Di bulan Ramadan, segala amal kebaikan pahalanya dilipat gandakan, pintu-pintu surga dibuka lebar, pintu neraka ditutup rapat dan yang paling penting, setan-setan dibelenggu sehingga mereka tidak lagi mengganggu umat manusia. Demikian penjelasan sebuah hadis Nabi Muhammad saw.
Atas dasar itu, lalu di kalangan masyarakat, ada yang bertanya, "Mengapa di bulan Ramadan masih ada saja perbuatan maksiat, padahal setan-setan telah dibelenggu?".
Sebuah pertanyaan yang kritis, seakan-akan realitas maksiat dan kemungkaran yang masih tetap ada di tengah bulan Ramadan, tampak kontradiktif dengan hadis di atas. Dengan kata lain, apa benar kenyataan adanya tindak korupsi, perzinaan, penipuan dan berbagai kejahatan personal maupun sosial itu tidak ada hubungannya dengan setan?
Perlu diyakini bahwa hadis Nabi itu adalah benar adanya dan itu adalah statemen yang jelas bahwa setan sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menipu atau menyesatkan manusia di bulan Ramadan. Namun, jika memang ada manusia yang tidak bisa berhenti dari perbuatan maksiat, padahal dirinya tahu saat itu tengah berada di bulan Ramadan, maka itu artinya, perbuatan maksiat telah mendarah daging dalam dirinya sehingga sudah sulit untuk ditekan atau dikendalikan.
Dalam sebelas bulan selain Ramadan, setan benar-benar menjadi "guru" atau "imam" bagi manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Ambisi untuk berkuasa dengan cara menindas orang lain, ambisi menjadi orang kaya dengan menelantarkan kaum miskin, ambisi memperbaiki citra diri dengan merusak kehormatan orang lain, dan ambisi-ambisi lainnya yang itu adalah "buah karya" setan yang diamini manusia.
Jika memang demikian lama proses tersebut sehingga manusia menjadi "budak" setan dan tidak lagi menghamba kepada Allah, maka sangat logis bila, sekali lagi, ajaran atau tipu muslimat setan telah mendarah daging. Akibatnya, meski di bulan Ramadan sang setan telah dibelenggu, tapi nafsu manusia telah terlanjur menjadi "nafsu lawwamah", nafsu yang ingin terus-menerus bermaksiat dan membuat kerusakan.
Dengan kata lain, kemaksiatan yang dilakukan manusia pada bulan Ramadan adalah murni perbuatan manusia. Itulah cermin "keberhasilan" setan. Karena itu, Ramadan bisa dipandang sebagai alat evaluasi seberapa jauh manusia telah terperosok ke dalam perangkat setan sehingga segala keutamaan dan kelebihan Ramadan tidak banyak memberi kontribusi besar terhadap perbaikan diri.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar