9 September 2011

Minal Aidin, Kembali Apa?

 


Kalimat "Minal Aidin wal Faizin" begitu populer disampaikan, baik melalui lisan maupun tulisan, pada saat suasana lebaran. Bahkan, di berbagai acara berlabel "Halal bi Halal", kalimat itu seakan menjadi ungkapan wajib untuk melengkapi permohonan "Maaf Lahir Batin".

Apakah sebenarnya "Minal Aidin" itu? Dalam tulisan ini, saya batasi pada kata "Aidin" saja, belum ke kata "Faizin".

Secara bahasa, "Minal Aidin" berarti "termasuk orang-orang yang kembali". Kata "Aid" merupakan isim fail (pelaku) dari kata kerja "'Aada" yang berarti "kembali, pulang, balik". Dilihat dari aspek stailistika, kalimat "Minal Aidin" merupakan sebuah ungkapan doa atau pengharapan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain dengan harapan agar orang lain tersebut "Bisa kembali seperti semula".

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah kembali kemana? Kembali apa? Balik lagi seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan ini, boleh jadi telah dipahami berdasarkan kajian agama yang dalam beberapa hadis menyebutkan, antara lain, bahwa orang yang telah berpuasa demi menggapai ridha Allah, maka dosa-dosanya akan diampuni. Ada pula penjelasan hadis yang menegaskan bahwa orang yang usai melaksanakan puasa Ramadan, di saat hari raya, ia menjadi bersih bagaikan anak yang baru dilahirkan ibunya.

Dari keterangan tersebut, orang lalu paham bahwa sebenarnya yang dimaksud "Aidin" atau "Orang-orang yang kembali" itu adalah orang-orang yang selepas puasa di bulan Ramadan, mereka merayakan karunia Allah yang dilimpahkan kepada mereka. Karunia tersebut, salah satunya adalah diampuninya segala dosa sehingga mereka menjadi bersih kembali bagaikan bayi yang terlahir lagi.

Karena begitu besarnya karunia tersebut sehingga perlu adanya ungkapan "Minal Aidin" sebagai doa agar setiap kita dan orang-orang yang kita kenal dan kita cintai, bisa meraihnya. Supaya umat Islam termotivasi untuk kembali membuka lembaran hidup baru, tentunya dengan semangat baru, motivasi baru, visi-misi yang baru. Dan yang terpenting, ada tekad untuk memperbaiki segala kekurangan dan kesalahan. Sehingga, bulan Sawwal yang secara bahasa bermakna "naik atau meningkat" benar-benar menjadi momentum untuk meraih masa depan yang lebih cerah.

Sayangnya, ungkapan "Minal Aidin" itu hanya sebatas ucapan selamat yang ada di bibir atau terpampang dalam kartu lebaran, baliho, dekorasi acara Halal bi Halal saja. Kekuatan makna dibalik doa "Minal Aidin" itu cuma berlangsung sebentar, atau bahkan tidak ada. Entah karena pemahaman terhadap maknanya yang kurang diresapi atau memang salah paham.

Kesalahpahaman dalam memahami makna atau ketidak tahuan itulah yang boleh jadi membuat ungkapan tersebut tidak bisa merasuk ke dalam relung-relung jiwa. Jika ucapan adalah mantra dan setiap mantra memiliki daya magis yang bisa menyentuh aspek spiritual, maka seharusnya kalimat "Minal Aidin" tidak menjadi sekedar slogan, tapi sebuah kekuatan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan semangat taubat. Inilah titik taqwa dan awal suluk atau pendakian seorang hamba untuk meraih maqam termulia di sisi Allah.

Namun, sekali lagi, makna "Minal Aidin" ternyata telah melenceng. Kita bukannya "Kembali suci dan mempertahankan fitrah", tapi justru kita segera kembali ke kebiasaan buruk kita selama ini. Yang biasa korupsi, kembali korupsi dan bahkan lebih parah lagi. Yang biasa maksiat, balik maksiat lagi. Yang sering melupakan Allah, meninggalkan salat, menyakiti saudaranya, kini pun bersiap-siap untuk mengulanginya lagi.

Teman yang kita maaf di hari raya, sebentar lagi akan kita posisikan sebagai musuh seperti sebelumnya dan bahkan jumlah musuh kita bertambah banyak. Acara religi di TV atau media massa, kembali lagi dipenuhi gosip, fitnah, kebohongan publik, pembodohan dan sebagainya. Suasana pasar pun kembali lagi dipenuhi intrik, penipuan, pengurangan timbangan, renten, dan kamuflase lainnya. Hawa politik dan mental para pemimpin juga kembali sakit, penuh kebohongan terhadap publik, suap, pengkhianatan, penyalahgunaan wewenang dan sebagainya.

Rakyat pun kembali menjadi korban. Umat juga kembali didustakan. Makmum diabaikan. Pengikut diterlantarkan. Simbol-simbol kembali didewakan. Pokoknya, semua kembali ke derajat paling rendah, yakni memperturutkan nafsu hewani yang buas, kejam dan bringas. Bukannya kembali seperti bayi yang secara fitrah suci dan bersih, tapi justru kembali kepada kebiasaan-kebiasaan buruk sebelum Ramadan.

Artinya, ada kegagalan dalam berpuasa ketika seseorang yang telah menjalankan lelaku puasa itu justru tidak menjadi pribadi yang baru. Akhirnya, antara yang berpuasa dan tidak berpuasa menjadi sama. Puasa yang sebulan ditempuh, ternyata tidak berhasil memproduk "pengendalian diri", tapi sekedar "menunda luapnya hawa nafsu" yang setelah Ramadan berlalu, nafsu makin liar dan tidak terkendali.

Inikah "Minal Aidin" itu? Tak perlu dijawab, tapi renungi makna terdalam dibalik ungkapan yang sejatinya berbobot dan bertuah agar kalimat itu diijabahi Allah sehingga kita yang berhari raya benar-benar berhari raya atas kesucian yang telah kita raih.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar