajar. Ia bukan ratu. Ia bukan tokoh sejarah dengan pasukan dan mahkota. Ia hanyalah seorang ibu, namun langit mencatat langkahnya lebih kekal daripada jejak para raja.


Suaminya, Ibrahim, baru saja berlalu meninggalkan mereka di lembah gersang ini. Tak ada pohon. Tak ada sumur. Tak ada manusia lain. Hanya batu, pasir, dan keheningan yang tak berkawan.


Hajar sempat bertanya, dengan suara yang menahan gemetar:


“Apakah ini perintah dari Tuhanmu?”


Ibrahim menunduk, matanya berat menahan perih. Ia mengangguk. Maka Hajar tak lagi bertanya. Ia hanya menggenggam erat bayinya dan berbisik di hatinya:


“Jika ini dari Tuhan, maka Dia tak akan menyia-nyiakan kami.”


Hari berlalu, dan panas tak juga surut. Bayi kecil itu, Ismail, mulai menangis pelan. Bukan karena lapar, tapi haus. Tubuhnya lemah, bibirnya pecah. Hajar panik. Ia menengadah, memandang langit, memandang batu-batu, memandang setiap celah, seolah berharap ada air menetes dari langit atau bumi.


Tak ada.


Maka ia berlari. Dari bukit Shafa ke Marwa, lalu kembali. Langkahnya cepat, napasnya tersengal, wajahnya basah oleh peluh dan air mata. Tapi ia tak berhenti. Ia terus mencari. Sebab bagi seorang ibu, putus asa bukan pilihan.


Tujuh kali. Ia naik. Ia turun. Ia lari. Ia jatuh. Ia bangkit lagi.


Setiap langkahnya bukan hanya gerak tubuh, melainkan doa yang menjelma langkah. Langit menyimak. Tanah menanti.


Dan ketika langkahnya sampai pada batas terakhir, ketika segala daya di tubuhnya hampir padam, Tuhan menjawab—bukan dari langit, tapi dari bumi, dari tempat yang tak ia sangka: di bawah tumit kecil Ismail, pancaran air meledak ke permukaan.


Air!


Hajar tergugu. Ia bersimpuh. Tangannya menadah. Bayinya disiram. Dahaga itu lenyap.


Zamzam…” ia berbisik. Air ini bukan sekadar penawar haus. Ia adalah kasih Tuhan yang menjelma dari sabar dan tawakal.


Hari itu, lembah tandus berubah menjadi tempat hidup. Dari seorang ibu yang lari tujuh kali, lahirlah kota suci. Dari seorang anak yang menangis, mengalir mata air yang tak pernah kering hingga kini.


Hajar tidak sedang lari dari kenyataan—ia sedang lari menuju harapan. Langkahnya bukan kepanikan, tapi iman yang bergerak. Dan dari peristiwa itu, umat manusia belajar:


Bahwa ketabahan seorang ibu bisa menggerakkan langit dan bumi. Bahwa ketika seseorang berlari bukan untuk dirinya, tapi untuk orang yang dicintainya karena Allah, maka Tuhan akan menciptakan zamzam di tanah yang paling mustahil.