Dalam kajian sastra, balaghah menjadi sifat dari kalam dan mutakallim, sehingga muncul sebutan كلام بليغ dan متكلم بليغ. Karena itu, Balaghah memiliki 2 aspek; (1) balaghah kalimat atau kalam baligh dan (2) balaghah pembicara atau mutakallim baligh.
- Pengertian Kalam Baligh
الكلام البليغ : هو الذي يصوره المتكلم بصورة
تناسب أحوال المخاطبين
Kalam Baligh ialah
kalam yang sesuai dengan tuntutan keadaan serta terdiri dari kata-kata yang
fasih (tepat, indah)
- Pengertian Mutakallim Baligh
المتكلم البليغ أو بلاغة المتكلم : هو مملكة
في النفس يقتدر بها صاحبها على تأليف كلام بليغ مطابقة لمقتضى الحال
Mutakallim Baligh
ialah kepiawaian yg ada pd diri seseorang dalam menyusun kata-kata baligh
(indah-tepat) sesuai dgn waktu dan tempat (situasi-kondisi)
- Contoh Kalam Baligh
يقول الناس إذا رأوا لصا أو حريقا : لصٌّ ، حريقٌ
Kalimat di atas, artinya, “Orang-orang berteriak saat mereka melihat
maling atau kebakaran, dengan cukup berkata: Maliiiiing, Kebakaraaan”.
Kata “Maling” (lishshun) dan kata “Kebakaran” (hariiq) merupakan
kalam baligh atau kata yang sesuai dengan konteks atau situasi yang mana mereka
memilih satu kata saja, singkat, padat, jelas, mengingat keadaan menuntut hal
itu, yakni menuntut tindakan cepat dan segera ada respon dari kalimat tersebut.
Seandainya kalimat itu menggunakan sebuah kalimat yang memiliki
unsur lengkap, misalnya: هو لص (dia
maling), وجد حريق (ada
kebakaran), maka pilihan kalimat semacam ini, kelas balaghah-nya masih kalah
dibanding dengan contoh pertama di atas. Sebab, meski unsur-unsurnya lengkap
(ada mubtada’ dan khabar), tapi kalimat itu terlalu panjang sehingga sangat
boleh jadi malah kurang mendapat respon dari orang lain karena redaksinya yang
panjang .
قال الله (وَأَنَّا لاَ نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ
بِمَنْ فِي الأرض ، أَمْ أَرَادَ بِهم ربُّهم
رشدا) (الجن: 10)
Artinya, “Dan kami (jin) tidak mengetahui apakah yang
dikehendaki buruk terhadap penduduk bumi ataukah Tuhan mereka (Allah)
menghendaki kebaikan” (QS. Jin:10)
Pada ayat ini, ada kata “Urida” (dengan kata kerja pasif atau
mabni majhul) sedangkan kata “Arada” (dengan kata kerja aktif atau mabni ma’lum
yang jelas menunjukkan adanya subjek, yakni kata “Tuhan mereka”).
Dimana letak keindahannya dari kedua perbedaan tersebut?
Jawabnya, kata “urida” (majhul) memang sengaja digunakan untuk menyembunyikan
subjeknya, yakni “Allah”. Sebab, akan kurang sopan memunculkan subjek (Allah)
untuk urusan keburukan. Berbeda dengan kata “arada” (ma’lum) yang sengaja
dipakai dengan menunjukkan adanya subjek secara jelas dengan adanya kata “Tuhan
mereka” untuk menunjukkan bahwa kebaikan adalah kehendak Allah. Padahal, kita
tahu, keadaan baik maupun buruk, semuanya adalah kehendak dan ciptaan Allah.
Hanya saja, untuk keburukan tidak langsung dinisbatkan kepada Allah dengan cara
menyembunyikan subjeknya demi mengagungkan Allah.
Contoh lain, misalnya, penutup pidato yang biasa diucapkan da’i,
“Bila ada kata-kata yang baik, semua itu dari Allah. Tapi, bila ada kata-kata
yang salah, itu semata-mata dari saya pribadi sebagai manusia”.
Kalimat pidato ini jelas menunjukkan kalimat yang indah, baligh
dari seorang muballigh atau da’i yang baligh (mutakallim baligh). Dia ingin
menunjukkan kehormatan dan pengagungan terhadap Allah, meski sebenarnya dia
tahu bahwa semua kata, apakah itu baik maupun buruk, semuanya berasal dari Allah.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar