“Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa: 19)
Menikah adalah fitrah manusia.
Rasulullah saw. menyebut menikah sebagai sunahnya. Bahkan, Nabi
mengancam, siapa yang membenci sunahnya, tidak termasuk dalam
golongannya.
Setiap kita, pasangan muslim dan muslimah
yang melakukan pernikahan, paham betul bahwa tujuan menikah yang utama
adalah untuk mendapatkan ridha Allah. Setelah itu untuk mewujudkan
keluarga yang sakinah mawahdah wa rahmah dan meneruskan
keturunan dengan memperoleh anak-anak yang saleh dan salehah. Kita juga
menyadari bahwa lembaga keluarga yang kita bentuk adalah wadah untuk
melaku proses perubahan, baik untuk diri kita sendiri, keluarga, dan
masyarakat.
Sepasang suami-istri yang dipersatukan oleh
ikatan pernikahan juga sadar bahwa keluarga adalah organisasi kecil
yang memiliki aturan dalam pengelolaannya. Karena itu, sepasang
suami-istri harus bisa memahami hak dan kewajiban dirinya atas
pasangannya dan anggota keluarga lainnya.
Sepasang
suami-istri dalam berinteraksi di rumah tangga sepatutnya melandasi
hubungan mereka dengan semangat mencari keseimbangan, menegakkan
keadilan, menebar kasih sayang, dan mendahulukan menunaikan kewajiban
daripada menuntut hak.
Kewajiban seorang istri terhadap suaminya
- Mentaati suami. Namun, dalam mentaati suami juga ada batasannya. Batasan itu adalah seperti yang disabdakan Rasulullah saw., “Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk bermaksiat kepada Allah, Sang Pencipta.”
- Menjaga kehormatan dirinya, suami, dan harta keluarga.
- Mengatur rumah tangga.
- Mendidik anak-anak. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Wanita adalah pengasuh dan pendidik di rumah suami, dan bertanggung jawab atas asuhannya.” Keluarga adalah prioritas seorang istri, meski tidak ada larangan baginya untuk melakukan peran sosialnya di masyarakat seperti berdakwah, misalnya.
- Berbuat baik kepada keluarga suami.
Kewajiban seorang suami kepada istrinya
- Membayar mahar dengan sempurna.
- Memberi nafkah. Rasulullah saw. bersabda, “Takutlah kepada Allah dalam memperlakukan wanita, karena kamu mengambil mereka dengan amanat Allah dan kamu halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah; dan kewajiban kamu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik.”
- Suami wajib memberi perlindungan kepada istrinya.
- Melindungi istri dari siksa api neraka. Ini perintah Allah swt., “Hai orang-orang yang beriman, selamatkan dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
- Mempergauli istri dengan baik. Allah berfirman, “Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19). Rasulullah saw. bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya; dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (Tirmidzi)
Muasyarah bil ma’ruf
Di
ayat 19 surat An-Nisa di atas, Allah swt. menggunakan redaksi
“muasyarah bil ma’ruf”. Makna kata “muasyarah” adalah bercampur dan
bersahabat. Karena mendapat tambahan frase “bil ma’ruf”, maknanya
semakin dalam. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menulis makna “muasyarah bil
ma’ruf” dengan “perbaikilah ucapan, perbuatan, penampilan sesuai dengan
kemampuanmu sebagaimana kamu menginginkan dari mereka (pasanganmu),
maka lakukanlah untuk mereka.”
Sedangkan Imam Qurthubi
dalam tafsirnya menerangkan makna “muasyarah bil ma’ruf” dengan
kalimat, “Pergaulilah istri kalian sebagaimana perintah Allah dengan
cara yang baik, yaitu dengan memenuhi hak-haknya berupa mahar dan
nafkah, tidak bermuka masam tanpa sebab, baik dalam ucapan (tidak
kasar) maupun tidak cenderung dengan istri-istri yang lain.”
Tafsir
Al-Manar menerangkan makna ”muasyarah bil ma’ruf” dengan kalimat,
“Wajib atas orang beriman berbuat baik terhadap istri mereka, menggauli
dengan cara yang baik, memberi mahar dan tidak menyakiti baik ucapan
maupun perbuatan, dan tidak bermuka masam dalam setiap perjumpaan,
karena semua itu bertentangan dalam pergaulan yang baik dalam
keluarga.”
Di antara bentuk perlakuan yang baik adalah
melapangkan nafkah, meminta pendapat dalam urusan rumah tangga, menutup
aib istri, menjaga penampilan, dan membantu tugas-tugas istri di
rumah.
Salah satu hikmah Allah swt. mewajibkan seorang
suami ber-muasyarah bil ma’ruf kepada istrinya adalah agar pasangan
suami-istri itu mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup.
Karena itu, para ulama menetapkan hukum melakukan “muasyarah bil
ma’ruf” sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh para suami agar
mendapatkan kebaikan dalam rumah tangga.
Karena itu, para
suami yang mendambakan kebaikan dalam rumah tangganya perlu mendalami
tabiat perempuan secara umum dan tabiat istrinya secara khusus. Jika
menemukan ada sesuatu yang dibenci dalam diri istri, demi kebaikan
keluarga temukan lebih banyak kebaikan-kebaikannya. Suami juga harus
tahu apa perannya dalam rumah tangga. Dan, jangan pernah mencelakan
istri dengan kekerasan, baik secara fisik maupun mental. Ketika seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw.,” Apa hak istri terhadap
suaminya?” Rasulullah saw. menjawab, “Memberi makan apa yang kamu makan
, memberi pakaian apa yang kamu pakai, tidak menampar mukanya, tidak
membencinya serta tidak boleh memboikotnya.”
Bagaimana
jika timbul perselisihan? Cekcok antara suami-istri adalah hal yang
manusiawi. Jika Rasulullah saw. memberi toleransi waktu tiga hari bagi
dua orang muslim saling mendiamkan satu sama lain, alangkah baiknya
jika suami-istri saling mendiamkan di pagi hari, di malam harinya sudah
bisa saling senyum lagi. Kenapa?
Sebab, pasangan
suami-istri muslim dan muslimah paham betul bahwa perselisihan mereka
adalah gangguan Iblis. Rasulullah saw. pernah menerangkan kepada para
sahabat, “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air,
kemudian dia mengirim pasukannya, maka yang paling dekat kepadanya,
dialah yang paling besar fitnahnya. Lalu datanglah salah seorang dari
mereka seraya berkata: aku telah melakukan ini dan itu, Iblis menjawab,
kamu belum melakukan apa-apa. Kemudian datang lagi yang lain melapor,
aku mendatangi seorang lelaki dan tidak akan membiarkan dia, hingga aku
menceraikan antara dia dan istrinya, lalu Iblis mendekat seraya
berkata, “Sangat bagus kerjamu” (Muslim)
Begitulah, Iblis
menjadikan menceraikan pasangan suami-istri sebagai prestasi tertinggi
tentaranya. Karena itu, Islam mencegah perbuatan yang bisa menyebabkan
perselisihan suami-istri. Karena itu, jika cekcok dengan pasangan hidup
Anda, segera selesaikan masalahnya. Upayakan selesaikan masalah rumah
tangga sendiri. Jangan menghadirkan pihak ketiga. Jika belum selesai
juga, hadirkan seseorang yang bisa menjadi hakim yang bisa diterima
kedua belah pihak.
Seiring dengan panjangnya perjalanan
waktu dan lika-liku kehidupan, kadang ikatan pernikahan mengkendur.
Karena itu, perkuat lagi ikatan itu dengan mengingat-ingat kembali
tujuan pernikahan. Bangun komunikasi yang positif. Komunikasi adalah
kunci keharmonisan. Karena itu, pahami betul cara berkomunikasi
pasangan Anda. Dan, hidupkan syuro (musyawarah,
komunikasi) dalam keluarga. Bahkan untuk urusan kecil sekalipun perlu
dibicarakan bersama. Insya Allah, Allah swt. akan memberi kebaikan yang
banyak dalam keluarga Anda.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar