Dalam hal fiqih atau furu'iyyah, perbedaan pendapat masih lumrah, bahkan itulah rahmah. Tapi, perbedaan dalam hal aqidah, saya kira perlu dibedakan. Memang, klaim "pembenaran" atas aqidah atau sekte sendiri lalu menyalahkan dan bahkan mengkafirkan madzhab lain adalah sikap yang kurang bijak. Sebab, kebenaran yang mutlaq hanya diketahui Allah. Tapi, bagaimanapun juga, saya masih percaya "pasti ada kebenaran yang ditunjukkan Allah" sebagai hidayah yang hanya diberitahukan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Nah, dalam hal aqidah, itulah Ahli Sunnah wal Jama'ah.
Sejak dibebaskan oleh Saud dan keluarganya dari jajahan Turki, Saudi Arabia telah dikuasai oleh para penganut aliran Wahabi yang mengacu pada pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab yang disebut-sebut sebagai mujaddid, revolusioner, dan pencerah yang ingin mengembalikan segala hal kepada al-Quran dan as-Sunnah. Karena itu, hingga kini, kerajaan Saudi yang dipimpin turun-menurun mulai Raja Abdul Azis, Faisol, Khalid, Fahd hingga kini Raja Abdullah adalah para penganut "wahabisme".
Paham Wahabi identik dengan paham yang kerap mengkafirkan banyak ritual keagamaan. Mereka sangat menentang tawassul, ziyarah kubur, tahlil, shalawatan, istighatsah dan sebagainya. Maka dari itu, pemerintah Saudi tidak memiliki rasa penghormatan terhadap situs-situs bersejarah. Dalam arti, mereka tidak segan-segan membongkar dan memberangus apapun atasnama "Mensucikan Al-Haram".
Dalam rangka itu pula, maka dengan segala dana, daya dan upaya, mereka berjuang untuk mensyiarkan "wahabisme" ke segala penjuru dunia dan dalam berbagai kesempatan, termasuk juga pada saat musim haji.
Di tempat-tempat bersejarah seperti Jabal Nur (Gua Hira), Jabal Tsur, Masjid Quba, Qiblatain, Pemakaman Ma'la (Mekah) dan Pekuburan Baqi' (Madinah), para dai wahabi mendirikan pos-pos untuk menyebarkan buku-buku yang isinya sama saja. Yakni, tentang kufurnya bertawassul, larangan berdoa di kuburan, larangan pengkultusan seseorang, haramnya bertabarruk di tempat suci, dan sebagainya.
Bahkan, berbeda dengan 16 tahun lalu, di Raudhah (tempat antara Mimbar dan Makam Nabi) di Masjid Nabawi pun juga dipenuhi syiar-syiar wahabi. Kini, para jemaah haji yang hendak berkunjung ke Raudhah, karena sangking banyaknya jemaah, maka diatur shif-shifan. Harus antri dan bergantian. Nah, pada waktu antri itulah, biasanya seorang Syekh Wahabi berceramah di hadapan para jemaah dengan nada berapi-api. Hampir di setiap waktu antri, ada dai yang pidato. Mereka bergantian dan rupanya telah terlatih. Temanya sama seakan ada kurikulumnya. Dalam orasinya, mereka mampu menyampaikannya dalam 4 bahasa: Arab, Turki, India dan Inggris.
Salah satu kalimat dai wahabi yang saya hafal karena begitu seringnya saya dengar tiap akan ke Raudah adalah "Wahai Tamu Allah! Di depan kalian ini adalah Raudah, taman surga. Berdoa di sana adalah mustajabah. Jadi, berdoalah langsung kepada Allah, jangan kepada yang lain. Di depan kalian ini adalah makam Rasulullah. Beliau telah meninggal dunia. Bertawassul adalah perbuatan syirik. Jadi, jangan berdoa dan jangan pula bertawassul atasnamanya saat berdoa. Allah Maha Mendengar. Kalian ada di tempat mulia. Jadi, bersyukur dan mintalah langsung kepada Allah. Jangan terjelembab dalam kekufuran dan kemusyrikan".
Sekilas, memang ada benarnya isi orasi di atas. Namun, mengharamkan tawassul kepada Rasulullah saw, apalagi mengkufurkannya merupakan pernyataan yang berlebihan. Pernyataan bahwa "Rasulullah telah meninggal dunia dan tidak bisa memberi manfaat apapun" adalah gaya bahasa tashghiir yang jelas-jelas mengecilkan kemuliaan dan kelebihan yang disandang Baginda Rasulullah saw. Bukankah al-Quran menegaskan: "Jangan kalian mengira mereka (para nabi yang meninggal dunia) itu mati, bal hum ahyaa', mereka itu sebenarnya hidup". Lebih dari itu, Nabi Muhammad saw sendiri juga bersabda, "Siapa yang menziarahiku saat aku wafat kelak, sama dengan berziarah kepadaku saat aku hidup".
Mungkinkah ayat dan hadis di atas dilupakan oleh para wahabisme yang sejak awal bertujuan memurnikan ajaran Islam hanya kepada al-Quran dan Sunnah? Bukankah doa setiap usai mendengar adzan, antara lain berbunyi: "...Berilah Nabi Muhammad wasilah, fadhilah dan derajat rofi'ah..."? Dan, banyak lagi dalil-dalil yang memperbolehkan tawassul, ziarah, kirim doa, dan sebagainya.
Terlepas dari perdebatan tentang teks-teks atau dalil naqli sebagaimana di atas, yang jelas, sikap para penguasa di Saudi Arabia yang bisanya cuma main hakim dengan cara "mengkufurkan, mengharamkan dan memusyrikkan sebuah ritual agama yang diyakini seorang muslim" adalah merupakan tindakan gegabah dan berwawasan sempit. Tidak menghargai pluralisme serta kebebasan berkeyakinan. Lebih daripada itu, yang amat disayangkan dari fenomena tersebut adalah lahirnya sifat "suul-adab" terhadap Nabi dan situs-situs bersejarah yang penuh makna.
Pada akhirnya, saya hanya bisa berkata: "Asal demi kemaslahatan li khidmatil-haramain, apapun dan siapapun dipersilahkan berbuat yang terbaik demi kejayaan Islam, bahkan bila perlu harus ada kompetisi "fastabiqul-khairaat". Tapi dengan satu catatan, menghormati keyakinan madzhab lain adalah juga bagian dari khidmat terhadap al-Haramain". Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar