"Manunggaling Kawulo Gusti" atau bersatunya hamba dan Tuhan adalah sebuah term yang disematkan pada ajaran Syekh Siti Jenar di Jawa. Sedangkan di Persia dan dunia Arab, ajaran yang hampir sama itu diidentikkan pada Al-Hallaj, seorang sufi yang pada akhir hayatnya juga mengalami hal yang sama dengan Syekh Lemahabang -nama lain Syekh Siti Jenar-, yakni dibunuh.
Tatkala Al-Hallaj menyatakan, "Ana al-Haq", Akulah Kebenaran, maka kalimat ini oleh para kaum sufi di zamannya dianggap "berbahaya" karena dapat menyesatkan. Ajaran yang menyatakan bahwa seorang hamba dapat bersatu dengan Tuhannya, secara tidak sadar akan menimbulkan peng-Aku-an pada diri hamba. Nah, ketika itu terjadi, ia akan merasa bebas sebebas-besasnya, termasuk juga bebas dari segala taklif dan ajaran syariat agama. Inilah yang ditakutkan para ulama sehingga pikiran Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar dinilai dapat menyesatkan.
Dengan kata lain, ajaran itu tidak tepat untuk konteks dakwah dan bagi kalangan awam yang masih berada pada level syariat yang segala sesuatunya, termasuk dalam frame ibadah, masih terikat pada hubungan timbal-balik seperti pahala dan dosa, surga dan neraka, riya' dan syirik, dan sebagainya.
Benarkah Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar sesat dan menyesatkan? Jika pun sesat atau dinilai berbahaya, patutkah keduanya dihukum mati? Padahal, hukuman penggal yang mereka terima justru juga semakin menumbuh suburkan keyakinan itu di hati para pecintanya? Sebab, tidak mudah merubah keyakinan yang telah terpahat kuat di dalam dada. Kenyataannya, rahasia yang masih terselubung di dalam kasus Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar itu, hingga kini masih menjadi misteri dan terus menarik untuk dikaji.
Secara dzatiyah, mustahil atau tidak mungkin, makhluk bisa menyatu bersama Sang Khaliq. Tapi, dalam aspek sifatiyah, keduanya bisa menyatu, meski "menyatu" di sini tidak diartikan "sama". Allah Yang Maha Pemurah memerintah hamba-Nya agar bersikap murah kepada siapa saja. Allah Yang Maha Pengampun meminta manusia bisa legowo memaafkan orang lain, dan sifat-sifat lainnya kecuali sifat sombong. Sebab, dalam hadis qudsi, Allah berfirman: "Al-Kibr, sombong adalah pakaian kebesaran-Ku...".
Sedangkan sifat-sifat lain yang tidak berhubungan dengan kesombongan, bahkan diperintah oleh Nabi agar manusia mencontoh sifat itu. "Takhallaqu bi akhlaqil-lah", berakhlaqlah kamu dengan akhlaq-nya Allah swt!. Dalam aspek sifat-sifat inilah, ada sisi "manunggaling kawula gusti".
Tapi, akankah Syekh Siti Jenar ataupun Al-Hallaj hanya sebatas pada manunggaling sifat dan akhlaq seperti itu? Ternyata tidak. Bagi Al-Hallaj, kemanunggalan harus paripurna, semuanya, tidak parsial, tidak terbatas sifat maupun asma' belaka. Tapi, juga bisa dzat. Inilah yang lalu menjadi kontroversi yang tidak termaafkan. Alasannya, jelas tidak masuk akal dan bisa menyesatkan.
Ketika orok bayi masih di dalam kandungan ibunya, setelah 120 hari yang mana semua jasadnya telah sempurna. Daging, kulit, tulang dan semua inderanya telah terbentuk. Maka, Allah meniupkan ruh-Nya kepada bayi itu. Hal ini juga dijelaskan al-Qur'an, "fa nafakha min ruuhihi...", Dia-lah Allah yang meniupkan ruh-Nya kepada bayi itu. Kata "ruh-nya" di sini, oleh Al-Hallaj, dinilai sebagai "manunggaling" yang pada saat itu ada ruang untuk penyatuan antara makhluk dan khaliq.
Jadi, ruh yang memang masih juga misteri menjadi salah satu alasan kenapa manunggaling kawula gusti itu mesti ada. Entah ruh itu bagian dari dzat, makhluk, atau apa, yang jelas, tidak akan ada yang mampu menjawabnya sehingga Allah sendiri menegaskan, "Qul ar-Ruuh min amri Rabbi", katakanlah (wahai Muhammad) bahwa ruh itu adalah urusan Tuhan-ku.
Oleh karenanya, misteri tentang konsep "manunggaling kawula gusti" sama misterinya dengan ruh itu sendiri. Di sana, ada sebuah rahasia yang hingga kini belum juga terpecahkan, baik oleh ilmu pengetahuan maupun sains dan teknologi.
Maka, biarkan konsep itu tetap menjadi sebuah rahasia, sebab rahasia itu selalu mengandung misteri keindahan tanpa batas!
Tidak ada komentar:
Tulis komentar