Kita pantas bertanya kenapa kita diharapkan secara sukarela menabur
cinta, apalagi terhadap Rasulullah saw, manusia yang paling mencintai
kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita membaca
sebuah kisah tentang sifat-sifat suci “Sang Rasul Akhir Jaman” yang
ditulis Jalaluddin Rumi dalam buku “Al-Matsnawi”.
Pada
suatu hari di masjid, Rasul kedatangan serombongan kafir yang meminta
untuk bertamu. Mereka berkata, “Kami ini datang dari jarak yang jauh,
kami ingin bertamu kepada Engkau, Ya Rasulullah.” Lalu, Rasul
mengantarkan para tamu tersebut kepada para sahabatnya. Salah seorang
kafir yang bertubuh besar seperti raksasa tertinggal di masjid, karena
tidak ada seorang sahabat pun yang mau menerimanya.
Dalam
syair itu disebutkan, ia tertinggal di masjid seperti tertinggalnya
ampas di dalam gelas. Mungkin para sahabat takut menjamu dia, karena
membayangkan harus menyediakan wadah yang sangat besar.
Rasul
membawa dan menempatkannya di sebuah rumah. Dia diberi jamuan susu
berupa tiga ekor kambing dan seluruh susu yang disuguhkan, habis
diminumnya. Dia juga melahap makanan yang seharusnya untuk delapan belas
orang, sampai-samapi orang yang ditugaskan melayani dia merasa jengkel.
Akhirnya petugas itu menguncinya di dalam rumah.
Tengah malam,
orang kafir itu menderita sakit perut. Dia hendak membuka pintu tapi
pintu itu terkunci. Ketika rasa sakit tidak tertahankan lagi, akhirnya
orang itu membuang kotoran alias berak di rumah itu.
Setelah
tuntas, ia pun merasa lega bercampur malu. Seluruh perasaan bergolak
dalam pikirannya. Dia menunggu sampai menjelang subuh dan berharap ada
orang yang akan membukakan pintu. Pada saat subuh dia mendengar pintu
itu terbuka, segera saja dia lari keluar. Yang membuka pintu itu adalah
Rasulullah saw.
Rasul tahu apa yang terjadi kepada orang
kafir itu. Ketika Rasul membuka pintu itu, Rasul sengaja bersembunyi
agar orang kafir itu tidak merasa malu untuk meninggalkan tempat
tersebut.
Ketika orang kafir itu sudah pergi jauh, dia
teringat bahwa “azimat”-nya tertinggal di rumah itu. Jalaluddin Rumi
berkata, “Kerasukan mengalahkan rasa malunya. Keinginan untuk memperoleh
barang yang berharga menghilangkan rasa malunya.” Akhirnya dia kembali
ke rumah itu.
Sementara itu, seorang sahabat membawa tikar
yang dikotori oleh orang kafir itu kepada Rasul, “Ya Rasulullah, lihat
apa yang dilakukan oleh orang kafir itu!” Kemudian Rasul berkata,
“Ambilkan wadah, biar aku bersihkan.”
Para sahabat
meloncat dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau adalah Sayyidul Anâm. Tanpa
engkau tidak akan diciptakan seluruh alam semesta ini. Biarlah kami
yang membersihkan kotoran ini. Tidak layak tangan yang mulia seperti
tanganmu membersihkan kotoran ini.” “Tidak,” kata Rasul, “ini adalah
kehormatan bagiku.” Para sahabat berkata, “Wahai Nabi yang namanya
dijadikan sumpah kehormatan oleh Allah, kami ini diciptakan untuk
berkhidmat kepadamu. Kalau engkau melakukan ini, maka apalah artinya
kami ini.”
Begitu orang kafir itu datang ke tempat itu,
dia melihat tangan Rasulullah saw yang mulia sedang membersihkan kotoran
yang ditinggalkannya. Orang kafir tidak sanggup menahan emosinya. Ia
memukul-mukul kepalanya sambil berkata, “Hai kepala yang tidak memiliki
pengetahuan.” Selanjutnya, dia memukul-mukul dadanya sambil berkata,
“Hai hati yang tidak pernah memperoleh berkas cahaya.”
Tidak ada komentar:
Tulis komentar