23 Agustus 2009

Puasa VIP (Khas)

 


Dalam 2 hari ini, saya mencoba memilih puasa khos (VIP). Menurut para ulama, level puasa ada 3 macam. Pertama, puasa awam (Ekonomi), yaitu puasa sekedar menahan nafsu makan, minum dan hubungan seksual. Kelas Ekonomi, tampaknya masih bersifat fisik sehingga cara puasanya diukur secara syar'i. Cukup berniat diwaktu malam, lalu sepanjang hari sejak subuh hingga maghrib tidak makan, minum dan jimak. Kedua, puasa khos (VIP).

Kelas ini lebih berat, sebab bukan hanya lobang mulut dan kemaluan yang harus dijaga, tapi juga seluruh indera manusia. Mata dijauhkan dari pandangan haram dan aurat. Telinga tak mendengar ghibah, adu domba, gosip dan sebagainya. Tangan dan kaki tak bergerak ke tempat haram. Jika seseorang melanggarnya, maka puasanya batal. Dalam arti, ia akan turun ke level awam.

Puasa VIP seringkali dilakukan para wali Allah. Intinya, puasa VIP berusaha meraih makna terdalam dari substansi puasa. Ketiga, puasa khususil-khusus (VVIP), yaitu puasa kelas berat yang biasanya hanya mampu dilakukan para nabi dan rasul. Puasa VVIP adalah puasa hati yang tidak boleh sedetikpun melupakan Allah. Jika sebentar saja lupa, maka puasanya batal.

Demikian penjelasan level puasa mulai dari puasa awam, khos hingga khususil-khusus. Selama bertahun-tahun, saya telah biasa berpuasa di kelas awam, tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, saya selalu mencoba membeli tiket puasa VVIP, paling tidak dalam satu-dua hari pertama di saat aktivitas rutin seperti: bekerja, belajar-mengajar dan sebagainya masih libur. Karena itu, dalam 2 hari ini, saya bertekad menjalani model puasa khos, tentunya dengan standarisasi yang saya ikuti sendiri. Atas dasar keinginan itu, selama 2 hari ini, saya tidak connect dengan teman-teman di Facebook. Jauh-jauh hari, saya telah berpesan kepada isteri tercinta agar saat siang hari tidak menggangu saya yang akan "bertapa". Anak-anak pun saya minta agar dijauhkan supaya tidak memancing amarah dan rasa jengkel.

Setiap usai mengimami shalat tarawih, saya langsung masuk kamar untuk tadarrus al-Quran seorang diri. Begitu juga, bakda mengimami sholat Subuh berjamaah di masjid, saya langsung pulang ke rumah, mengunci diri di dalam kamar dan itu saya lakukan hingga menjelang maghrib. Sepanjang hari, saya tidak mau bertemu dengan manusia, jika tidak penting. Saya berusaha membebaskan diri dari segala hal yang berbau elektronik, seperti: HP, TV, VCD, Laptop, Telpon, Tape, dll. Saya hanya mau bersentuhan dengan mushaf di tangan kanan dan tasbih di tangan kiri. Sepanjang hari, saya tidak mau mendengar berita, gosip, lagu, musik religi atau bahkan acara-acara tabligh di televisi.

Walhasil, saya hanya bertapa di dalam kamar dengan mengaji, berdzikir dan tentunya tidur yang inipun dinilai ibadah sebagaimana sabda Nabi: Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Sepanjang hari selama 2 hari ini, saya menempuh cara itu sebagai bentuk interpretasi saya sebagai awam yang ingin menempuh puasa level khos. Entah cara ini tepat atau salah kaprah, ekstrim atau salah penafsiran terhadap definisi puasa khos. Tapi yang jelas, menurut Imam Athoillah dalam untaian al-Hikam-nya, bahwa apabila seseorang menginginkan sesuatu yang luar biasa, ia harus berusaha menjauhkan hal-hal yang bersifat biasa.

Hasilnya, dalam 2 hari berpuasa khos ala saya itu, memang segenap jiwa dan raga bisa terfokus hanya pada satu titik. Tak ada pengganggu, tak ada rintangan yang membuat lupa, tak ada penghalang dalam mengingat-Nya. Namun, dalam kesendirian itu, akhirnya saya sampai pada sebuah muara bahwa puasa sebagai tameng diri dari maksiat, bagaimanapun harus dicoba. Ia tidak akan disebut kokoh bila hanya disimpan dalam kamar tanpa dibenturkan dengan berbagai cobaan. Bahwa untuk mengingat Allah sepanjang waktu, tidak harus bertapa dalam kesendirian, tapi justru dengan melihat semua ciptaan-Nya yang bertebaran di luar sana, di jagat raya, karena di situ justru tampak kekuasaan Allah. Bahwa dalam menghindari maksiat tidak harus mengkebiri hak-hak inderawi, tapi justru semua indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman dan perasa harus dididik dan diarahkan dengan kekuatan puasa.

Dan untuk itu, perlu interaksi dengan sosial dan alam semesta. Puasa VIP tidak harus membuat seseorang seperti kepompong atau katak dalam tempurung, atau seperti rahib dan petapa yang bersembunyi di gua-gua, sekalipun terkadang hal itu juga perlu ditempuh untuk proses tune-up pikiran dan perasaan.

Atas dasar pertimbangan itu, di hari ketiga ini, saya putuskan model Puasa VIP ala saya itu. Untuk esok, saya hanya menguji apakah hasil bertapa dua hari ini dapat mewarnai hari-hari berikutnya di bulan Ramadan tahun ini?. Apakah dengan cara "kupu-kupu" esok saya masih sanggup berpuasa untuk tidak makan-minum, tidak berbohong, tidak menatap dan mendengar yang haram, tidak menyentuh atau melangkah ke tempat haram, tidak membuat luka di hati makhluk Allah yang lain?

Dengan kata lain, tanpa cara khulwat itu, bisakah memilih puasa VIP di tengah masih banyak tiket puasa ekonomi dipraktekkan?! Mari kita coba esok...!!

Tidak ada komentar:
Tulis komentar