Salah seorang ketua TPQ mendatangi saya. Dia bercerita, bahwa TPQ
yang ia pimpin meski tergolong masih baru 2 tahunan berdiri tapi
menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Indikasinya, jumlah santri yang
kebanyakan terdiri dari anak-anak, makin hari makin banyak. Demikian
juga jumlah guru, fasilitas belajar dan sarana pendukung kian bertambah.
Mendengar
penuturan ini, saya sangat gembira. Apalagi, berjuang di bidang
pendidikan dan di tengah-tengah kampung yang tingkat ekonomi
masyarakatnya tertinggal serta minimnya perhatian orang tua, jelas
merupakan perjuangan berat yang butuh pengorbanan.
Pada
awalnya, menurut laporan kepala TPQ itu, semua tokoh masyarakat termasuk
para sesepuhnya juga turut mendukung. Bahkan, mereka yang berasal dari
generasi tua juga dilibatkan. Ada yang menjadi pembina, penasehat atau
bahkan tenaga pengajar. Dalam acara-acara seremonial seperti wisuda,
peringatan hari besar Islam, mereka juga dilibatkan. Istilahnya,
di-wong-kan.
Akan tetapi, akhir-akhir ini, seiring dengan
kian bertambahnya jumlah siswa dan sarana pendukung, lalu muncul
problem. Entah darimana asalnya dan apa penyebabnya?
Problemnya,
para generasi tua mulai bergerak untuk mengakuisi TPQ baru yang
dikelola para pemuda tersebut. Kebijakan TPQ seperti menabung dan apapun
yang terkait dana, juga mulai dipermasalahkan. Padahal, semua hal yang
berhubungan dengan keuangan telah tercatat secara rapi dan dilaporkan
kepada wali santri dengan transparan sehingga masalah akuntabilitas
publik ini seharusnya tidak menjadi batu sandungan atau masalah yang
dibesar-besarkan hingga mengarah kepada fitnah.
Alhasil,
lalu muncul pengajian tandingan. Padahal, andaikan semua guru atau tokoh
agama di kampung itu tetap bersatu dalam arti membesarkan TPQ yang ada
secara bersama-sama, ke depan akan lahir sebuah lembaga yang
berkualitas. Umat (baca: anak-anak) di kampung tidak bercerai-berai,
demikian juga para gurunya. Sebab biasanya, model ngaji di kampung itu
bersifat nomaden alias berpindah-pindah.
Jika seorang anak
merasa jenuh atau bosan mengaji pada satu guru, ia akan pindah ke guru
lain. Jika merasa kurang pas belajar di sebuah TPQ, pindah lagi ke TPQ
baru yang lain meskipun belum lulus. Akhirnya, yang terjadi adalah
pendidikan yang tidak tuntas. Masa belajar di waktu kecil yang teramat
singkat dan mahal itu, hanya habis untuk petualangan berpindah-pindah
TPQ yang orientasinya bukan untuk meningkatkan kualitas diri, tapi hanya
sekedar mencari suasana baru.
Dengan kata lain,
pertengkaran atasnama jihad di bidang pendidikan pada level menengah ke
bawah, seharusnya tidak perlu terjadi. Hingga kapanpun, jika
masing-masing pihak saling mementingkan egonya sendiri demi nama besar
dan pengaruh yang tidak jelas, maka yang menjadi korban adalah generasi
yang akan datang.
Seharusnya, dari kalangan generasi tua
dan para sesepuh menyadari hal itu. Mereka harus memposisikan diri
sebagai pengayom, pembimbing, penasehat dan bahkan, bila perlu menjadi
"tameng" untuk mencounter segala tantangan dan hambatan. Mereka juga
harus berpikir positif dengan memberi solusi atas segala permasalahan,
bukan malah mencari kesalahan atau mengkambing hitamkan sesama pejuang
pendidikan.
Sebaliknya, bagi kalangan muda yang enerjik
dan berpikiran idealis, juga harus tetap menghormati para generasi
sebelumnya. Sebab, bagaimanapun juga akhlaq kepada orang tua merupakan
hal terpenting sebelum mereka yang statusnya sebagai guru mengajarkan
akhlaq kepada anak didiknya.
Karena itu, pentas
perselisihan dan pertengkaran yang kerap terjadi di kampung, di sebuah
TPQ, majelis pengajian atau apapun namanya adalah merupakan tontonan
paling tidak mendidik di mata para santri/murid dan masyarakat luas.
Jadi, segera hentikan dan selesaikan dengan kepala dingin demi
kemaslahatan di masa mendatang!
Tidak ada komentar:
Tulis komentar