Kalimat "Minal Aidin wal Faizin" begitu populer disampaikan, baik
melalui lisan maupun tulisan, pada saat suasana lebaran. Bahkan, di
berbagai acara berlabel "Halal bi Halal", kalimat itu seakan menjadi
ungkapan wajib untuk melengkapi permohonan "Maaf Lahir Batin".
Apakah sebenarnya "Minal Aidin" itu? Dalam tulisan ini, saya batasi pada kata "Aidin" saja, belum ke kata "Faizin".
Secara
bahasa, "Minal Aidin" berarti "termasuk orang-orang yang kembali". Kata
"Aid" merupakan isim fail (pelaku) dari kata kerja "'Aada" yang berarti
"kembali, pulang, balik". Dilihat dari aspek stailistika, kalimat
"Minal Aidin" merupakan sebuah ungkapan doa atau pengharapan yang
disampaikan oleh seseorang kepada orang lain dengan harapan agar orang
lain tersebut "Bisa kembali seperti semula".
Nah, yang
menjadi pertanyaan adalah kembali kemana? Kembali apa? Balik lagi
seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan ini, boleh jadi telah dipahami
berdasarkan kajian agama yang dalam beberapa hadis menyebutkan, antara
lain, bahwa orang yang telah berpuasa demi menggapai ridha Allah, maka
dosa-dosanya akan diampuni. Ada pula penjelasan hadis yang menegaskan
bahwa orang yang usai melaksanakan puasa Ramadan, di saat hari raya, ia
menjadi bersih bagaikan anak yang baru dilahirkan ibunya.
Dari
keterangan tersebut, orang lalu paham bahwa sebenarnya yang dimaksud
"Aidin" atau "Orang-orang yang kembali" itu adalah orang-orang yang
selepas puasa di bulan Ramadan, mereka merayakan karunia Allah yang
dilimpahkan kepada mereka. Karunia tersebut, salah satunya adalah
diampuninya segala dosa sehingga mereka menjadi bersih kembali bagaikan
bayi yang terlahir lagi.
Karena begitu besarnya karunia
tersebut sehingga perlu adanya ungkapan "Minal Aidin" sebagai doa agar
setiap kita dan orang-orang yang kita kenal dan kita cintai, bisa
meraihnya. Supaya umat Islam termotivasi untuk kembali membuka lembaran
hidup baru, tentunya dengan semangat baru, motivasi baru, visi-misi yang
baru. Dan yang terpenting, ada tekad untuk memperbaiki segala
kekurangan dan kesalahan. Sehingga, bulan Sawwal yang secara bahasa
bermakna "naik atau meningkat" benar-benar menjadi momentum untuk meraih
masa depan yang lebih cerah.
Sayangnya, ungkapan "Minal
Aidin" itu hanya sebatas ucapan selamat yang ada di bibir atau
terpampang dalam kartu lebaran, baliho, dekorasi acara Halal bi Halal
saja. Kekuatan makna dibalik doa "Minal Aidin" itu cuma berlangsung
sebentar, atau bahkan tidak ada. Entah karena pemahaman terhadap
maknanya yang kurang diresapi atau memang salah paham.
Kesalahpahaman
dalam memahami makna atau ketidak tahuan itulah yang boleh jadi membuat
ungkapan tersebut tidak bisa merasuk ke dalam relung-relung jiwa. Jika
ucapan adalah mantra dan setiap mantra memiliki daya magis yang bisa
menyentuh aspek spiritual, maka seharusnya kalimat "Minal Aidin" tidak
menjadi sekedar slogan, tapi sebuah kekuatan untuk melakukan perubahan
ke arah yang lebih baik dengan semangat taubat. Inilah titik taqwa dan
awal suluk atau pendakian seorang hamba untuk meraih maqam termulia di
sisi Allah.
Namun, sekali lagi, makna "Minal Aidin"
ternyata telah melenceng. Kita bukannya "Kembali suci dan mempertahankan
fitrah", tapi justru kita segera kembali ke kebiasaan buruk kita selama
ini. Yang biasa korupsi, kembali korupsi dan bahkan lebih parah lagi.
Yang biasa maksiat, balik maksiat lagi. Yang sering melupakan Allah,
meninggalkan salat, menyakiti saudaranya, kini pun bersiap-siap untuk
mengulanginya lagi.
Teman yang kita maaf di hari raya,
sebentar lagi akan kita posisikan sebagai musuh seperti sebelumnya dan
bahkan jumlah musuh kita bertambah banyak. Acara religi di TV atau media
massa, kembali lagi dipenuhi gosip, fitnah, kebohongan publik,
pembodohan dan sebagainya. Suasana pasar pun kembali lagi dipenuhi
intrik, penipuan, pengurangan timbangan, renten, dan kamuflase lainnya.
Hawa politik dan mental para pemimpin juga kembali sakit, penuh
kebohongan terhadap publik, suap, pengkhianatan, penyalahgunaan wewenang
dan sebagainya.
Rakyat pun kembali menjadi korban. Umat
juga kembali didustakan. Makmum diabaikan. Pengikut diterlantarkan.
Simbol-simbol kembali didewakan. Pokoknya, semua kembali ke derajat
paling rendah, yakni memperturutkan nafsu hewani yang buas, kejam dan
bringas. Bukannya kembali seperti bayi yang secara fitrah suci dan
bersih, tapi justru kembali kepada kebiasaan-kebiasaan buruk sebelum
Ramadan.
Artinya, ada kegagalan dalam berpuasa ketika
seseorang yang telah menjalankan lelaku puasa itu justru tidak menjadi
pribadi yang baru. Akhirnya, antara yang berpuasa dan tidak berpuasa
menjadi sama. Puasa yang sebulan ditempuh, ternyata tidak berhasil
memproduk "pengendalian diri", tapi sekedar "menunda luapnya hawa nafsu"
yang setelah Ramadan berlalu, nafsu makin liar dan tidak terkendali.
Inikah
"Minal Aidin" itu? Tak perlu dijawab, tapi renungi makna terdalam
dibalik ungkapan yang sejatinya berbobot dan bertuah agar kalimat itu
diijabahi Allah sehingga kita yang berhari raya benar-benar berhari raya
atas kesucian yang telah kita raih.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar