3 Agustus 2009

Guru Ngaji, Oh…Nasibmu

 


Usai saya mengajar al-Quran di rumah hingga menjelang tidur malam, mata seakan tak bisa ditutup rapat. Teringat semua guru dan orang yang telah berjasa mengenalkan huruf hijaiyah dan cara membacanya. Sejak berusia 5 tahunan, orang tua telah mengantarkan saya mengaji di salah satu guru ngaji di kampung.

Guru pertama itu telah lama meninggal dunia dan kini salah satu putranya mengaji kepada saya hingga hari ini. Seperti kebiasaan ngaji kampungan tempo dulu yang belum ada TPQ, TPA atau bahkan Madrasah Diniyah, saya pun sering pindah dari satu guru ke guru yang lain, kecuali selain abah saya yang selalu mengajari al-Quran tiap selesai shalat subuh.

Biasanya, saya mengaji ke kampung setelah waktu ashar hingga menjelang maghrib. Kenapa saya berpindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain, hingga dalam ingatan saya memiliki 4 guru ngaji al-Quran di kampung sebelum saya mondok ke pesantren? Jawabannya, bukan karena saya punya masalah, benci, marah atau bosan. Akan tetapi, karena guru-guru saya itu tiap setelah menikah, lalu memiliki banyak anak, mereka tidak punya banyak waktu untuk mengajar sore atau malam hari. Atau, ada kesibukan lain di tempat kerja sehingga akhirnya pengajian yang biasanya digelar di rumah pribadinya lama-lama bubar.

Melihat hal ini bukan berartiguru-guru ngaji itu meninggalkan akherat demi duniawi, tapi karena faktor ekonomi dan keluarga memang merupakan amanah dan tanggungjawab yang harus tidak diabaikan. Hampir semua guru ngaji di kampung, mereka hidup pas-pasan. Mereka tidak pernah meminta SPP pada setiap murid yang ngaji ke rumahnya. Tidak seperti sistem Madrasah Diniyah atau TPQ saat ini yang telah dimenej lebih profesional dan ditangani oleh banyak guru, sehingga ada uang syahriyah yang dengan itu, guru TPQ digaji walaupun masih dalam jumlah minim. Tapi, guru-guru ngaji saya dulu tidak mau meminta uang sepersen pun!

Guru pertama saya itu berprofesi sebagai kuli bangunan. Guru kedua bekerja serabutan, biasanya jadi buruh menjahit baju, mengecat rumah tetangga, atau ngerombeng di jalanan pasar loak. Beliau kini telah wafat. Guru ketiga saya, beliau hafal al-Quran dan berjasa mengantarkan saya bisa ngaji hingga khatam. Saat itu guru saya masih pengangguran pasca boyong dari pesantren sehingga ia sangat fokus dalam mengajar.

Mulai sore hingga malam hari rumahnya tak pernah sepi dari aktivitas belajar-mengajar. Setelah menikah, beliau terpaksa harus sering ke rumah mertuanya di luar kampung dan bekerja sebagai kuli jahit pakaian. Guru terakhir saya sebelum mondok, saat itu usianya sekitar 60 tahunan. Seorang kiai kampung yang ekonominya hanya bergantung pada toko mungil di rumahnya dan pembelinya ya anak-anak kecil yang ngaji di sana. Beliau tutup usia pada umur 90 tahunan.

Mengingat profil mereka yang hidup pas-pasan dan anak-anak yang ditinggalkannya pun hidup dibawah garis kemiskinan, tak kuasa mata ini melelahkan air mata. Orang-orang yang ikhlas mengenalkan kalam ilahi, di tengah perkampungan kota, tidak meminta bayaran seperpun, di mata saya merekalah pejuang. Jika kini saya bisa membaca al-Quran, sedikit mengerti terjemahannya, bahkan mampu menghatamkan dan melagukan bacaan al-Quran dengan tartil, itu adalah hasil perjuangan guru ngaji di kampung yang dulu mereka keras, tegas, terkadang membentak, menghukum bahkan memukul jari-jari tangan dengan tongkat kayu agar lidah saya tidak kaku dalam melafalkan firman Allah yang teramat mulia.

Tapi, guru-guru ngaji di kampung, dari dulu hingga kini, hidupnya tetap pas-pasan. Kerjanya serabutan. Pendidikan anak-anaknya yang biasa banyak, juga tidak sampai terus hingga ke bangku kuliah. Bahkan, untuk sekedar memondokkan anaknya saja, para guru itu tidak mampu membiayai. Begitu kasihan nasib guru ngaji di kampung. Bukan hanya di tempat saya, tapi saya pun melihatnya di berbagai tempat. Sang guru itu tidak mampu mencetak anaknya sendiri menjadi manusia hebat seperti dirinya karena secara ekonomi ia mengangkat tangan jika anaknya harus mondok apalagi kuliah di kampus yang biaya selangit. Sang guru itu menutup mata setelah mengantarkan anak-anak orang lain sukses hingga tidak sempat mempedulikan nasib keluarga dan anak sendiri. 

Para guru itu tampak lebih puas setelah para muridnya menjadi tokoh besar, pejabat, anggota DPR, pengasuh pesantren, advokat, wartawan, dosen, atau apapun saja, sekalipun setelah sukses guru ngaji itu pun terlupakan. Padahal, Ali bin Abu Tholib --kunci ilmu madinah Rasul-- pernah mengatakan: Aku adalah budak dari siapapun yang mengajariku walau hanya satu huruf. Secara tekstual, ucapan ini lebih tepat kepada guru ngaji di kampung sebagai perintis dalam mengenalkan a-i-u ba'.

Tanpa pernyataan jujur dan sikap mulia untuk prihatin seperti yang dikemukakan Sayyidina Ali tersebut, lalu siapa lagi yang akan peduli dengan nasib guru ngaji....? Fa'tabiruu Ya...Ulil Albab...!!

Tidak ada komentar:
Tulis komentar