11 September 2011

Bagai Bayi

 


"Kembali seperti bayi yang baru terlahir dari perut ibu", itulah gambaran orang yang telah berpuasa. Bersih, suci, fitri dan menebar kasih sayang. Lucu, imut-imut, tiada dosa dan beban pikiran. Otak, hati dan sekujur tubuh hanyalah selaput luar dari ruh suci yang baru terhembus dan bersemayam entah dimana.

Lalu, setelah bayi itu terlahir, disematkan nama sebagai identitas dan pembeda. Dari nama itu, diharapkan semua sifat-sifat mulia bermunculan dan potensi af'alnya berfungsi secara maksimal. Makhluk jenis manusia yang masih berupa bayi itu telah berotak, tapi belum berakal. Ia bernafsu, tapi cuma sekedar insting yang secara tidak ia sadari beroperasi sekedar untuk mempertahankan hidup seperti menyusu, menangis, merasakan kehangatan dan menutup mata untuk istirahat.

Mungkinkah orang yang usai berpuasa kembali seperti bayi?

Secara fisik, jelas tidak mungkin. Tapi, secara non-fisik, kembali bagaikan bayi bisa saja terjadi. Maksudnya, pasca berpuasa seseorang bisa menjadi pribadi baru yang bersih. Dengan syarat, ia bertekad membuka lembaran baru, memulai dari kertas kosong dengan cara melupakan segala kesalahan orang lain, benar-benar memaafkan semua manusia hingga ia tidak ingat lagi apakah orang lain tersebut pernah mengambil haknya atau tidak?

Bukan hanya itu, ia harus melakukan muhasabah dengan tingkat penyadaran diri yang terdalam. Memahami hakikat penciptaannya, tujuan keberadaannya, dan juga eksistensinya.

Memahami hakikat penciptaan akan melahirkan sifat rendah hati atau tawaddu' terhadap Allah dan semua makhluknya. Mengingat asal muasalnya yang terbuat dari air sperma, akan memberi terapi psikis akan segala keterbatasan yang dimilikinya. Dengan demikian, sifat sombong, angkuh, congkah, egois, dan sebagainya akan luntur dengan sendirinya. Bahkan, tidak akan mengotori lembaran hidupnya yang baru ia buka.

Memahami tujuan keberadaannya adalah mengerti bahwa ia tercipta hanya untuk mengabdi kepada Allah. Setelah sebelumnya, di alam azali, ia telah bersaksi dan mengakui bahwa Allah adalah tuhannya, maka persaksian itu harus ia buktikan saat ia telah tercipta secara sempurna, saat ruhnya ditiup di sekujur badan, saat ia hidup di dunia sebagai ujian. Saat-saat itulah, manusia harus terus mengabdi kepada Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya hingga ia mencapai puncak ketaqwaan yang hakiki.

Memahami eksistensi, artinya memahami tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Tugas khalifah adalah tugas mulia yang dibanggakan Allah di hadapan para malaikat-Nya. Tugas menerima amanah ini hanya diemban manusia. Gunung, laut, pepohonan dan semua ciptaan Allah yang lain, telah menyerah. Mereka merasa tidak sanggup mengembannya. Hanya manusia yang berani menanggung tugas besar itu.

Dengan memahami hakikat penciptaannya, tujuan keberadaannya, dan juga eksistensinya pasca berpuasa, manusia akan menjadi pribadi baru bagaikan bayi yang terlahir dari perut ibu.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar