21 Agustus 2009

Ngak Bisa Diatur !!

 


Gak bisa diatur..?!, mungkin kalimat itulah yang --menurut saya dan beberapa orang awam yang lain-- dinilai paling tepat untuk dikatakan setiap saat akan memulai Ramadan dan Syawal. Hingga tahun ini, masih ada saja sekelompok umat Islam yang terpaksa tidak bisa bareng puasa/hari raya mengikuti pemerintah.

Yah apalagi kalau bukan tentang polemik antara rukyat dan hisab yang kayaknya tidak akan pernah berakhir. Atau barangkali, karena perbedaan (ikhtilaf) sudah menjadi sunnatullah sehingga umat Islam di Indonesia, baik dalam memulai puasa atau lebaran, mereka tidak bisa seragam atau tidak bisa bersama-sama mentaati satu instruksi atau peraturan.

Entah kenapa? Yang pasti, bagi orang awam, fenomena itu jelas membingungkan. Satu Tuhan, satu agama, tapi hari awal puasa/lebaran tidak sama. Perbedaan seputar awal puasa ataupun awal hari raya, hampir semua menilainya bukanlah hal yang esensial sebab tidak menyangkut wilayah akidah, tapi ia dianggap "sekedar" masalah furuiyyah yang biasa terjadi ikhtilaf. Bahkan, Ikhtilaf itu sendiri, yang terjadi di antara umat, adalah rahmat. Begitulah kira-kira apresiasi umat dalam menyikapi polemik tersebut yang dirumuskan sebagai rahmat. Sekalipun begitu, tetap saja opini seperti ini di hati orang awam masih tetap menyimpan tanda tanya atau ketidakpuasaan saat mereka melihat perbedaan.

Muhammadiyah, dengan hisabnya berargumen bahwa jumlah bulan itu telah ada hitungannya (hisab). Maka, dengan rumus dan kalkulasi tertentu sesuai dengan ilmu falak (astronomi), mereka yakin hilal bisa diketahui. Sehingga, tidak diperlukan cara tradisional dengan melihat bulan, apalagi dengan mata telanjang. Atas dasar itu, jauh-jauh hari Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadan/Syawal sebelum ada hasil isbat.

Sementara itu, Nahdlatul Ulama berdalil: "Shumuu li rukyatih wa afthiru li rukyatih", bahwa hadis Nabi ini jelas sebuah perintah bahwa berpuasa atau berbuka (baca: lebaran) harus diawali dengan rukyatul-hilal. Maka, pembuktian tampaknya bulan harus dilihat dengan mata. Hasil perhitungan masih bersifat relatif (nisbi) dan temporer (sementara) yang untuk validasinya perlu pembuktian empiris dengan observasi atau melihat langsung wujud bulan. Bila perlu lagi, dengan memakai teropong bintang atau alat-alat canggih lainnya. 

Selain 2 ormas Islam terbesar itu, masih banyak ormas Islam lain yang punya argumen dan sikap sendiri terkait dengan awal dan akhir Ramadan. Bahkan, ada sekelompok umat Islam yang berpuasa/berlebaran tidak berdasarkan hisab, rukyat atau hasil itsbat, tapi berdasarkan hasil penerawangan sang guru spiritual atau sabda sang imam/pemimpinnya. 

Terlepas dari mana dalil yang rajih (kuat) dan mana yang paling akurat dan tepat, namun yang jelas pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Agama, telah berusaha mengakomodir semua pendapat itu. Pemerintah, sebagai penyagom telah berjuang keras menyatukan visi dan misi dengan menempuh berbagai cara agar awal Ramadan/Syawal bisa seragam. Jikapun akhirnya tidak mungkin disamakan, paling tidak Depag RI tampak bertekad dan terus menghimbau agar ikhtilaf itu tidak berujung pada konflik yang justru kontra-produktif di saat menyambut bulan penuh rahmat (Ramadan) dan bulan penuh bahagia (Syawal).

Usaha keras pemerintah itu, tampak dari adanya upaya Tim Depag RI khusus bagian rukyat-hilal yang ditempatkan diberbagai titik di seluruh Indonesia, lalu pemanfaatan alat-alat teknologi dan kerjasama dengan media massa hingga digelarnya sidang itsbat. Sidang Itsbat ini adalah sidang yang diikuti oleh seluruh perwakilan ormas Islam, perwakilan duta besar negara Islam, para jurnalis dan undangan, yang dipimpin langsung oleh Menag RI untuk memutuskan awal Ramadan/Syawal. 

Endingnya, lahir Surat Keputusan yang secara administratif bersifat mengikat. Artinya, seharusnya hasil itu diikuti oleh semua ormas dan umat Islam. Setelah sidang itsbat, para pimpinan ormas Islam selayaknya langsung membuat semacam instruksi, fatwa atau apalah namanya yang ditujukan kepada para pengikutnya agar mereka mentaati keputusan Menag RI. Dengan demikian, puasa/lebaran dapat dirayakan bersama-sama. Tapi, ternyata hal itu adalah hanyalah teori atau skenario belaka.

Realitanya, keputusan atau itsbat tersebut terkadang masih dinomor-duakan oleh sebagian umat Islam dan para pimpinannya. Sebab, seperti tahun-tahun lalu, masih ada saja ormas Islam atau kelompok-kelompok yang berpuasa dan berlebaran di hari yang tidak bareng dengan pemerintah. Ini kan sesuatu yang aneh? Sidang yang bertujuan mulia untuk persatuan umat itu berakhir sia-sia bila masih tetap ada ikhtilaf.

Memang benar, pemerintah tidak punya hak untuk ikut campur dalam hal ibadah seseorang. Sesuai UUD 1945, pemerintah bahkan menjamin kemerdekaan setiap pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya masing-masing. Bukan hanya itu, SK hasil sidang itsbat pun masih tetap memuat poin yang memberi ruang kepada pihak-pihak tertentu untuk bebas berpuasa/berlebaran. Asalkan, mereka tetap rukun dan tidak saling menyalahkan jika terjadi perbedaan di tengah masyarakat. 

Tapi pemahaman normatif itu, secara manusiawi, utamanya di mata masyarakat bawah, tetap saja fenomema munculnya perbedaan itu menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mempersatukan rakyat, khususnya umat Islam. Bahkan untuk masalah puasa/lebaran saja rakyat/umat sulit dipersatukan, apalagi dalam masalah besar lainnya, seperti: penanganan teroris, pemberantasan korupsi, dan sebagainya. Atau sebaliknya, mungkinkah adanya ketidakseragaman ini adalah gejala ketidakpatuhan atau bisa saja disebut pembangkangan terhadap hasil keputusan pemerintah oleh sebagian rakyat, terutama sekelompok umat Islam dengan apapun alasannya. Jika ya, kredibilitas pemerintah dalam masalah ini benar-benar dipertaruhkan.

Harus ada ketegasan dari pemerintah dan juga sikap legowo dari umat Islam dan pemimpinnya untuk mentaati hasil keputusan bersama atau sidang itsbat. Wallahu A'lam bis-showab wal-khoto'.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar